Searching for Someday chapter 8 by Flara Deviana | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Setelah Emilia memberikan alamat, Ghandi bergegas menuju ke sana dengan kalut. Benaknya dipenuhi berbagai pertanyaan; apakah Emilia memberikan alamat yang sebenarnya, dan apakah Gendhis bersedia menemuinya?
***
10 Juli 2019 19.28 P.M
PERJALANAN TERLAMA DAN TERPANJANG seumur hidup gue. Nggak terhitung berapa kali gue menekan klakson sembari mengumpati kendaran lain. Mobil yang lelet, motor yang seenak jidat nyelip. Begonya, melihat kondisi jalan ibu kota yang sebenarnya udah semerawut dari dulu, gue berpikir; Wah, ada yang sengaja menghalangi pertemuan gue sama Gendhis. Sialan!
Pemikirian tolol yang tercipta gitu aja karena terjebak di jalan selama dua jam lebih.
Banyak kemungkinan bisa terjadi selama itu. Gendhis kabur lagi, misalnya.
Memang Emilia memberikan alamat secara sukarela, tapi gue yakin 100%—setelah gue keluar dari ruangannya—cewek itu pasti langsung menghubungi Gendhis. Saking yakinnya, sepanjang perjalanan dari Senayan menuju BSD, gue menanyakan hal yang sama ke diri sendiri secara berulang; Apa yang harus gue lakukan kalau Gendhis benar-benar kabur? Apa gue perlu datang ke tempat Emilia, terus minta dia anterin gue ke Gendhis saat itu juga—nggak berangkat sendiri kayak gini? Atau, mulai meyakinkan diri sendiri buat nyerah ….
Gue menarik napas kasar sembari melepaskan genggaman dari stir, lalu memandangi bangunan dua lantai berdesain minimalis modern, yang kata Emilia tempat tinggal sementara sebelum Gendhis pergi keluar kota lagi. Kalau dipikir-pikir, gue pernah merelakan apa pun yang gue rasain ke cewek itu. Dan gue baik-baik aja. Seharusnya, nyerah sekali lagi bukan masalah. Iya ‘kan? Tapi kenapa gue malah bersikap menyedihkan begini? Membiarkan harapan tetap tumbuh subur dalam hati gue. Mengizinkan kenangan singkat kami di Malaysia terus berkuasa di benak gue.
Sekali lagi, sebelum turun dari mobil, gue menarik dan mengembuskan napas kasar. Menyiapkan diri untuk apa pun hasil yang bakal gue terima.
Diiringi sisa-sisa keyakinan tentang pertemuan kami bakal lancar, gue berjalan melewati mobil HR-V putih yang terparkir di carport. Gue menyentuh badan mobil yang dingin seraya menggemakan keras-keras kalimat penuh keyakinan dalam hati, kalau mobilnya ada, orangnya pasti ada.
Siapa tahu kalimat itu bisa membujuk rasa putus asa yang meraung-raung tenang walau cuma sebentar. Alih-alih tenang, keputusasaan sialan itu melibatkan lebih banyak perasaan–membentuk belitan dari berbagai macam emosi, sampai bersikap tenang menjadi rencana yang sulit buat gue lakukan.
Gue menciptakan beberapa langkah lebar yang terburu-buru, mengetuk ringan dan panjang pintu yang diwarnai senada sama cat bangunan; putih. Nggak terdengar suara-suara yang menandakan adanya kehidupan di dalam sana, apalagi permintaan sopan buat menunggu. Di samping pintu ada satu jendela persegi panjang, tapi tertutup rapat oleh tirai—nggak ada celah sedikit saja buat gue mengintip situasi di dalam sana.
Rasa frustrasi menggeliat, hingga tercipta satu pertanyaan besar; Berapa persen kemungkinan Emilia ngasih alamat palsu?
Gue menggeleng seraya melepaskan erangan pelan. Nggak. Nggak. Emilia nggak mungkin melakukan hal sejahat itu. Jadi, gue mendesak pikiran baik berkembang lebih besar supaya pikiran buruk terdorong keluar dari otak gue, bahwa ini rumah dua lantai—bisa saja si penghuni ada di atas dan nggak mendengar ketukan. Karena berpendapat begitu, gue bersiap mengulang ketukan, tapi pintu lebih dulu terbuka sebelum tangan gue mencapainya.
Nggak salah alamat.
