Searching for Someday chapter 5 by Flara Deviana | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Menyetujui ajakan Ghandi untuk liburan bersama ternyata tidak salah. Apalagi Ghandi memberi sebutan “Liburannya Gendhis” yang membuat Gendhis merasakan sensasi berbeda. Saat tembok yang dibangunnya sedikit melunak, tahukah Gendhis ke mana semua ini akan bermuara?
***
10 JULI 2018 12.30 P.M
SETELAH MENGHABISKAN SATU hari mengelilingi Pavilion Mal bersama Ghandi, aku merasa jauh lebih santai di dekat dia. Memang, sih, kami cuma memutari satu lantai ke lantai lain dari mal terbesar di Kuala Lumpur itu. Masuk ke banyak toko, yang lebih banyak sebatas lihat daripada beli. Namun, ada satu hal yang dilakukan Ghandi, dan berhasil mengurangi kadar kesinisan dalam diriku, hingga kecanggungan antara kami pun mencair. Dia membiarkan aku memilih semua toko yang kami kunjungi, begitu pun tempat makan.
Ada satu restoran yang kupilih tidak terlalu enak, sudah gitu mahal pula, tetapi dia tidak mengomel. Hanya tertawa dan berkata, “Tempat ini ramai karena konsep bukan rasa.” Seperti tahu aku was-was sampai tidak bisa memandangnya, dia mengetuk bagian kosong di samping piringku lalu memberi sedikit wejangan sembari tersenyum, “Nggak semua tempat yang kelihatannya wah dan ramai, menyuguhkan makanan enak. Dan, nggak semua tempat sepi, isinya nggak enak”
Hasrat ingin mengakhiri perjalanan sebelum malam, lenyap. Bahkan, aku berhasil berpisah sebentar dari kawan baikku, si diam.
Selain itu, aku juga berhasil menepikan fakta, bahwa ini pengalaman pertamaku jalan berdua saja sama lawan jenis selain Papa dan Elvan. Meski yang dihasilkan cuma obrolan pendek-pendek, dan lebih banyak Ghandi yang bertanya tentang diriku—bagiku ini awal yang bagus. Sebelum kami sampai ke hotel, sesudah makan malam, Ghandi tiba-tiba menunjukkan beberapa channel YouTube traveling. Katanya orang-orang itu punya banyak rekomendasi tempat di Malaysia, dan Ghandi menugaskanku memilih kegiatan kami berikutnya dari sana.
“Karena ini liburan pertama lo, ya, harus berkesan.” Begitu jawaban Ghandi saat aku meminta dia saja yang memilihkan tempat-tempat recommended buat kami kunjungi, dengan alasan agar lebih mudah dan cepat. Padahal, aku hanya khawatir pilihanku membosankan. Elvan selalu bilang begitu setiap kali aku memilih film apa yang kami tonton, musik yang kami dengarkan di mobil, sampai tempat atau acara yang kami kunjungi.
Namun, Ghandi bersikeras harus aku yang memilih. Dan kuakui, apa yang dia katakan berhasil menyulut sedikit semangatku. “Liburannya Gendhis.” Selama ini, aku pergi berdasarkan kemauan orang-orang. Kuliner yang mau dicoba Bunda, tempat hits hasil pencarian berjam-jam si kembar di Instagram, hotel yang menurut rekan bisnis Papa oke, hingga tempat-tempat yang menurut Elvan cocok buat kami.
Liburannya Gendhis | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Sumpah, ini agak berlebihan, tetapi ‘liburannya Gendhis’ berputar terus di benakku sepanjang sisa perjalanan dari mal ke hotel, perpisahan di lift, bahkan sepanjang malam di kamarku. Rasanya sama seperti saat Papa mengizinkan aku tinggal sendirian di apartemen dengan syarat aku mempertahankan IPK 3 plus sampai lulus kuliah. Aku termotivasi. Aku mulai memikirkan tempat atau kegiatan apa yang membuatku merasa benar-benar sedang liburan bersama teman, bukannya melarikan diri dari setumpuk pertanyaan Bunda dan Papa, ataupun tuntutan Elvan.
