Searching for Someday chapter 7 by Flara Deviana | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Ulang tahun sendirian di negeri asing dengan orang-orang asing, membuat Gendhis mendadak merenungi semua pilihannya. Rasa sepi membuatnya bertanya-tanya; salahkah keputusannya meninggalkan Indonesia dan tunangannya?
***
11 Juli 2018 23.15 P.M
KALAU AKU URUTKAN di sepanjang ingatan selama hidup, tidak pernah sekalipun aku merasa sesepi ini di hari ulang tahunku. Sedari kecil, Bunda selalu membuatku kue terenak dengan hiasan terniat. Fresh from the oven dapur keluarga kami. Ketika aku sudah tahu asal-usul tentang siapa aku, alasan aku diadopsi, Papa menambahkan ritual ulang tahun buatku. Biasanya hanya memeluk dan memberikan kado, sedari tahun itu sampai tahun lalu—beliau mencium keningku dengan penuh kasih sayang sambil berbisik, “Terima kasih sudah hadir ke dunia ini, Gendhis.”
Tentu saja si kembar ambil andil di pesta kecil-kecilan yang disiapkan untukku. Sejak mereka mampu melafalkan kata-kata dengan lancar, nyanyian cempreng selamat ulang tahun dari mereka selalu jadi alasan aku tertawa geli.
Dan Elvan … aku melepaskan napas kasar sembari mengganti sepatu dengan sandal hotel. Aku diam di tempat sebentar, coba mengatur napas yang terasa kian berat tiap detiknya. Dari tanggal resmi berganti, aku mati-matian mengabaikan dan menjauh, tetapi ingatan selalu menarikku balik ke satu tempat di mana semua tentang Elvan berkuasa. Ucapan tepat di jam 00.00. Makan malam romantis. Hadiah demi hadiah yang dia berikan sepanjang hari.
Dengan terseok-seok, aku berhasil mencapai ranjang lalu menjatuhkan diri.
Aku memandangi langit-langit kamar. Keputusasaan menyala dalam diriku, disusul desakan dari berbagai pengandaian yang mencari posisi terbaik dalam benakku. Kalau saja aku tidak mengakhiri segalanya, apa hari ini bakal jadi ulang tahun paling membahagiakan? Kalau aku tidak pergi sejauh ini, apa ada yang berhasil meyakinkanku buat melanjutkan hubungan dengan Elvan? Si kembar, misalnya. Apa memang seharusnya aku tidak perlu pergi? Mungkin Elvan benar, bahwa pilihanku kali ini sangat egois dan tidak berpikir panjang.
Ketika pengandaian mulai mengarah ke penyesalan, bel pintu kamar yang berbunyi nyaring menarikku kembali pada keteguhan; Ini terbaik. Ini tepat.
Dengan perasaan syukur baru diselamatkan sekaligus jengkel diganggu tengah malam, aku merayu badanku agar mau meninggalkan ranjang, lalu menyeret kaki menuju depan pintu kamar. Di setiap langkah yang tercipta, aku bertanya-tanya siapa yang berani mengunjungiku di jam segini? Aku tidak memesan makanan, apalagi menunggu tamu. Apa orang ini salah kamar? Dalam hitungan detik banyak kalimat pedas terangkai di otakku. Namun, saat pintu terbuka, dan menemukan si tamu tak diundang itu adalah Ghandi—rangkaian kata sinis mengabur dan bibirku terkunci rapat. Dengan perlahan mataku bergerak turun meninggalkan wajah cerianya, lalu terpaku pada sesuatu yang dia bawa; kue kecil berhiaskan satu lilin menyala. Spontan, mataku menyipit dan merenungkan pemandangan ini. Apa setelah perpisahan di lift tadi dia buru-buru membeli kue? Tidak mungkin. Waktu berpisah kami tidak terlalu lama. Lagi pula, mana ada toko kue yang buka selarut ini?
Tunggu.
Bagaimana dia bisa tahu hari ini aku berulang tahun? Seharian aku tidak pernah mengungkit-ungkit soal pertambahan usia. Aku menarik napas pendek, menahan beberapa detik, kemudian memasang wajah datar saat pandangan kami beradu lagi.
“Ghandi?” Aku sengaja menggunakan nada bingung.
Seakan-akan, aku tidak memahami maksud kehadirannya.
Seakan-akan, beberapa detik lalu aku tidak merasa sedih dan kesepian, bahkan nyaris menyesali seluruh keputusanku.
