Seaching for Someday chapter 6 by Flara Deviana | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Pertemuannya dengan Emilia membuat Gandhi mengetahui secuil rahasia Gendhis yang tak pernah ia sangka. Sekaligus juga rahasia Gandhi tentang Gendhis di masa-masa lalu hidup mereka. Akankah Emilia tergerak untuk membantu Gandhi menemukan Gendhis?
***
10 JULI 2019 14.59 P.M
EMILIA MEMANDANGI GUE dengan ngeri. Setelah sebelumnya, gue tegas menolak berhenti membahas Gendhis. Malahan, gue memberikan dia tiket berdebat sampai malam. Apa pun bisa gue lakuin, yang penting keberadaan Gendhis ada di tangan. Tentu saja cewek ini senewen. Dari dulu dia selalu kalah dalam permainan adu mulut sama gue. Jadi, Emilia berdiri, melampiaskan rasa kesal dengan melayangkan satu pukulan kencang ke pinggiran meja. Kebiasaan lama yang ternyata belum hilang. Dengan kedua mata nyaris keluar dan wajah tegang, dia meninggalkan kursi lalu berjalan mondar-mandir di samping meja selama beberapa saat. Nggak begitu jelas apa yang dia rapalkan di sana, tetapi dari gerakan bibir yang tertangkap mata gue—sepertinya umpatan. Kemudian, dia kembali duduk. Ada jeda singkat, yang sengaja diambil Emilia demi meringankan situasi antara kami.
“Is that you?” Kira-kira sepuluh menit keheningan dibiarkan berada di tengah kami, sampai pertanyaan dingin dan kaku Emilia mengudara, lengkap dengan tatapan tajam. “Cowok yang nemenin dia selama di Malaysia?”
“Oh. Jadi kalian sedekat itu, sampai—”
“Ghandi!”
Emilia mendesak Ghandi | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Iya. Gue.” Karena di mata gue kedekatan mereka masih samar-samar, Gue kesulitan mengira-ngira sejauh apa Gendhis cerita tentang kami kepada Emilia. Tapi, dilihat dari raut wajah Emilia yang semakin kaku, kayaknya—
“Gue sama Gendhis satu kampus, satu jurusan.”
Otak gue segera bekerja keras. Mencoba mengurutkan apa-apa saja yang sering gue lihat di media sosial Emilia selama bertahun-tahun. Mulai dari kami lulus SMA, sampai—sembari memandangi iPad, gue menaruh satu siku di pinggiran meja dan memijit sebelah pelipis. Setiap tahun di tanggal ulang tahun Gendhis, Emilia selalu menuliskan ucapan ulang tahun buat sahabat terbaiknya, bahkan tahun lalu juga—ditambahkan beberapa kalimat penuh makna yang intinya nggak masalah melepaskan dan menjauh asal bisa menemukan lagi diri sendiri.
Dungu. Dungu. Kenapa gue nggak bisa kepikiran itu buat Gendhis? Kenapa gue merepotkan diri bertanya-tanya tanpa ujung selama setahun, padahal jawaban ada di depan mata? Sialan!
“Dia juga mantan tunangan dari sepupu gue.” Mata gue membelalak ke arah Emilia, sementara cewek itu mengangguk seraya tersenyum getir. Raut wajah yang sedari awal tegang berubah sedih. “Gue yang bantu mereka dari pedekate, pacaran, sampai meyakinkan Gendhis buat nerima lamaran.”
Pelan-pelan, gue kembali menyandarkan punggung ke kursi.
Saking mengejutkan dan sulit dipercaya, gue sampai nggak tahu harus bagaimana merespons informasi ini. Selama di Malaysia, Gendhis nggak pernah mention soal tunangan. Hanya tentang hubungan yang berjalan lama, hingga ujung-ujungnya kehilangan diri sendiri. Nggak ada tanda-tanda kalau apa yang diselesaikan sebelum pergi ke Malaysia adalah jalinan serius. Sudah begitu berhubungan sama Emilia. Haduh!
“Hari ulang tahun dia tahun lalu dipilih jadi hari pemberkatan dan catatan sipil di Jakarta. Dan di akhir minggu, di tanggal 14, dia seharusnya jadi ratu semalam di resepsi.”
Cewek di depan gue ini terkekeh getir. Entah mentertawakan ekspresi aneh yang tercetak di muka gue, atau mentertawakan kegoblokkan dirinya selama bertahun-tahun mengaku sahabat tapi nggak sadar hubungan yang dibantu sampai meyakinkan menikah ternyata menyakiti Gendhis sedalam itu.
“Wajar lo syok begini,” lanjutnya sembari mengangguk kecil. “Dia bilang ke gue; dia punya banyak kesempatan buat jujur tentang alasan dia pergi ke Malaysia, tapi dia nggak pernah berani cerita ke ‘teman’ perjalananya. Selain dia nggak mau terlihat lebih menyedihkan, dia juga khawatir sama apa yang dipikirkan si teman ini, walau ujung-ujungnya dia milih buat pergi lagi.”
Sejujurnya, gue nggak pernah membayangkan akan mendengar kisah ini. Sedari awal gue menerima pesan dari receptionist hotel, gue mengira dorongan utama kepulangan mendadak Gendhis adalah rasa bersalah pada hubungan sebelumnya atau rasa takut gue bakal melakukan hal yang dilakukan mantannya.
“Setahun belakangan situasi Gendhis sulit, Ndi.” Karena gue masih mengunci bibir, Emilia berinisiatif bicara lebih dulu. “Gue yakin, sampai detik ini juga masih sulit. Memang dia nggak mengeluhkan apa pun ke gue, bahkan ke orangtuanya, tapi—”
“Kenapa?”
