Setelah percakapan dari hati ke hati, apa yang terjadi satu tahun lalu dan alasan Gendhis pergi tanpa pamit terkuak. Lantas jalan apa yang dipilih oleh Gendhis dan Ghandi untuk masa kini?
***
10 JULI 2019
20.15 P.M
“GENDHIS.”
Lima kali gue manggil dia, dan nggak terjadi apa-apa. Gendhis masih duduk sambil tertunduk di sisi terujung dari sofa hitam berbahan kulit berbentuk L. Sementara gue, yang duduk di sisi ujung lainnya kesulitan mengalihkan pandangan dari dia, sembari merekam setiap detail perubahan dirinya selama setahun—seolah-olah ini hari terakhir gue ketemu dia.
Keheningan besar yang duduk di tengah kami justru mengantarkan kilasan peristiwa sebelum dia menghilang di benak gue. Dimulai dari pilihan kami buat menghabiskan waktu satu hari di hotel saja, berbaring bersama, menonton HBO, berpelukan dan bergelung di selimut, membicarakan semua yang terlintas di pikiran masing-masing sampai salah satu dari kami mengubah suasana menjadi sensual lagi, lalu berakhir dengan kesepakatan buat tidur terpisah daripada terjaga sepanjang malam buat kali kedua.
Dan setiap kali itu terulang, satu perasaan yang sama menggeliat nggak nyaman dalam dada gue. Bingung.
Kamu sedang membaca konten eksklusif
Dapatkan free access untuk pengguna baru!
“Terima kasih udah menemani gue selama di sini. Sori. Gue ada keperluan mendesak banget sampai nggak bisa pamit langsung. Ghandi, perjalanan ini berarti banget buat gue.” Dengan suara terdengar parau, gue mengulang setiap kata yang Gendhis tulis di suratnya. Ternyata berhasil membuatnya mengangkat kepala, lalu memandang gue dengan mata melebar. “Setahun penuh isi surat itu muter terus di sini.” Gue mengetukkan telunjuk ke kepala sendiri. “Bentuk tulisan tangan lo, sampai titik dan komanya aja gue ingat.”
Sepasang rona merah mewarnai pipi Gendhis. Dia membuka bibir, tapi bukannya suara yang keluar—hanya helaan napas putus asa. Mendadak kedua tangannya sibuk meremas-remas lutut, kedua kakinya juga bergerak naik-turun sangat cepat. Badan gue mengejang, kenapa jadi orang ketakutan begini? Rasa bingung yang duduk diam dalam hati gue mengizinkan rasa lain menemani, jengkel.
Kami kembali terdiam, sampai Gendhis memecah keheningan dengan helaan napas yang lebih kasar.
Fuck!
“Ndis—”
“Karena lo udah tahu gue bukan cuma memutus hubungan yang lama tapi juga pembatalan pernikahan, gue langsung mulai dari malam lo keluar kamar gue,” sanggahnya. Mendengar getaran suara menahan tangis, melajukan denyut jantung gue, sekaligus membunyikan alarm peringatan supaya gue siap mendengar cewek ini bilang; gue nyesel tidur sama lo. “Ingat nggak waktu itu lo bilang gini ke gue; Ndis, namanya orangtua pasti khawatir sama anak. Seenggaknya lo kasih kabar ke mereka, nggak perlu kasih tahu detail lo di mana, yang penting mereka tahu anaknya baik-baik saja.”
Gendhis sedikit mendongakkan kepala ke belakang. Hanya beberapa detik. Kemudian, meluruskan wajahnya lagi sambil memiringkan duduk menghadap gue. Walau bukan kalimat yang gue takutkan, ekspresi menahan sakit yang jelas banget di wajahnya tetap memberikan efek nyeri ke gue—membesarkan dorongan buat menarik dia ke pelukan gue.
“Setelah lo keluar dari kamar, gue nyalain handphone. Banyak banget notif masuk. Nggak berapa lama, telepon Bunda masuk …”
Dia menarik napas panjang, diikuti dada yang naik turun dengan cepat. Gue meyakinkan diri sendiri buat bertahan di posisi awal daripada diusir. Gagal. Bokong gue nggak mau nurut, bergeser dikit. Nggak terlalu dekat, tapi cukup bikin gue menemukan kilap basah di ujung mata Gendhis.
