Layaknya gula yang digunakan sebagai pemanis dalam setiap hidangan, kata Jancuk/Jancok/Dancok (terserah lah ya kalian ngomongnya gimana) pun kerap menjadi pilihan kata yang muncul di tengah-tengah obrolan. Khususnya buat orang Jawa Timur-an, kata Jancuk ini emang udah akrab banget di telinga. Bahkan, ngomong tanpa ada kata Jancuk-nya itu justru terkesan hambar.
Sementara, banyak orang yang menganggap kalau Jancuk itu gak lebih dari sekadar kata-kata kasar biasa. Padahal, Jancuk bagi orang Jawa Timur itu punya makna yang luar biasa. Jancuk bukan sekadar kata-kata biasa, tapi sudah jadi bagian dari budaya. Gak percaya betapa berartinya kata Jancuk ini? Yuk simak sama-sama, Cuk!
ADVERTISEMENTS
Jancuk itu semacam entitas dalam budaya Jawa Timur-an. Dia ada dan jadi bagian dalam kehidupan sehari-harinya.
“Lho Cuk, jange nandi?” (Loh, mau kemana?)
“Jaaaancuk, takon ae. Kepo, Kon!” (Banyak tanya deh. Kepo, lu!)
Percakapan sehari-hari yang bisa dibilang umum terjadi bagi kamu yang ada di Jawa Timur, khususnya Surabaya dan sekitarnya. Diakui atau tidak kata Jancuk sudah mulai ramai dipergunakan oleh masyarakat kita. Utamanya oleh kamu yang masih muda dengan pola pikir yang masih segar dan terbuka. Kamu sering kok mendengar “jancuk” diucapkan di pasar, warung, cafe, sekolah hingga kampus.
ADVERTISEMENTS
Seperti pandangan khalayak ramai, Jancuk itu emang ‘misuh’ dan ‘misuh’ itu kotor. Tapi, kok lega banget ya kalau mengucapkannya? Hehehe.
“Wooo… Jancok!” *Langsung plong…
“Hush! Lambemu, Le!” (Hush! Dijaga mulutmu, Nak!)
Meski anak-anak muda dan beberapa budayawan sudah banyak yang meramaikan “Jancuk”, namun tetap saja makna Jancuk yang banyak melekat di masyarakat kita adalah makna “Jancuk” yang misuh, jancuk yang kotor dan tak boleh diucapkan. Banyak juga yang masih nge-judge bahwa Jancuk itu kata yang kotor yang membuat pengucapnya juga orang kotor. Jancok ancen! *eh
ADVERTISEMENTS
Justru karena kotor, Jancuk bisa merekatkan persahabatan. Karena kamu baru sah jadi teman kalau bisa santai dan gak melulu bersopan-sopan.
“He Cuk!” (Menyapa)
“Jancuk! Ngaget-ngageti ae!” (Bikin kaget aja!)
“Diangkrek! Lha mok pikir aku Gendruwo ta!” (Kamu pikir aku Gendruwo apa!)
Padahal, seiring bergeserna budaya, kata “Jancuk” juga mengalami pergeseran makna. Dari yang semula hanya umpatan pelampiasan amarah. Jancuk sekarang bisa digunakan sebagai perekat silaturahmi. Multi fungsi, kan?
ADVERTISEMENTS
Dengan Jancuk kamu bisa tertawa lepas, sekalipun bersama orang yang baru kamu kenal.
“Loh Cuk! Suwe gak tau ketok. Sek urip ae, rek?!” (Sudah lama gak keliatan, masih hidup ternyata, ya?)
“Lah Jaancuuk! Yo sek urip lah, Cuk. Aku sakti kok!” (Lah, Jelas masih hidup lah. Aku kan sakti)
Sebenarnya, menurut sebagian orang bercanda semacam itu memang ofensif. Namun, bagi kamu yang orang Jawa Timur, dengan imbuhan cuk, jancuk dan segala padanannya, guyonan seperti itu terasa lebih segar dan menyenangkan daripada tanpa imbuhan cuk. Kenapa? Karena “Jancuk” mengubah segalanya. *apasih
ADVERTISEMENTS
Dan hebatnya, gak cuman orang Jawa Timur-an yang mengerti apa itu Jancuk!
