Searching for Someday chapter 9 by Flara Deviana || ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Kembali ke Malaysia satu tahun yang lalu, malam itu akhirnya tiba. Malam di mana Gendhis merasa begitu istimewa sekaligus merasa harus menghilang dari hidup Ghandi setelahnya.
***
12 JULI 2018 00.48 A.M
SISI SANTUNKU MENJERIT saat Ghandi menciptakan jarak dua jengkal antara wajah kami. Memohon agar aku mengambil kesempatan memalingkan wajah atau melakukan gerakan seolah tidak menyukai ciuman kami beberapa detik lalu. Namun, kuabaikan. Aku lelah bersikap hati-hati supaya terlihat sebagai cewek baik dan penurut. Ujung-ujungnya, aku tetap dipandang sebelah mata. Begitu pemikiran itu muncul, kenangan demi kenangan bergelayut kencang di otakku—menyerukan banyak kalimat yang tidak sengaja tertangkap telingaku.
Van, Cece1 cuma mengingatkan kamu aja. Hati-hati. Walau dirawat keluarga baik-baik, sifat turunan dari yang asli pasti masih ada. Kalau ternyata dia ada maksud yang aneh-aneh ke kamu, bagaimana?
Permintaan Mami gampang banget loh, Ti2. Cari calon istri yang layak. Haduh, bayangin bagaimana pandangan saudara besar Mami-Papi. Sekali lihat aja langsung tahu asal-usul dia nggak jelas. Lia juga, kenapa toh ngenal-ngenalin kamu sama cewek begini?!
Perasaan sakit waktu mendengar ucapan kakak dan mama Elvan mulai merayapi dadaku, tetapi gerakan Ghandi yang bersiap menyingkir menarikku kembali pada kenyataan, hingga aku buru-buru menangkup wajahnya dan menghilangkan jarak yang dia ciptakan beberapa detik lalu. Dengan gerakan lambat, aku menggesekkan puncak hidung kami—berusaha menghidupkan lagi percikan-percikan liar seraya menyelam kian dalam ke mata gelap Ghandi. Dan di saat dorongan ingin menciptakan pertemuan antara bibirku dan bibirnya, beberapa pertanyaan lain tentang masa depan memburu. Bagaimana hubungan kami setelah malam ini? Apa yang bakal terjadi setelah liburan tidak terencana ini berakhir? Apa efeknya akan baik kalau aku menegaskan hubungan kami cuma cinta satu malam layaknya penggambaran di film-film barat? Sebelum pertanyaan berkembang biak, aku buru-buru memotong akarnya dengan fakta menyedihkan … bahwa, selama ini aku selalu bertindak demi kebaikan di masa depan.
Nekat masuk dunia kedokteraan seperti Bunda dan Papa, agar keduanya bangga, sekaligus membuktikan pada orang-orang sialan yang terus mengungkit statusku—walau tidak berhubungan darah semua hal baik yang ada di mereka juga ada di aku.
Membiarkan diriku mengambang mengikuti alur ciptaan Elvan, meski beberapa kali aku terhantam batu di alur itu. Menelan janji-janji tentang masa depan yang terlihat tulus, lalu melanjutkan perjalanan seolah tidak ada luka di sekujur badanku.
Alih-alih, menerima hal baik semua keputusanku selalu berujung kekacauan.
Jadi, hari aku bertekad untuk tidak memikirkan hari esok.
Ketika bibir Ghandi terbuka dan memanggil namaku, aku tahu selanjutnya bakal ada kalimat pemintaan maaf sekaligus pamit. Jadi, aku dengan yakin menutup bibirnya dengan bibirku. Seperti baru saja ada yang mengambil alih badanku, aku berani menyapukan satu tangan ke sepanjang lengan Ghandi—merasakan otot-otot menonjol di sana, sekaligus melumat bibirnya dengan tuntutan seakan ada urusan mendesak yang perlu kami bereskan. Ketika salah satu ujung jemariku mencapai dada dan menggambar pola acak di sana mengikuti lekuk-lekuk, dia mengerang dan menyerah pada apa pun rasa di antara kami.