“Bunda kasih kabar Papa masuk rumah sakit. Hipertensi.” Dada gue mencelus, dengan kedua tangan terkepal di sisi badan. Jadi, alasannya benar-benar mendesak. Rasa empati menyapu gue. Desakan buat lebih mempersempit jarak kami menggila. Walau bukan pelukan, seenggaknya gue mau megang tangan dia. “Karena gue.”
Pembatalan pernikahan dekat hari H, hilang nggak bisa dihubungin, rasanya wajar kalau bokap Gendhis sampai kepikiran begitu. Tapi, apa yang harus gue bilang di sini? Gue nggak benar-benar tahu apa yang terjadi. Semua masih abu-abu.
“Keluarga my ex buat keributan di rumah,” lanjutnya pelan. “Satu hari menjelang ulang tahun gue, menjelang pemberkatan nikah.” Tiba-tiba, dia menunduk dan tertawa sangat getir. Gue udah kebayang sekacau apa keadaan itu. “Ketika gue lagi jalan-jalan sama lo, di sini kacau balau.”
Dia kembali mengangkat wajah. Di antara lembapnya kulit karena air mata, gue menemukan banyak tautan dari berbagai ekspresi di wajahnya: duka, marah, frustrasi, bingung, lalu yang paling besar … penyesalan.
“Mereka minta uang yang udah dikeluarkan buat acara sialan itu diganti. Bunda dan Papa mengiakan. Nggak masalah. Sampai mamanya mantan gue ngerendahin gue serendah-rendahnya di depan Bunda dan Papa, ngungkit soal asal-usul gue yang nggak jelas, bilang gue anak buangan, nuduh gue menghasut anaknya buat bohong bertahun-tahun, muka dua, dan masih banyak lagi.”
Gue tenganga. Makin nggak tahu harus berkata apa.
“Iya, itu alasan gue mundur dari pernikahan. Gue tahu alasan paling kuat gue bertahan sama orang ini, nggak pernah ada. Dia bohong selama bertahun-tahun ke gue. Keluarganya nggak pernah tahu gue anak adopsi, mereka semua tahu di hari pertemuan kedua keluarga. Gue yang chinesse banget, orangtua yang lokal banget.” Gendhis berhenti sejenak, dengan badan yang gemetar pelan. “Gue nggak tahu dan nggak mau tahu cara dia nyimpen semua itu gimana, yang gue tahu setelah acara itu beres—sikap semua keluarganya berubah ke gue. Kecuali Lia. Bahkan, Lia aja kaget sama fakta di depan mata kami.”
Untuk kesekian kalinya, dia terdiam lagi setelah menarik napas panjang. Ekspresi menderita Gendhis, bikin gue menyalahkan diri sendiri. Apa seharusnya gue nggak datang ke sini? Gue menuntut penjelasan demi ketenangan hati, tapi dia menggaruk luka yang belum kering sampai berdarah lagi.
“Long story short, Papa yang tadinya berhasil kontrol emosi jadi naik pitam. Ikut adu mulut, nggak terima mereka menghina gue sampai bawa-bawa masalah hubungan darah kami, balikin duit seperti yang mereka mau, terus usir mereka dan kasih peringatan buat jauh-jauh dari gue. Nggak berapa lama setelah mereka pergi, Papa drop.” Gendhis mengayunkan satu tangan tanpa arti. “Tekanan darah beliau tinggi banget, berujung ke stroke ringan.” Gue nekat menggeser diri, dan dia tidak menjauh. “Beliau udah better, tapi gue—”
“Lo belum?”
Dia mengangguk dengan mata berkaca-kaca. “Bunda dan Papa marah ke gue, tapi bukan karena gue membatalkan pernikahan itu. Karena gue milih kabur dari masalah, daripada berjuang bareng mereka.”
“Itu yang lo lakuin ke gue juga.”
“Maybe yes, maybe no.” Gendhis mengangkat kedua bahu. “Gue sering kok kepikiran buat hubungin lo, apalagi kalau ngerasa sendirian banget. Tapi, gue nggak bisa karena nggak adil buat lo.”
Kali ini, gue yang narik napas panjang.