“Happy birthday, Gendhis!” seru Ghandi, diiringi senyum lebar yang membuat rasa putus asa di dadaku semakin besar saja. “Tahu nggak, sih, gue sampai perlu tiga kali bujuk petugas recepsionist buat anterinke lantai ini. Untung ada satu petugas yang memang lihat kita barengan dari awal check in, dan beliau mau bantuin gue meyakinkan temannya kalau kita benar-benar kenal. Untungnya lagi, kue ini udah gue beli dari kemarin.” Dia menjelaskan dengan semangat, tetapi aku tetap diam. Seolah, tersadar tidak sengaja memasuki wilayah perang, Ghandi meredupkan senyum di wajahnya lalu bersikap hati-hati. “Buat permohoan dulu, nanti lilinnya keburu habis. Let’s go. Let’s go. Perlu gue nyanyiin nggak?”
Aku menarik napas dan menggeleng.
Dalam hitungan detik, aku melakukan semua yang diperintahkan Ghandi. Memejamkan mata seolah berdoa. Meniup lilin. Menerima kue. Setelahnya, aku tetap diam. Ya ampun, aku benar-benar tidak tertolong! Normalnya, di situasi seperti ini aku mengucapkan terima kasih, atau apa pun kalimat yang menggambarkan kesopanan.
Ghandi merayakan ultah Gendhis | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Oke. Kalau gitu, gue—”
“Masuk, Ndi,” pintaku.
Meski aku sudah berdiri menyamping dan menyediakan ruang lewat yang lebar, Ghandi tidak bergerak. Matanya memandangku lamat-lamat dengan bibir sedikit terbuka. Meski tidak ada yang terucap, aku bisa merasakan sebuah pertanyaan menggantung di antara kami; Are you sure? Karena aku pun menanyakan hal itu pada diri sendiri, Serius, nih? Mau ngapain di dalam sana? Lomba diam-diaman? Di tempat ramai, di tengah banyaknya hal menarik yang bisa dijadikan obrolan, aku cuma mampu menciptakan tidak lebih dari lima jari. Apalagi, bila berada di kondisi seperti ini? Setelah aku bersikap seakan-akan terganggu oleh kejutan kecil darinya.
Namun, fakta bahwa kehadiran Ghandi membuatku merasakan sedikit kelegaan, memancing rasa egois berkuasa dalam diriku. Aku mau dia lebih lama menemaniku, demi mencegah kemungkinan terburuk yang bisa terjadi kalau aku kembali terjebak di kamar hotel sendirian; aku membereskan semua barang bawaan lalu pulang ke Indonesia.
“Masuk, Ghandi,” ucapku sekali lagi, dengan nada lebih lembut sekaligus membujuk. “Please?”
Kemudian, dia mengangguk lalu berjalan melewatiku.
“Terima kasih,” kataku, menarik perhatiannya yang berdiri sejajar pintu kaca kamar mandi, dengan canggung sembari melesakkan kedua tangan di saku chino cokelat. “By the way, lo tahu dari mana kalau hari ini …” Aku sengaja mengambil jeda, lalu berjalan menuju meja panjang di bawah televisi untuk menaruh kue. Setelahnya, aku duduk di pinggiran ranjang dan lanjut bertanya, “Gue ulang tahun?”
Ghandi meminta izin mendekat. Ketika aku mengangguk kecil, dia duduk di sampingku sambil memandangi televisi yang kunyalakan tanpa memedulikan apa yang terputar di sana. “Jadi, tiap kali gue buka buku kenangan SMA, gue selalu lihat biodata lo di atas biodata gue. Ya, otomatis hafal aja.”
Rasa kaget dan heran bercampur jadi satu. Buat apa dia membuka buku kenangan SMA? Milikku saja entah tertumpuk di mana. Di tengah usahaku memproses jawabannya, Ghandi menoleh dan menautkan pandangan kami. Sepersekian detik, aku merasakan percikan ketertarikan merangkak keluar dari mata cokelat gelapnya, merambat liar menuju bagian kosong dalam diriku sampai-sampai aku perlu melekukkan semua jemari kakiku demi menghentikan perasaan aneh yang tiba-tiba saja tercipta dan menggelitik sanubariku.
“Gue juga hafal ulang tahun Hans.” Ghandi melanjutkan kalimat sembari tertawa. “Kalau lo di atas gue, dia tepat di bawah nama gue. Ingat Hans, ‘kan?”
Dengan segera, rasa-rasa asing yang kupikir sedang membangun jalan agar hubungan kami bisa lebih dekat dan santai–hilang, lalu kata bodoh menggema kencang di benakku. Apa sih yang kupikirkan? Dari dulu Ghandi memang ramah dan perhatian sama orang lain. Bisa-bisanya, aku memikirkan hal yang aneh-aneh. Demi Tuhan, Gendhis! Mengingat ulang tahun teman semasa sekolah sama sekali tidak spesial! Bukan sesuatu yang perlu dibesar-besarkan, apalagi sampai … kesedihan kurang ajar–berani-beraninya memengaruhi logikaku sampai sekonyol ini!