Ghandi mengambil alih permainan, menekan bibirnya kuat-kuat ke atas bibirku. Tidak ada gerakan lembut dan hati-hati seperti beberapa saat lalu, cara bibirnya bergerak 100% demi satu tujuan aku tergoda dan bereaksi. Sewaktu erangan pelan gagal kutahan, ujung lidahnya segera mengambil kesempatan dan membuai bibirku agar mau terbuka lebih lebar. Detik itu juga, aku takluk pada kelaparan yang dibangkitkan oleh ciuman membara Ghandi. Sisa-sisa kewarasan yang bersuara jauh di dalam kepalaku, mengingatkan betapa sembrononya tindakan ini dan berpotensi mengecewakan banyak orang. Namun, lidah Ghandi yang menyapu dan mengklaim setiap lekuk mulutku, menghadirkan sensasi manis dan hangat yang perlahan mekar dalam perutku, terus menyebar hingga aku benar-benar berhenti berpikir.
Aku membiarkan insting menguasaiku, dengan melengkungkan badan—memberi jalan mudah bagi tangan Ghandi menyelinap ke balik kaus. Ketika kehangatan telapak tangannya terasa di kulit pinggangku, hasrat yang biasanya enggan keluar—muncul tanpa perlu dirayu lama-lama. Bagikan tahanan yang baru saja menghirup udara dan melihat dunia setelah puluhan tahun terkurung di penjara bawah tanah, aku menarik bibir lepas dari bibir Ghandi—menyapukan bibir ke kulit wajahnya, menuju ke telinga, lalu menangkap cuping dan mengigit lembut bagian itu. Sebuah desisan terdengar ketika cowok itu menarik napas. lantas menenggelamkan wajah di leherku sembari membawa bibirnya menyusuri tenggorokanku. Sepersekian detik, rabaan Ghandi berhenti di atas pengait braku. Seakan-akan ingin menunjukkan seberapa yakin diriku untuk ini, aku merelakan tanganku meninggalkan bahunya—bergerak gesit menuju kancing celana chino nude-nya. Kemudian, benda itu terbuka bersamaan dengan pengait milikku.
Selama beberapa saat, kami sama-sama diam dan saling pandang. Tidak ada perasaan syok atau canggung, yang ada cuma sebuah kesepakatan tanpa suara. Aku dan dia berbarengan menegakkan badan, lalu melepas dan menjatuhkan pakaian atas kami di sisi tempat tidur yang kosong. Saling menggeliat menyingkirkan celana masing-masing, sampai semua kain sirna dari badan kami. Entah aku terlalu terpesona pada pemandangan di depanku, sampai merasa seluruh udara di dalam paru-paruku seakan tersedot keluar, atau efek dari sedikit kewarasan yang kembali melambaikan tangan padaku—ditemani rasa marah dan sedih yang entah buat apa.
Persetujuan tanpa kata | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Mungkin, karena aku baru saja tertampar kenyataan, bahwa semua sensasi bebas yang kurasakan ini sama sekali tidak pernah muncul saat bersama Elvan. Ciuman kami tidak pernah sekasar atau selembut saat bersama Ghandi, selalu berada di lingkaran biasa saja. Tidak ada perasaan mendamba yang meledak-ledak. Bahkan, beberapa kali aku tidur bersamanya selalu berakhir dengan canggung.
Aku menghela napas, mendesak pikiran-pikiran berhenti beroperasi dan berfokus pada sosok Ghandi yang mengamatiku sembari membawa bungkusan pengaman yang diambil dari dompetnya. Kilatan-kilatan nakal hilir-mudik di mata gelapnya, mengundang senyum tipisku bergabung pada pesta kecil kami.
Bagaikan mendapat sebuah pencerahan, aku semakin percaya diri tidak bakal tercipta masalah di antara kami usai hubungan kasual sejenis ini.
Ghandi kembali memosisikan diri ke atasku, mencium bibirku lagi sembari memainkan satu tangan di atas dadaku. Sementara, aku sengaja menyelipkan salah satu kaki melewati kakinya dan menekan pangkal paha ke bagian sensitif cowok itu, mendorong badanku ke atas, menggesekkan pinggulku dengan pinggulnya. Mendengar napas Ghandi tersentak, menyulut kepercayaan diriku. Jadi, aku memerintahkan satu tanganku menelusuri tulang rusuknya, turun pelan-pelan sampai mencapai bagian mengeras.
Selama beberapa saat, yang kami lakukan saling menggoda hingga sama-sama tersadar pada kebutuhan primitif kami. Setelah Ghandi memasang pengaman, aku melingkarkan kaki ke pinggangnya. Dengan suara parau dan penuh damba, Ghandi menggigit bibir bawahku disusul satu sentakan kuat—dia menenggelamkan diri bersamaku.
Sambil memejamkan mata, aku merapatkan badan di sekeliling Ghandi. Namun, hal tidak terduga terjadi … dengan cepat, cowok itu mengubah posisi, sehingga kini dia berbaring bersandar bantal, dan aku di atasnya.