Meski memang Jancuk terkenal sebagai kata khas Suroboyoan dan Jawa Timur-an. Tapi kata yang satu ini sudah menyebar hampir ke seluruh provinsi di Indonesia. Banyak kok orang Jakarta yang tahu apa itu Jancuk. Orang Bali pun tak mau ketinggalan kenal sama Jancuk, pun demikian dengan mereka yang dari Kalimantan dan Sulawesi. Kok bisa? Ya karena penutur Jancuk orang Jawa Timur telah memperkenalkan dan mengajarkan “Jancuk” ke teman-temannya yang bukan dari Jatim. Alhasil, Jancuk pun tersebar luas seantero Nusantara. Hidup Jancuk!
ADVERTISEMENTS
Tapi Jancuk itu punya rasa yang khas, dari Jancuk-mu bisa kelihatan kok kamu orang Jawa Timur atau bukan.
Uniknya, meski sudah banyak yang tahu dan mengerti penggunaan kata “Jancuk”. Ada saja bedanya antara orang Jawa Timur dan non Jawa Timur yang mengucap kata Jancuk. Bagi kamu yang asli Jawa Timur dengan logat Surabaya dan sekitarnya yang kental, pengucapan Jancuk akan terasa lebih “plong” dan lega daripada kamu yang berasal dari Jogja, Bandung atau Jakarta. Bahkan kamu yang non Jawa Timur akan terdengar lucu atau bahkan malah diketawain pas kamu nyoba bilang “Jancuk” untuk pertama kali di depan orang Jawa Timur.
Sebagai orang luar Jawa Timur yang gak ngerti Jancuk, kamu pasti pernah disuruh temenmu untuk ngomong Jancuk ke orang yang lebih tua.
“Eh, Jancuk itu apaan sih? Di Makasar gak ada tuh”
“Oh, Jancuk itu artinya keren. Coba aja deh bilang ke Pak Hasan: Pak, njenengan Juancuki banget deh.'”
“Oke. Beneran artinya keren kan? Sip deh gue coba ke Pak Hasan.”
*Kemudian anak sekelas tertawa lepas
Sebagai guyonan, kamu yang bertanya akan makna Jancuk pada orang Jawa Timur pasti pernah dijerumuskan. Ya, orang Jawa Timur memang kreatif dalam hal ngerjain orang.
Emang sih di KBBI belum ada, tapi Jancuk sudah ada lho di Wikipedia. Kurang greget gimana lagi coba?
Meski sudah ramai dipakai oleh masyarakat Indonesia, kata “Jancuk” tetap belum dimasukkan kedalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Alasannya? Bisa jadi adalah karena tidak adanya makna paten pada kata andalan orang Jawa Timur yang satu ini. Meski demikian, kata “Jancuk” sudah ada di Wikipedia, loh. Itu menandakan bahwa “Jancuk” sudah dipandang penting oleh masyarakat. Greget banget kan kata yang satu ini? 😀
Nah, kalau sudah begini, apa iya Jancuk itu sekadar misuh atau kata kotor belaka?
Memang sih Jancuk itu punya makna awal sebagai kata kotor. Tapi seiring perubahan budaya, makna Jancuk jadi bervariasi juga. Tak hanya sebagai pisuhan ampuh nan lega saat diucap, Jancuk juga punya makna sebagai sapaan yang merekatkan sahabat dan kata imbuhan yang melelehkan kesan kaku.
Terlepas dari mau menerima “Jancuk” atau tidak, yang pasti “Jancuk” ada dan sudah digunakan oleh banyak masyarakat kita. Untuk urusan makna, jangan langsung menuduh orang lain marah karena tiap intonasi Jancuk punya makna yang berbeda. 🙂