“Dari banyaknya cerita yang lo bagi ke gue setelah kita tidur bareng, gue menyadari satu hal. Lo berani ambil langkah dekat ke gue karena masa lalu udah beres. Mama lo udah aman. Bokap lo udah tenang di surga. Dan apa-apa yang dipaksain bokap dulu, udah jadi hal menyenangkan buat lo.” Agak mengejutkan, tapi Gendhis ambil bagian memperpendek jarak kami. “Gue belum, Ndi. Masa lalu gue masih jadi momok menakutkan, jadi alasan kuat buat gue marah sama diri gue sendiri. Gue masih takut menghadapi diri gue sendiri. Dan gue nggak mau melemparkan diri ke lo, cuma karena gue tahu lo bakal terima gue apa adanya.”
“Ndis—”
“Let me talk first, oke?” Jarak benar-benar hilang. Lutut kami saling sapa, tangannya menangkup satu tangan gue yang terkepal di paha. “Ini hal paling penting, hal yang bikin gue sanggup nahan keinginan buat telepon lo malam-malam demi ngeluarin banyak sampah yang nggak bisa gue keluarin di depan orang lain.” Gendhis menundukkan kepala, lalu lanjut bicara, “Gue belum yakin alasan gue mau menghubungi lo karena apa? Cinta? Teman cerita? Gue masih belum tahu gue mandang lo sebagai apa, Ndi.”
Kata-kata itu secara otomatis mengiris hati gue, tapi anehnya—gue nggak kesal atau marah.
Gendhis menengadah menatap gue lagi. Dan badan gue benar-benar berontak, dengan satu tangan menangkup pipinya, ibu jari gue bergerak pelan ke kanan dan kiri seakan mampu menghilangkan jejak tangisan di sana.
“Ini bagian lain dari kalimat nggak adil buat lo.” Gendhis menarik kedua sudut bibirnya ke atas, memaksa senyum tipis muncul ditemani bulir baru yang menggelundung dan mendarat di tepian jemari gue. “Because, I know you love me.”
“Forgot the past, focus on future. Can we?”
“Belum bisa.”
Dengan hati remuk redam seolah diisap sampai habis, gue menyatukan kening kami. Nggak lama, tapi cukup buat gue memastikan apa yang mengganggu selama setahun terakhir sudah nggak ada lagi dalam diri gue. Setelahnya, gue berpamitan. Karena semakin lama di sini, pikiran-pikiran gila gue bisa membesar. Misalnya, memaksa dia menerima kehadiran gue.
Gendhis mengantar gue ke pintu. Sebelum pintu terbuka, dia minta gue menghadap ke arahnya. Gue pikir bakal ada salaman basa-basi, biasanya perpisahaan gue selalu ditutup seperti itu. Tapi, dia meluk gue. Lembut, sekaligus erat. Seketika, seluruh perasaan kangen yang berbulan-bulan tertutup pertanyaan yang itu-itu aja, meledak. Gue membalas pelukan itu dengan yakin. Mengesampingkan fakta, bahwa setelah gue keluar dari sini—gue nggak pernah tahu kapan bisa ketemu dia lagi.
Rasanya nggak percaya, tapi akhirnya gue harus melakukan sesuatu yang nggak mau gue lakukan buat ketiga kalinya; membiarkan Gendhis. Tapi, ini harus, karena memaksa pun bikin kami berdua kepayahan.
Ketika satu per satu jemari Gendhis melepaskan pinggang, gue mati-matian menahan dorongan kuat buat menahan dia di pelukan gue lebih lama lagi. Sejam. Dua jam. Tapi, berapa lama pun, nggak bakal cukup. Karena sebenarnya, gue mau nemenin dia melewati apa pun yang dia takutkan.
“Bye, Ghandi Taslim. Terima kasih udah jauh-jauh datang ke sini. Sorry for everything. Good luck.”
Nggak ada kata yang mengandung ajakan atau harapan bisa bertemu lagi.
Ini.
Pertemuan kami ini, seperti halaman terakhir dari sebuah buku, tapi nggak punya ending yang pasti.
Kemudian gue melangkah pergi. Nggak menoleh lagi. Seakan mantap aja buat merelakan dia menutup kisah kami. Tapi begitu gue duduk di mobil, sambil memandang dia yang setia berdiri di ambang pintu, gue berbisik, “See you next time, Gendhis Sachaviva.”
TAMAT
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
Tim Dalam Artikel Ini
Ibu dari tiga anak yang lebih suka nulis romance, daripada masak. Sudah berhasil menerbit 8 buku. Untuk melihat atau mencari informasi tentan naskah lain, bisa follow IG: @Flaradeviana