Seketika aku membuka mata dan terdiam.
Ya ampun, aku tidak pernah ada di posisi ini. Elvan tidak pernah mengizinkan aku di atas.
Seperti menyadari kepercayaan diriku nyaris hancur, Ghandi memperdalam tatapannya padaku, lalu memosisikan kedua tangan di pinggulku dan membimbingku bergerak maju mundur.
Di tengah usahaku bergerak dan mencari cara menemukan titik yang bisa memuaskannya, dia berbisik, “Don’t move for me, but for yourself.”
Aku terkesiap, sementara Ghandi menautkan jemari kami, lalu menempatkan jalinan itu di atas dadanya. Berbagai desakan serta beban yang menggantung dalam dadaku melebur bersama tatapan lembut Ghandi. Gelombang demi gelombang sensasi asing yang menenangkan tercipta, membanjiri jiwaku dan mengaburkan wajahnya di mataku.
Ketika sesuatu meledak dalam diriku, disusul erangan parau dari Ghandi, aku tersadar pipiku sudah basah oleh air mata.
Kenapa di tengah kepuasaan langka, aku merasa begitu merana?
***
12 JULI 2018 02.15 A.M
Aku mengamati Ghandi yang berbaring miring di dekat kakiku seraya menopang kepala dengan satu tangan, mengenakan celana jins tanpa baju. Sementara aku, duduk bersandar di kepala ranjang sambil memeluk bantal. Tentu berpakaian lengkap, kaus oversize hitam super nyaman buat tidur dan celana pendek.
Setelah bersih-bersih, aku mendapati tembok pembatas yang runtuh tadi mulai tersusun mengelilingi diriku lagi. Tidak tinggi. Hanya membuatku merasa tidak nyaman berpakaian terbuka di depan Ghandi. Apalagi, otot-otot lentur di balik kulit kecokelatannya yang halus, sangat berbanding terbalik dengan apa yang kumiliki. Tidak ada sesuatu yang bisa kupamerkan, selain lemak-lemak akibat makan mi goreng tengah malam buta.
“Lima,” gumamku, saat video musik dari Shawn Mendes berakhir dan dia menoleh ke arahku.
“Apaan yang lima?”
Aku tertawa lepas, dan Ghandi melemparkan senyum lembut sebagai balasan.
“Wow. Itu tawa gede pertama lo sejak kita jalan bareng, Ndis.”
Aku tahu. Selagi di kamar mandi tadi aku tersadar, Gendhis yang pergi asal-asalan demi menghindari kekacauan di Jakarta setelah mengumumkan mundur dari rencana masa depan rancangan Elvan, yang tidak sengaja bertemu orang asing baik hati, kemudian menerima segala bantuan yang ditawarkan sembari mengingatkan diri siapa tahu orang ini ada maksud tertentu—sudah pamit entah ke mana.
Deep talk Gendhis-Ghandi | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Kenapa?” tanyanya ulang seraya menyusuri betis kananku dengan dua jemari.
“Lo udah lima kali noleh ke gue. Kelihatan mau buka obrolan, tapi ujung-ujungnya balik nontonin video musik,” sahutku. “Karena baru pertama kali ngeliat lo kayak orang bingung mau ngomong apa, padahal biasanya lo berisik banget dan punya segudang bahan obrolan …” Aku berhenti sejenak dan menaikturunkan kedua alis. Aku kesulitan menahan senyumku makin lebar karena mendapati rahang Ghandi mulai merona. “Lucu aja. Hm. Sedikit aneh juga. Gitu deh.”
“Mengingat apa yang baru saja kita lakukan—”
Spontan, aku melempar bantal ke sembarang arah, lalu duduk berlutut dan mencondongkan badan sampai wajahku sejajar wajah Ghandi. “Ah, iya, mengingat apa yang lo bicarakan sebelum semua terjadi—lo utang penjelasan ke gue, Ghandi Taslim.” Tidak mau rona merah berbalik menyerangku, aku memberanikan diri mengubah pembicaraan ke kalimat yang berputar terus di otakku. “Semasa sekolah? I wonder what’s going on?”
Ghandi duduk tegak. Dia membelalak sembari menutup bibir dengan satu tangan, serta ekspresi kaget berlebihan. Seakan-akan, sebuah keajaiban baginya mendengar aku menyodorkan pertanyaan serius.