Ghandi terlalu wah buat suka cewek biasa kayak lo! sentakku pada diri sendiri. Bukannya lo dengar sendiri kata papanya Elvan, Elvan mau sama lo aja termasuk keberuntungan mengingat lo cuma–
Aku buru-buru menempelkan mataku ke layar televisi. Bersikap tertarik pada film China, yang pemainnya tidak kukenal satu pun. Namun, Ghandi mengejar mataku sampai mencondongkan setengah badan besarnya ke arahku, hingga mau tidak mau aku melihat lagi matanya yang tenang.
“Kenapa?” tanyaku.
“Ih, harusnya gue yang tanya. Kenapa lo keliatan kecewa?”
Rasa kaget mengguncangku, tetapi hilang cepat setelah teringat dia memang selalu berhasil membaca ekspresiku. Lagipula, aku perlu mencari sebuah jawaban masuk akal sebelum mempermalukan diriku lebih banyak lagi di depan dia.
“Lo nggak suka kue pilihan gue?” tanya lagi, dan memasang ekspresi khawatir daripada menggoda. “Hmm. Karena gue nggak tahu kesukaan lo apa, jadi gue tanya sama tokonya kue best seller di sana apa. Terus, mereka bilang red velvet. Makanya gue beli cake yang itu. Gini, gini, bagaimana kalau besok lo pilih sendiri cake atau apa pun makanan yang lo suka? Gue traktir. Kue yang ini, kalau emang nggak suka, lo nggak perlu makan. Buat gue aja. Oke?”
Aku berusaha untuk tersenyum, tetapi gagal. Jadi, yang bisa kulakukan adalah menunduk dalam-dalam sembari menggeleng. “Gue. Suka red velvet. Thank you. Gue cuma—” Aku menggigit kencang bibir bagian bawah. “Gue nggak kecewa sama apa pun yang lo lakuin. Ini–thank you banget, Ghandi. Gue … Gue … Gue kecewa sama diri sendiri. Kalau aja gue nggak bersikap pengecut, mungkin—” Aku mengembuskan napas lambat-lambat. “Gitu deh.”
“Ulang tahun sendirian di tempat asing begini pasti rasanya nggak enak.” Aku merasakan satu telapak tangan Ghandi diletakkan santai di bahuku, mengantarkan panas yang mudah menembus kaus lalu membelai kulit bahuku. Secara naluriah, aku mengangkat kepala dan menatapnya. “That’s why i came to see you. Gue nggak mau lo sedih sendirian malam ini. Seenggaknya, kalau lo nangis, gue bisa pinjemin bahu. Kalau lo mau dipeluk–” Dia mengangkat kedua bahu santai lalu memberikan undangan berpelukan secara terbuka dengan melebarkan kedua tangan.
Tembok tinggi yang kubangun demi menyembunyikan tiap perasaan dari hari pertama kami bertemu, seketika runtuh. Hancur menjadi kepingan kecil tak terselamatkan. Masa bodoh sama prinsip tidak mau terlihat lebih menyedihkan atau memalukan. Toh, sudah kadung juga. Dari obrolan-obrolan kami, dia tahu betapa masalah ini menghancurkanku sampai tak berbentuk.
Seperti tahanan yang baru saja mendapatkan izin bebas. Air mataku berguling santai menuruni pipi.
“It’s hard for me to be here,” lirihku. “Tapi stay di Jakarta berpotensi menciptakan satu alasan kuat lainnya buat gue benci sama tanggal ini. Padahal, sejak Bunda dan Papa jujur soal masalah adopsi–mereka berusaha keras supaya gue nggak marah dilahirkan dan ditinggalkan di rumah sakit.” Aku kembali menunduk, dengan air mata yang bertambah deras. “Dan nyebelinnya, udah pergi sejauh ini—satu alasan itu berhasil ngejar gue. Ujung-ujungnya, rasa benci nggak terelakkan, dan rasa bersalah sama orangtua gue makin gede.”
“Jangan bersikap terlalu keras sama diri sendiri, Ndhis.” Dengan air mata yang kian deras, aku menahan napas mendapati jemari panjang milik Ghandi berhasil mengurai satu kepalan tanganku dan bertaut dengan jemariku. “Lo terus nyalahin diri sendiri, sering banget ngatain diri sendiri pengecut, tapi lo tahu nggak ada hal lucu nyelip di antara pernyataan itu.” Tanpa melepaskan genggamannya, Ghandi mengubah posisi berlutut di depanku, mencari-cari mataku, seraya menyunggingkan senyum menenangkan. “Pengecut mana yang mengabaikan takut ketinggiannya buat pergi ke luar negeri yang jarak tempuhnya kurang lebih dua jam di pesawat, yang punya perbedaan waktu satu jam lebih cepat dari Indonesia, definisi asing sebenarnya–nggak tahu apa-apa soal negara ini, sendirian pula!”