Semalam suntuk aku menonton banyak video yang sebelumnya tidak membuatku tertarik, tahu-tahu menjelang subuh aku berhasil membuat daftar tempat apa saja yang kami kunjungi sampai hari terakhir. Tentu saja dengan beberapa opsi cadangan yang kupilih berdasarkan pengamatan singkatku tentang kepribadian Ghandi sejak awal bertemu di bandara dan kenangan samar-samar di masa sekolah dulu.
“Lo nggak salah pilih tempat,” bisik Ghandi, begitu kami tiba di Ikan Bakar Bellamy dan turun dari mobil. Aku gagal mencegah mataku melebar. Karena dari awal dia tidak banyak bicara, aku sudah bersiap menerima ekspresi malas atau bosan. Seperti yang dipasang Elvan tiap kali pilihanku tidak sesuai maunya, tetapi … “Ini bumbu bakarnya. Asli. Enak! Setiap kali gue ke Malay, gue pasti balik ke sini. Eh, lo ternyata juga milih ini.” Ghandi tertawa pelan sambil satu jempol tinggi-tinggi. “Good job, Ndhis!”
“Kok, baru muji sekarang?” Bibir menyebalkan! “Dari tadi lo nggak komen apa-apa, gue kira—“
“Kemarin malam gue minum sedikit di kamar.” Ghandi tertawa pelan sembari menggosok-gosok tengkuk. “Jadi gitu, tadi masih ada efek alkohol dikit, sekarang mah udah oke.”
Aku mengangguk pelan, lalu memalingkan wajah darinya dan berjalan lebih dulu. Mati-matian menjaga wajahku tetap datar, khawatir tertangkap basah olehnya kalau detik ini hatiku sedang dipenuhi banyak bunga. Namun, aku gagal—senyumku merekah. Iya. Aku mendadak seperti anak kecil yang dipuji karena mendapatkan nilai bagus. Benar-benar dipuji, tanpa tambahan tetapi. Model kemeja pilihan kamu oke, tapi lebih better kalau warna gelap aja daripada terang. Kira-kira begitulah salah satu contoh pujian yang berujung kata tetapi yang sering sekali kudengar dari Elvan.
“Kita bagi tugas,” kata Ghandi, di belakangku, ketika aku sedang berdiri di pinggiran jalan masuk dan mengamati sekeliling. “Ini self service. Lo tungguin bakaran, gue ambil nasi—sambal—minum. Oke?”
Berbagi tugas di Ayam Bakar Bellamy | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Aku menggangguk. Lalu memosisikan diri di depan dua lelaki yang bertugas membakar ikan pari dan cumi. Sejujurnya, aku tidak menyangka tempat ini bakal ramai—nyaris penuh. Ya, memang kami datang di jam makan siang, tetapi ini bukan hari weekend yang kata orang di YouTube pasti bakal ramai. Sudah begitu, melihat jalan masuk menyerupai gang lebar dengan barisan pohon rindang yang lumayan jauh dari jalan raya, melewati satu sekolah besar dan tenang, kupikir—aku tertawa getir dalam hati. Untuk hal-hal remeh begini saja aku salah, tidak heran kalau persoalaan seserius hati dan hubungan aku mendapatkan nilai merah.
Aku lebih cepat menyelesaikan tugas, sementara Ghandi terlihat masih menunggu minuman. Jadi, sambil membawa nampan berisi dua porsi hidangan, aku memilih tempat duduk di area pinggir yang dekat dengan angin alam daripada kipas.
Tidak lama setelah aku memisahkan milikku dan milik Ghandi, dia datang lalu duduk di seberangku dengan wajah puas sekaligus kelaparan. Karena kebiasaan menyiapkan remeh-temeh prosesi makan buat Elvan, aku juga melakukan itu buat Ghandi. Aku membersihkan sendok-garpu, menaruh minuman di dekat jangkuannya, memosisikan piring nasi berdampingan dengan lauk yang lebih dulu kutata.
Ketika aku beres melakukannya, mataku bertemu mata Ghandi. Lalu, dia bertanya, “Mau difoto dulu nggak?”
“Emang boleh?” Dan tololnya, aku balik bertanya.
Ghandi terbahak, setelah berhasil meredakan tawa—dia bertanya lagi, “Emang ada larangan nggak boleh foto makanan? Lagi pula, lo udah menata serapi ini—“
“Oh, bukan. Ini bukan buat difoto. Gue—“ Aku berhenti sejenak sambil memegang erat sendok-garpu di satu tangan. “Ini cuma kebiasaan. Orang yang gue kenal bilang; foto-foto makanan sebagus apa pun bentuk atau tata letaknya adalah tindakan norak dan mengganggu.”
