Setahun berlalu, Ghandi belum menyerah mencari Gendhis. Ia pun mencari cara untuk bertemu Emilia, sahabat SMA-nya yang sempat mengunggah IG Story tentang Gendhis. Berhasilkah upaya Ghandi?
***
10 JULI 2019
13.10 P.M
“ARE YOU REAL? Ghandi, seriously?! Gue nggak lagi mimpi, ‘kan?”
Pertanyaan pertama yang menurut gue berlebihan langsung dilemparkan Emilia begitu kaki gue berhasil melewati pintu ruangan cewek ini. Secara fisik dia berubah total. Gaya hidup sehat berhasil mengusir berkilo-kilo lemak jahat yang sering sekali membuatnya nggak percaya diri sewaktu di sekolah dulu. Nggak ada lagi kacamata. Wajahnya cerah dan bersih meski nggak memakai make up berlapis-lapis. Rambut hitam yang dulu selalu dipotong bob, kini tergerai sedada dengan perpaduan warna hitam di bagian atas dan warna ash grey di bagian bawah yang berikal. Caranya berpakaian memang dikhususkan untuk difoto lalu ditaruh di Instagram dengan hashtag Outfit Of The Day. Emilia benar-benar serius pada statusnya sebagai selebgram dan juga pengusaha clothing line.
Dia berdiri dan keluar dari meja yang terlihat penuh sama kertas serta pensil warna, sementara gue masih berdiri di depan pintu ruang yang tertutup. Satu tangan gue menyembunyikan iPad di balik punggung, satu yang lain memilih berada di dalam saku jaket kulit hitam.
“Jadi lo beneran kerja di LaviXon?”
Gue memutar bola mata sebagai jawaban dari pertanyaan yang sama sejak gue telepon dia pagi tadi, memperkenalkan diri sebagai perwakilan perusahaan yang akan menangani pemesanan aplikasi Fashion UI miliknya, sekaligus teman lama.
Emilia tertawa. “Oke. Oke. Nggak nanya yang aneh-aneh lagi. Ayo, duduk.”
Jemari lentiknya yang ber-nail art menunjuk sudut yang berhadapan langsung sama pintu. Dia duduk lebih dulu, dengan gaya ceria berlebihan yang memancing cengkeraman gue ke iPad makin kencang. Iya. Waktu kami duduk bareng emang dia nggak setenang cewek-cewek di kelas, tapi juga nggak begini. Terlalu sering menggerakan tangan dan nada suara tinggi. Wah, kayaknya ini nggak semudah yang gue pikirkan. Setelah lima menit diam di tempat, Gue menyusul duduk di depannya dan menaruh iPad di meja bundar putih ukuran sedang.
“Njir, lo ngeliat gue kayak liat orang baru bangkit dari kubur.” Saking nggak tahan lagi sama gerakan naik-turun berlebihan dari kedua bola matanya saat gue melangkah sampai kami berhadapan.
Dan Emilia tertawa keras, seakan-akan kalimat gue barusan sama kayak bercandaan yang gue lempar demi menghibur dia yang diledekin anak kelas lain.
“Emang iya. Lo tuh ngilang, bro.”
“Ilang dari mana, sih?” Gue nyaris menjawab, Gue nggak ilang. Teman lo yang ilang. Untung berhasil ditahan dan menjaga pembahasaan ini tetap di jalurnya. “Kita follow-follow-an Instagram loh. Waktu zaman Facebook juga kita temenan, gue sering like status galau lo, kita pernah berapa kali bales-balesan komen. Eh, di Instagram ini juga gue sering like foto lo yang … wah.”
“Apa? Sexy?”
Gue mengangkat bahu. Toh, dia memang nggak butuh jawaban gue.
“Kenapa lo juga berpendapat sama beberapa teman angkatan kita kalau gue terlalu berlebihan foto pakai bikini, lingering, dan lain-lain?”
“Ada hak apa gue komentarin tindak-tanduk lo?” gue balas nanya. Walau Emilia nggak benar-benar mengatakannya, gue bisa merasakan komentar orang-orang dari masa lalu itu sedikit banyak mengganggunya. “Kan, gue udah sering bilang. Apa pun yang bikin lo nyaman, belum tentu orang lain ngerasain juga. Begitu pun sebaliknya. Jadi, daripada pusing mikirin omongan orang, mending pusing bahagiain diri sendiri.”
Lagi pula, dia sudah terlalu banyak menelan ejekan yang berhubungan sama berat badan. Gue rasa cara dia posting setiap perubahaan di media sosial bisa juga bentuk kebanggaan pada diri sendiri. Dan ini yang paling penting, dia menghasilkan pundi-pundi dari sana. Endorse. Kerja sama bareng pihak-pihak lain. Dia bisa bisa ketemu lebih banyak orang. Bahkan, mempunyai bisnis fashion begini.
“Setop,” potong gue begitu melihat bibirnya yang sedari tadi menyunggingkan senyum, sedikit terbuka. “Kerja dulu.” Gue sengaja mengetuk-ngetuk telunjuk ke iPad. “Baru kita omongin masa muda.”
Selama satu jam gue dan dia mendiskusikan tentang semua hal yang berkaitan sama aplikasi fashion miliknya, detail apa yang ingin dia mau kasih di sana, bayangan dia soal komposisi warna, lalu gue juga meminta dia mengirimkan detail beberapa produk yang bisa gue jadiin uji coba buat presentasi di meeting selanjutnya.
“By the way, lo kok bisa dekat sama Gendhis?” tanya gue sembari menandai tanggal di iPad, menuliskan waktu yang kami sepakati untuk meeting kedua.
Fakta bahwa pertanyaan itu cukup mengejutkan, membuat gue mewajarkan keheningan telak yang diberikan Emilia. Sewaktu gue mengangkat wajah, dia sudah mengerutkan kening seolah mencurigai sesuatu.
ADVERTISEMENTS
Kamu sedang membaca konten eksklusif
Dapatkan free access untuk pengguna baru!