“Seriusan, Ndi. Gue coba ingat apa lo pernah kasih tanda kalau ya—gini—kalau lo deketin orang pasti ada alasan. Karena orang itu menguntungkan di nilai pelajaran, misalnya. Tapi seumpama itu alasan lo nyesel nggak deketin gue …” Aku tertawa pelan, dan mata Ghandi terangkat dengan sorot hangat yang mengirimkan getar tak wajar dalam dadaku. “Come on, lo selalu juara satu seangkatan kita. Nah, gue—sepuluh besar di kelas aja udah puji syukur. Sementara, kalau gue sambungin buat alasan—”
“Naksir?”
Aku mengangguk. “Sori dulu, nih. Berapa tahun kita sekelas terus, lo selalu baik dan ramah ke semua cewek di kelas kita. Lo gampang nolong, berapa kali gue lihat lo nggak sungkan pasang badan buat cewek-cewek yang kena ledekan sana-sini. Apa yang lo lakuin ke mereka, lo lakuin juga ke gue. Nggak ada something special, alasan kuat, yang buat gue percaya sama ucapan lo tadi.” Satu alis Ghandi terangkat, senyum lembutnya memudar, dan hal yang paling aku sebal darinya muncul—ekpresinya tidak terbaca. “Maksud gue, kebaikan lo ke gue nggak ada bedanya sama mereka. Setiap kita beres pembagian rapor, lo selalu negur anak-anak kelas sebelah karena mereka mengulang lagi pembahasan betapa bedanya fisik gue dan orangtua gue ….”
Napasku tercekat rasa sakit yang tiba-tiba muncul bagi hantu di siang hari. Gaung bisik-bisik yang tercipta dari barisan keluarga inti Elvan saat aku dan Bunda-Papa memasuki private room salah satu hotel bintang lima Surabaya, berputar layaknya lagu menyebalkan yang tidak sengaja kutekan tombol play-nya.
Aku sengaja berdeham sekaligus mengusir segala tentang Elvan keluar dari pikiranku, lalu lanjut bicara, “Kayak lo negur kakak kelas yang ngeledek berat badan Emilia.” Senyum yang hilang seiring datangnya sakit dalam hatiku, bisa aku hadirkan lagi. “I can’t find a reason that makes me believewhat you say.”
Ghandi memosisikan duduk menghadapku, dengan mata yang terlihat sibuk menimbang-nimbang setiap kata yang kukeluarkan. “Gue di sini, di kamar lo. Apa yang kita lakukan tadi. Nggak lo perhitungkan sebagai alasan?”
“Hah?” Aku mempertimbangan untuk tidak menjawab, tetapi aku merasa apa yang aku katakan bisa jadi pertanda baginya untuk melewati jalur terima-kasih-untuk-malam-menyenangkan-ini-sampai-jumpa. “Terbawa suasana?” Aku mengangkat kedua bahu, lalu berkata, “Kayak di film-film. Gue lagi sedih. Lo lagi sendirian. Kita terbawa suasana, terus—astaga, Ghandi. Gini—”
“Gini, Ndis,” potong Ghandi. “Kalau lo menganggap gue biasa melakukan seks sama sembarang cewek karena terbawa suasana dari kondom di dompet gue—” Dia berhenti sebentar. Meski tidak ada tanda-tanda kehadiran senyum di wajah Ghandi, aku bisa merasakan apa pun kata yang tersusun di benak cowok ini—bukan omelan. Sembari menggeser bokong lebih dekat, ibu jari Ghandi menyapu lembut punggung tanganku. “Kondom itu ada di dompet gue dari 8 bulan lalu.” Dia mengangguk. “Lo paham ‘kan? Karena gue punya pasangan dulu.” Tidak sanggup menatap Ghandi lebih lama, aku menggeser pandangan pada televisi yang memutar video musik Bruno Mars. “Tenang. Expired-nya masih jauh. Masih aman.”
Aku tahu dia berusaha mencairkan suasana lagi dengan kalimat jenaka itu, tetapi entah bagaimana pengakuan tadi terasa menusukku. Bukan karena kenyataan bahwa Ghandi melakukan hal itu juga sama mantannya, atau rasa tidak nyaman yang umum dirasakan ketika teman tidur membahas pendahulu, tetapi karena fakta aku baru saja menuduh Ghandi seolah-olah sama seperti cowok-cowok brengsek di film romance barat—mudah bergonta-ganti cewek demi kepuasaan semalam.