“Norak kalau dilakukan secara berlebihan. Ganggu kalau teman makannya nggak nyaman dan terlalu lapar buat tunggu. Tapi, selama teman makan nggak masalah, lo nggak rusuh,” gumam Ghandi, sembari mengangkat satu tangan ke arahku. “Silakan. Buat kenang-kenangan liburan pertama lo. Serius.”
Aku menarik napas panjang sembari mengikat rambut panjang bergelombangku menyerupai buntut kuda, lalu mengambil ponsel dan mencari posisi bagus. Setelah berhasil mendapatkan tiga jepretan, aku mengambil satu lagi—memosisikan kamera lurus menghadap Ghandi. Sebagian besar foto berisi makanan di tengah, sisanya tangan bertato naga Ghandi yang sedang tertekuk di pinggir meja.
Bagian dari kenangan, tidak ada maksud lain.
Selama beberapa saat, kami sama-sama menikmati makanan yang ada. Ketika aku selesai lebih dulu, aku melirik Ghandi yang terlihat tenang dan sangat menikmati makanannya. Mendadak, aku mulai bertanya-tanya dalam hati; Apa yang sudah dilalui cowok ini selama kurang lebih sepuluh tahun? Bagaimana dia hidup di luar negeri? Dari yang kudengar seminggu setelah kami resmi lulus SMA, Ghandi langsung terbang ke Aussie—sendirian. Apa saat ini dia memiliki pacar? Dengan wajah semenarik itu, aku sangsi dia masih sendiri. Hm. Bagaimana kalau kekasihnya tahu kami pergi berdua saja? Waduh.
Foto makanan untuk kenangan | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Kenapa, Ndhis?”
Pertanyaan Ghandi menyingkirkan banyak rasa penasaran dalam diriku secepat kedatangannya tadi, tetapi ada satu yang tertinggal—yang kupikir harus diluruskan sebelum salah paham tercipta. “Do you have girlfriend?”
Ghandi nampak terkejut, tetapi dia menggeleng sambil tersenyum penuh arti.
Pasti bohong. Dia ini tipe cowok yang biasa dikelilingi cewek-cewek, bahkan sejak kami duduk di sini—aku menghitung ada sekitar enam cewek mencuri pandang ke arahnya.
“Sumpah,” lanjutnya, bersamaan dengan kerutan yang tercipta di keningku. “Enam bulan lalu ada, tapi bubar. Ekspektasi kami sama-sama ketinggian buat satu sama lain.”
Spontan, aku mencondongkan badan dan melipat kedua tangan di atas meja setelah lebih dulu menumpuk lalu menggeser piring bekas makanku ke sisi kosong. “Kok bisa?”
Ghandi megangkat bahu. “Dari awal kami dekat, gue udah menyodorkan satu masalah yang selalu jadi momok setiap kali gue coba berhubungan sama cewek—waktu. Gue jelasin ke dia kerjaan gue kadang nggak kenal jam, pindah satu deadline ke deadline lain. Kalau gue harus siap sedia buat masalah-masalah dadakan, yang kadang nggak lihat sikon—lagi nonton, misalnya. Masalah manggil, ya gue harus pergi. Setelah gue jabarkan begitu, dia nerima. Gue pikir; ah, akhirnya ada yang memahami situasi gue.”
Ghandi tertawa dibuat-buat, dan aku menahan napas. Rasa kecewa yang kubawa sejak tujuh bulan lalu menggelegak. Aku juga ada di situasi itu. Ah, akhirnya ada cowok yang mau menerima gue apa adanya. Namun … aku menjatuhkan satu tangan di atas paha, menyembunyikan kepalan di bawah meja, sementara pandangku tidak bergeser sedikit pun dari Ghandi.
“Eh, tetap nggak bisa awet,” lanjut Ghandi. “Sama kayak hubungan sebelumnya, berhenti di bulan ketiga. Dan kata perpisahannya serupa; buat apa punya pacar, tapi nggak selalu ada.”
Aku menghela napas lambat-lambat. Meski sudah kuperingatkan diri sendiri agar berhenti menyamakan atau membandingkan kondisi, ujungnya aku selalu mencari-cari hal itu.