“Apa?”
“Kenapa dia membatalkan pernikahan di detik terakhir begitu?”
Undangan pernikahan Elvan & Gendhis | ilustrasi: Hippwee via www.hipwee.com
“Itu, terlalu privasi deh. Gue nggak punya hak buat—”
“Oke. Kalau itu terlalu pribadi.” Gue sengaja duduk tegak, dengan kedua tangan lurus di atas meja. “Kenapa dia pulang dari Malaysia lebih cepat dari seharusnya? Kenapa dia ngilang dari hidup gue gitu aja setelah—“ Gue berhenti sejenak, menarik napas dalam, lalu lanjut bertanya, “Intinya, kenapa?”
“Privasi Gendhis? Fine. Kasih tahu gue di mana dia. Biar gue tanya langsung semua pertanyaan tadi. Sialan, Lia! Kenapa muter-muter begini, sih?” Gue menggunakan nada tinggi, yang menaikkan sebelah alis gelap milik Emilia. Sulit untuk tidak menggunakan emosi di saat-saat seperti ini. Kayaknya, sisa-sisa kesabaran yang gue rawat selama setahun terakhir memutuskan menyusul tindakan Gendhis—pergi tanpa pamit. Dengan memasang ekspresi lebih teguh, gue mencondongkan badan sampai menyentuh tepian meja. “Sori, Lia, gue—”
“Kenapa lo nggak bisa menganggap apa yang terjadi di Malaysia kayak One Stand Night biasa? Bukannya cowok itu bisa lebih mudah melupakan hubungan singkat yang berhubungan sama tempat tidur?” Emilia bertanya dengan nada seperti gue, menuntut. Mungkin gue terlalu kaget ternyata Gendhis menceritakan secara utuh apa yang terjadi di antara kami, atau bisa jadi sel-sel dalam otak gue sedang bekerja keras demi jawaban paling masuk akal, hingga membiarkan pertanyaan Emilia menggantung cukup lama. Kemudian, cewek itu bersuara lagi, “Karena harga diri? Lo ditinggal pergi setelah ‘permainan’, terus lo mikir mungkin apa yang lo tampilkan nggak oke atau sejenis itu.” Emilia menggeleng, menarik sudut bibir ke atas. “Nggak ada sangkut pautnya sama itu.”
Gue mendesis, lalu balik melemaskan badan dengan bersandar ke kursi. Sambil mengetukkan telunjuk ke meja, gue bertanya tanpa menjawab argumen Emilia, “Bukannya lo pernah bilang, jangan takut buat berjuang, Ndi. Apa pun hasilnya yang penting lo usaha dulu. Gue—”
“Gue juga bilang itu ke Gendhis!” sentaknya. “Tapi, apa hasilnya? Itu nyakitin Gendhis. Lo pikir setelah gue nuntun dia masuk ke hubungan neraka dan penuh kebohongan, yang sialannya juga gue ketipu, gue bakal semudah itu nuntun dia lagi ke hubungan yang didasari nafsu?!”
Gue menelan geraman, mengizinkan cewek itu memelototi gue selama beberapa detik, baru kembali ke arena panas ini. “Gue tahu ingatan lo nggak bisa diandalkan, tapi—semoga lo ingat tentang cokelat valentine yang gue beli selama dua tahun dan nggak berani gue kasih ke orangnya.”
Emilia terdiam, jemari-jemari lentik cewek itu meremas pinggiran kertas yang tadi dia pakai buat mencoret-coret ide. Dia ingat. Gue bertaruh 100%. Dari perubahan wajah yang berangsur melunak, gue tahu ingatannya masih menyimpan rapi tentang itu. Dua tahun berturut-turut kami duduk sekelas, dia lebih tahu banyak tentang gue daripada orang lain—termasuk masalah hati. Walau nggak pernah menceritakan secara terang-terangan, dia tahu gue menyukai satu orang semasa di sekolah.
“Semoga lo juga ingat, gue pernah cerita udah naksir berat sama satu cewek, tapi gue takut deketin karena mikirin masa depan.” Emilia coba melarikan mata, tetapi gue berhasil menangkapnya lagi. “Karena udah pasti gue bakal pindah ke luar negeri, dan gue ngeri kalau-kalau pendekatan itu berhasil dan kami harus menjalani hubungan jarak jauh.” Kedua mata Emilia melebar dan berkaca-kaca. “Iya. Momen lo ketawain gue karena superpede sampai membayangkan sejauh itu, dan juga hari di mana lo mengucapkan kalimat tentang berjuang tadi.” Secara otomatis satu tangan Emilia menutupi bibir. “Ini bukan masalah harga diri atau nafsu. Gue tahu kapasitas permainan gue di ranjang. Gue juga bukan tipe cowok gila seks yang sembarangan bawa cewek ke ranjang tanpa melibatkan perasaan. Gue—” Di suatu tempat jauh di dalam hati gue, tempat yang nggak pernah bisa dimasukin oleh siapa pun, membuka pintu lebar-lebar, mempertontonkan kekosongan dan menuntut gue segera membawa si pemilik ke sana. “Gue nggak bisa berhenti lagi sebelum berjuang. Pertemuan kedua kami, menyadarkan gue, dia lebih dari sekadar cinta monyet yang nggak kesampaian. Please, Lia, i need to meet her ….”
Cokelat-cokelat Valentine yang Gandhi simpan untuk Gendhis | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Ibu dari tiga anak yang lebih suka nulis romance, daripada masak. Sudah berhasil menerbit 8 buku. Untuk melihat atau mencari informasi tentan naskah lain, bisa follow IG: @Flaradeviana