“Gue naksir lo dari kita kelas dua.” Kalimat tegas tetapi bernada membujuk dari bibir Ghandi, menyambung lagi tautan mata kami. “Dari sebelum lulus SMP jalan gue udah ditentuin sama orangtua gue, Ndis. Lebih tepatnya, gue didikte sama bokap. Lo pikir gue mau jadi juara satu terus?” Ghandi menggeleng, diikuti senyum getir, hingga mengalirkan rasa asam ke lubuk hatiku yang paling dalam. “Gue—” Meski bibirnya terbuka, tidak ada satu kata pun yang menyusul. Aku menunggu. Seperti dia menunggu aku bercerita sendiri alasan aku berada di Malaysia. “Gue nurut bokap supaya nyokap aman.”
Spontan aku duduk. Tidak menduga pembicaraan dari seputar ketertarikan remaja, menyambung ke masalah—yang menurutku terlalu pribadi. Sejujurnya, aku ingin mengakhiri perbincangan karena merasa tidak layak, tidak cukup dekat buat mendengar masalah keluarga Ghandi. Namun, badanku berkhianat. Sialan. Alih-alih menutup, aku justru menangkup satu tangannya yang sejak tadi berada di dekat punggung tanganku.
“Itu juga alasan gue pasang badan buat anak cewek di kelas kita. Gue terbiasa melindungi nyokap dari segala serangan bokap. Insting aja gitu.” Aku menelan rasa ngeri mengira-ngira apa yang sebenarnya terjadi di rumah Ghandi. Sepanjang ingatanku tentangnya di sekolah, dia selalu jadi sosok riang, yang mengundang banyak tawa semua orang—termasuk aku—walau selalu aku sembunyikan. “Bokap abusive banget. Mental. Fisik. Cara satu-satunya bikin hidup nyokap tenang, ya, nyenengin bokap. Beliau mau gue jadi yang terbaik seangkatan, oke. Beliau mau gue kuliah di universitas dengan jurusan IT terbaik di Aussie, oke. Gue melakukan semua hal, yang nggak bisa dilakukan bokap semasa muda.”
Separuh jiwaku dihantam rasa syok yang amat besar, tetapi aku kesulitan menentukan respon apa yang pas untuk kisah ini tanpa membuat Ghandi tersinggung. Tiba-tiba, satu tangan Ghandi menangkup pipiku.
“Itu alasan gue nggak berani nunjukin rasa suka gue ke lo,” bisiknya. “Ini tolol, tapi setiap kali gue pengin banget buat duduk nemenin lo di kantin sambil makan mi ayam Mang Karjo, tuker tempat duduk sama Michael supaya lebih gampang nge-speak tipis-tipis, sampai nyaris nekat nawarin diri jadi tutor Kimia lo dan berharap kita cinlok. Setiap kali semua keinginan buat lebih dekat sama lo menggila, gue selalu ngajuin banyak pertanyaan ke diri sendiri, yang jawabannya bikin semua keinginan gue tadi wush—ilang.”
“Apa?”
Ghandi memperhatikan Gendhis sejak masih sekolah | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Bagaimana kalau gue berhasil mendapatkan perhatian lo, terus status kita bisa lebih dari teman? Apa yang harus gue lakuin kalau status itu baik-baik aja sampai kelulusan? Apa lo mau berhubungan jarak jauh sama gue, yang nggak pasti kapan bisa balik ke Indonesia? Oke, kalau lo mau—berapa lama hubungan kayak gitu awet? Bagaimana kalau gue nyakiti—”
Aku menutup bibirnya dengan tangan, sembari mengernyit. “Ndi, waktu itu umur lo masih belasan loh. Kenapa isi otaknya serumit isi kepala gue di umur mau kepala tiga begini, sih? Terlalu banyak bagaimana dan kalau.” Kemudian, aku memindahkan semua jemariku dari bibir ke pipinya—membelai ringan dan lembut di sepanjang tulang rahang. Aku sadar seharusnya pertanyaan yang mendadak muncul dalam pikiranku tetap berada di sana aja, tetapi … “Bagaimana kalau seandainya bisa berhasil?”
Ghandi tidak memalingkan wajah. Tidak juga bicara. Dia membiarkan pertanyaan dariku menggantung di udara, tetapi setelah beberapa detik bergulir—dia membuka bibir dengan kedua tangan menangkup wajahku. “That’s why i’am here.”
Bersambung
1Cece panggilan Kakak perempuan 2Titi panggilan adik laki-laki
Ibu dari tiga anak yang lebih suka nulis romance, daripada masak. Sudah berhasil menerbit 8 buku. Untuk melihat atau mencari informasi tentan naskah lain, bisa follow IG: @Flaradeviana