Ghandi jarang ada, Elvan selalu ada buatku. Selalu.
Seperti gadis umum yang baru menjalani hubungan pertama, aku luar biasa senang. Namun, semakin banyak hari berlalu, muncul satu pertanyaan yang bertambah besar dan akhirnya meledak beberapa hari lalu; dia sungguh-sungguh mau melewati banyak hal denganku, atau sangat menyukai fakta dia memegang kontrol di semua aspek hidupku. Gendhis yang menuruti apa pun permintaan Elvan. Gendhis yang selalu mengalah, setiap kali Elvan sudah menyeburkan mantra; “Ndhis, kamu percaya aku aja ya. Kayak biasanya.”
“Tapi hubungan terakhir buat gue sadar.” Suara Ghandi berhasil mencegah pikiran-pikiran tentang Elvan muncul lebih banyak lagi. Ketika sedang berusaha memfokuskan diri padanya, dia ikut memajukan badan dan melipat kedua tangan di atas meja. “Masalah gue bukan waktu, tapi pioritas.” Satu kepalanku semakin erat di bawah sana. “Sahabat sekaligus partner bisnis gue punya hubungan yang terjalin lama dan baik-baik saja, bahkan gue pulang ke Indonesia buat datang ke nikahan doi. Kami ada di bidang yang sama, membesarkan perusahaan yang sama, sering kerja sampai subuh bareng, tapi gitu deh.”
Mendadak, kepedihan familier sekaligus tidak menyenangkan terasa di dadaku. Pioritas. Apa selama ini aku dijadikan prioritas buat Elvan, seperti aku yang memprioritaskan dia habis-habisan?
“How about you?” Aku memiringkan sedikit kepala, dan dia gagal menyembunyikan binar rasa penasaran di matanya. “Ups, sori!” Dia menggigit bibir bawah lalu meringis. “Lo nekat kabur sejauh ini buat menghindari pertanyaan about your relationship, eh, gue—“
“I think i lost myself,” semburku tanpa pikir panjang. “Awalnya menyenangkan. Dia pacar pertama gue, bukan my first love, tapi dia cowok pertama yang bertahan setelah tahu tentang gue.” Aku berusaha tersenyum. Berhasil, tetapi aku yakin di mata Ghandi aku terlihat menyedihkan. “Ya, lo tahu kan alasan gue kurang luwes bergaul selama kita sekolah, karena apa—“ Aku mengisi bibirku dengan sedikit udara, seperti hamster menyembunyikan makanan sampai kedua sisi pipi menggembul, lalu mengeluarkan lagi udara itu secara cepat. “Walau umur bertambah, gue masih nggak percaya diri sama status anak adopsi yang jelas banget. Sama kayak lo, gue kasih tahu dia di awal. Tentang status gue, tentang kedua orangtua gue—yang kandung dan angkat. Terus dia dengan percaya diri milih stay, yang buat gue mikir he’s the one. Tapi makin lama, gue makin ngerasa hal-hal manis di awal jadi bikin enek. Banyak hal yang mengganggu dari sikap dia cuma ada di kepala gue, nggak bisa gue ungkapin. Apa pun yang dia mau dan ucapin, gue lakuin. Banyak deh. Dan beberapa hari terakhir, gue sadar gue terlalu memprioritaskan dia sampai mengabaikan diri gue sendiri.”
“Lo tahan semua itu bertahun-tahun? Why?”
“Kan ada itu yang bilang, berjuang saja dulu sampai nggak ada lagi yang bisa diperjuangin. Daripada sok-sokan pergi, ujung-ujungnya balik. Tolol, sih, tapi ya ada benarnya. Gue berhasil bertahan karena satu alasan penting, dan sekalinya alasan itu hancur nggak terselamatkan …” Lagi, lagi, aku mengambil jeda untuk mengurangi emosi yang mendesak dalam dada. Aku mengangkat kedua bahu lalu lanjut berkata, “Gue punya keberanian buat pergi sejauh ini.”
Ibu dari tiga anak yang lebih suka nulis romance, daripada masak. Sudah berhasil menerbit 8 buku. Untuk melihat atau mencari informasi tentan naskah lain, bisa follow IG: @Flaradeviana