Ghandi berhasil membujuk mataku menemui matanya.
Kehadiran Ghandi menemani Gendhis yang kesepian | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Menjauh sebentar dari masalah yang menyakiti lo bertahun-tahun, nggak bisa dijadiin alasan buat menghakimi diri sendiri sampai kayak gitu. Nggak apa-apa kok, Ndhis.” katanya. “Istirahat sebentar. Isi baterai. Kalau udah siap, baru berjuang lagi.”
“Why are you here, Ghandi?”
Sepersekian detik, mata Ghandi melebar, lalu perlahan melembut. Di tengah hari yang kian larut dan tanggal sudah berganti, Ghandi menatapku semakin dalam dan bermakna. “Kan, gue udah bilang, nggak mau lo sendirian.”
“Kenapa lo nyamperin gue di bandara? Kenapa lo pindah duduk waktu di pesawat? Kenapa lo buang waktu liburan buat nemenin gue? Kenapa lo repot-repot beli kue ulang tahun? Kenapa lo ada di kamar gue, Ghandi?”
“Lo nggak suka sama semua pilihan gue?”
Seharusnya memang begitu, tetapi— “Kan, gue udah pernah bilang, gue bersyukur ketemu lo. Gue—”
Tiba-tiba, Ghandi mengangkat satu tangan yang bebas dan menyelipkan ke belakang kepalaku, membawa keningku sedikit lebih rendah sampai bertemu dengan keningnya. Ini gila, tapi aku tidak berkeinginan buat menolak atau mengusirnya.
Secara perlahan, mata Ghandi terpejam lalu berbisik, “Gue lagi melakukan hal-hal yang gue sesali selama bertahun-tahun, Gendhis.” Air mataku seketika mengering, tetapi otakku menolak keras ide mencari tahu maksud sebenarnya dari pernyataan itu. “Seharusnya, semua ini gue lakukan semasa kita sekolah. Deketin lo.”
Napasku kembali tertahan.
Mendadak, seluruh benda di ruangan ini tampak membesar. Seakan-akan, ada orang yang menuangkan cairan ajaib, hingga mau tidak mau kami menjadi sangat dekat dan jarak sempit yang tadi tersisa lenyap begitu saja.
Di tengah rasa bimbang, aku tetap memiringkan wajah dan menggosokkan rahangku ke rahang Ghandi, menunduk lebih dalam sampai bibir kami saling berpapasan. Napasku yang berubah berat, menyatu dengan napas Ghandi yang memburu. Aku berpikir untuk membatalkan kegilaan, mengingatkan diri sendiri baru saja keluar dari satu hubungan sangat serius, dan ciuman ini sangat tidak adil bagi Elvan ataupun Ghandi. Namun, saat mata Ghandi mengunci mataku dan bibirnya membisikkan namaku, aku mengabaikan semua pikiran orang lain terhadapku.
Aku pasrah saat Ghandi menautkan bibir kami, membiarkan sensasi aneh yang terpancar di antara bakal janggutnya membujuk bibirku terbuka kian lebar, menikmati aroma halus yang sangat maskulin milik Ghandi, sampai-sampai aku mengizinkan kobaran panas menyiapkan diri melahap kami dengan tuntutan yang lebih dari sekadar ciuman. Ghandi menekan bibirku lebih mantap, mencondongkan badan ke arahku sambil meremas rambut di lekuk leherku.
Entah bagaimana, di antara satu demi satu tarikan napas menuntut dan membuai, aku sudah berbaring di ranjang dan Ghandi separuh membelit di atasku. Dengan bertopang siku, jemari-jemari Ghandi bebas membelai lembut rambutku, sementara bibir dan lidahnya bergantian menjelajahi setiap sudut bibirku.
Otakku kosong. Dadaku serasa mengembang kian besar, sampai aku khawatir beberapa detik lagi bakal meledak. Setiap sel dalam tubuhku menjerit sekaligus memohon agar diizinkan menyatu dengan tubuh Ghandi. Percaya atau tidak, aku bahkan sedang mempersiapkan diri buat memohon. Mengesampikan harga diri karena demi apa pun yang di dunia, ciuman Ghandi berhasil membangunkan sisi liar dalam diriku yang selama ini ogah menunjukkan dirinya saat aku bersama Elvan.
Namun, ketika sesuatu yang mengeras terasa di antara kedua pahaku—kami sama-sama tertampar kenyataan.
Ciuman terbaik sepanjang aku hidup terhenti, dan kami bertukar tatapan penuh arti.
Ibu dari tiga anak yang lebih suka nulis romance, daripada masak. Sudah berhasil menerbit 8 buku. Untuk melihat atau mencari informasi tentan naskah lain, bisa follow IG: @Flaradeviana