Sosok yang gue cari sampai nyaris gila karena nggak ada jejak sama sekali, berdiri di depan gue—di ambang pintu—berekspresi datar—mengenakan tank top hitam serta celana pendek biru tua di atas lutut. Seketika, gue mengalami dejavu. Malam itu posisi kami persis kayak gini. Mata gue secara otomatis menelusuri dirinya. Secara fisik dia berubah banget; rambut hitam bergelombang super lembut yang selalu jadi ciri khasnya sejak sekolah, dipotong habis—disisakan tepat di garis rahang, lalu diberikan warna cukup berani—tosca. Dilihat dari tulang selangka dan pipi tirusnya, gue langsung tahu dia kehilangan lebih dari lima kilogram bobot tubuhnya. Dari semua perubahan fisik ini, tattoo di sepanjang tulang jempol tangan kirinya paling mencuri perhatian gue; Breathe.
Ketika pandangan kami bersirobok, hantaman keras mengenai dada gue sampai sakitnya minta ampun, sekaligus membuat gue paham tattoo di tangannya adalah pengingat untuk dirinya sendiri. Apa dia pernah berpikir untuk berhenti bernapas?
Ghandi dan Gendhis akhirnya bertemu lagi | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Kenapa di antara semua perubahan besar ini—lo setia memelihara kesedihan dan rasa putus asa?” Wah, pembuka obrolan yang bagus, Ghandi! Tapi gue nggak bisa menahan diri, kenyataan bahwa dia masih terlihat nggak baik-baik saja—meledakkan rasa marah dalam diri gue.
Satu lengan Gendhis yang tadi memegangi gagang pintu terkulai lemas di samping pahanya, dia tercengang.
“What? Apaan sih, Ndi? Lo—” Berengsek, bahkan nada bicaranya masih persis seperti setahun lalu. Mati-matian supaya terdengar biasa saja, padahal hancur lebur. “Ngapain ke sini?” Gue menaikkan satu alis, sementara dia mempertontonkan senyum canggung yang ujung-ujungnya membesarkan kemarahan gue. “Bukan. Bukan. Itu bukan pertanyaan—”
“Boleh gue masuk?”
“Hah? Gue—”
“Gue janji nggak bakal nyentuh lo. Seujung rambut pun. Atau gini, lo duduk, gue berdiri. Nggak masalah, yang penting kita bicara empat mata, di tempat yang lebih privasi dari teras rumah dan menghindari obrolan kita jadi tontonan satpam cluster atau tetangga lo. Kalau lo takut gue aneh-aneh, silakan diikat.” Gue menyodorkan kedua tangan, dan Gendhis menggeleng.
“Bukan gitu. Gue, Ndi—”
“Oh, oh, oke gue paham.” Gue semakin sulit menahan kegusaran. Gue berang banget, berpikir adanya kemungkinan gue satu-satunya orang yang nggak bisa jalan maju dan melupakan apa pun yang terjadi di Malaysia. “Lo nggak sendirian di rumah ini. Sori. Sori. Gue—”
Ghandi menyerahkan tangannya untuk diikat | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Gue sendiri, Ghandi!”
“Terus, kenapa?!”
“Apa yang perlu kita bicarain? Emilia udah cerita, ‘kan, semua yang terjadi sama gue?” Gendhis mengangkat kedua bahu. “Liburan kita udah setahun berakhir. Sebelum check out, gue pamit dan ngucapin terima kasih ke lo. Urusan kita udah selesai, Ghandi.”
“Urusan Kita?” Gue mengarahkan telunjuk secara bergantian ke wajahnya dan wajah gue. “Selesai? Wah …” Kemudian, gue menunduk sembari berkacak pinggang. “Setahun terakhir, gue kayak orang gila—nyariin lo.” Ketika menelan ludah, rasa pahit menyebar cepat di kerongkongan lalu bercokol di dada gue. “Lo pergi tanpa pamit, Ndhis. Surat yang lo tinggalin di receptionist itu—itu bukan surat perpisahan yang layak. Apa sih yang lo takutin dari gue? Hm?” Gue menengadah dan mengunci pandangannya. “Kalau ada yang mengganjal dari sikap gue ke lo, bilang. Kalau memang lo merasa kita nggak mungkin gerak ke mana-mana, bilang. Bukannya pergi gitu aja, Ndis.” Satu tangan gue meraup wajah dengan kasar, sementara yang lain bertahan di pinggang. “Kenapa lo bawa kita ke situasi kayak gini?”
Ibu dari tiga anak yang lebih suka nulis romance, daripada masak. Sudah berhasil menerbit 8 buku. Untuk melihat atau mencari informasi tentan naskah lain, bisa follow IG: @Flaradeviana