Samarantu chapter 9 by Sekar Aruna | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Mengetahui penyebab Lavani pergi membuat hidup Garvi berantakan ditelan rasa bersalah. Di malam hari, Lavani terus-terusan mendatanginya melalui mimpi. Hingga puncaknya, Lavani memberinya satu kesempatan untuk bertemu. Bagaimana caranya?
***
*Kisah ini hanya fiktif semata. Segala kemiripan nama tokoh, tempat, dan kejadian adalah kebetulan dan imajinasi penulis semata*
“Lo nggak laper, Love? Perut gue eneg banget dengerin ocehan Pak Tony. Mampir beli sate padang dulu mau nggak?” ajak Garvi sambil menguap.
“Gue malah pengin makan soto, tapi lo kan nggak suka soto,” cetus Lavani.
Garvi menatap Lavani tak berkedip. “Iya, sih. Ya udah, kita cari soto aja. Entar gue gampang cari makanan apa aja di sekitar orang jualan sotonya. Yang penting lo makan soto. Gue paham lo bakal berubah wujud kalau ngidamnya nggak dituruti.”
Kalau soal makanan, Garvi tidak berani membantah Lavani. Perempuan itu bisa berubah sangat judes dan tidak tertebak bila keinginannya soal makanan diabaikan. Garvi heran, kenapa rata-rata perempuan yang ia kenal sangat sensitif sekali kalau berhubungan dengan makanan.
“Coba sekali ini aja lo makan soto deh, Gar. Masa seumur hidup lo nggak pernah makan soto, sih?”
“Pernah, tapi ya gitu, formalitas doang. Paling gue sanggup makan cuma dua sendok. Mending dengerin ocehan Pak Tony yang absurd daripada harus makan soto.”
Lavani tertawa lagi. Tampak sangat puas. Melihat tawanya yang lepas, Garvi ikutan tertawa. Saking asyiknya, Lavani tak sadar telah menggenggam tangan Garvi, mengayun-ayunkannya saat berjalan. Garvi tertegun sesaat, tapi dia tidak mempermasalahkannya.
“Lo mau makan soto apa, Love? Ada soto Betawi, soto Semarang, soto Makassar,” tawar Garvi saat merasakan genggaman tangan Lavani semakin erat.
“Soto apa aja, deh. Soto Betawi boleh. Lo makan apa?” Lavani menoleh. Menyadari kedua tangan mereka bertaut, Lavani segera melepasnya.
***
Mata Garvi membuka. Ia langsung mengusap tangannya. Genggaman tangan Lavani masih terasa hangat di sana. Untuk yang ke sekian kali, dia bermimpi lagi tentang Lavani. Garvi mendengus kasar. Ia mengambil ponsel di tepi kasur. Pukul tiga pagi dan mimpi itu selalu hadir pada waktu yang sama.
Setelah meninggal, Lavani sering muncul dalam mimpi Garvi. Membuatnya semakin merasa tertekan. Seolah-olah dalam mimpi itu Lavani meminta pertanggung jawaban. Kalau tahu begini, lebih baik Garvi saja yang mati daripada Lavani. Segala memori yang terekam bersama Lavani, satu per satu mencuat berputar berulang-ulang. Garvi mencoba tertidur lagi dan mimpi sebelumnya malah berlanjut kembali.
“Kita makan soto aja ya, Rash,” ajak Garvi ketika memasuki waktu makan siang.
“Soto?” Rashi melongo. Sepengetahuannya, Garvi tidak suka makan soto. Lebih baik kelaparan daripada makan makanan yang tidak disuka, itulah prinsip Garvi.
“Soto Betawi di kantin kayaknya enak. Soalnya Lavani suka banget makan soto itu,” lanjut Garvi.
Rashi kehilangan kata-kata setiap kali Garvi menyebut nama Lavani. Setelah Lavani meninggal, Garvi terlihat sangat kacau. Gerak-geriknya tampak seperti orang linglung. Seringkali Rashi mendapati Garvi melamun dengan tatapan kosong. Mengamati perubahan tingkah laku kekasihnya, Rashi yakin sebenarnya Garvi menaruh perhatian istimewa terhadap Lavani.
“Kakak ‘kan nggak suka soto. Yakin nggak mual kalau makan itu?” Rashi memastikan apakah Garvi benar-benar serius ingin menyantap makanan di luar areanya.
“Kalau kamu nggak mau, aku makan sendiri aja. Lavani udah nunggu di sana,” sahut Garvi seraya melangkah terlebih dahulu meninggalkan Rashi.
Garvi makan makanan favorit Lavani | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Sangat jelas di mata Rashi bahwa Garvi belum sepenuhnya mengikhlaskan kepergian Lavani. Rashi jadi penasaran apa yang membuat Garvi terlihat menyesal sedalam itu. Sebenarnya, Rashi pun sedikit merasa tidak enak telah mengharapkan Lavani meninggal akibat kecelakaan. Di lubuk hatinya yang terdalam terselip perasaan bersalah, tapi hanya sesaat. Setelahnya, Rashi menerima bahwa semua peristiwa pasti memiliki takdir dan sebab akibat.
“Tapi … Kak Lavani ‘kan udah meninggal, Kak,” gumam Rashi yang jelas tidak akan didengar Garvi. Rashi justru prihatin dengan keadaan Garvi saat ini.
Perubahan sikap Garvi sangat kontras memengaruhi performa pekerjaan. Biasanya ada Lavani yang menyokong pekerjaan Garvi sehingga semuanya terencana dan tersusun dengan rapi. Namun sekarang, pekerjaan Garvi berantakan. Tak jarang dia kena omel atasan ataupun klien. Garvi semakin teringat dan merindukan Lavani pada saat-saat seperti ini.
***
“Den, tolong ambilin minyak angin di tas gue, dong,” pinta Lavani saat rombongan berteduh di pos Bambangan menunggu hujan reda. “
“Pakai punya gue aja, sih. Ribet ngambilnya gue males,” cetus Sadendra seraya mengangsurkan minyak angin kepada Lavani.
“Lo sengaja bawa minyak ini buat gue, ya? Kan, lo nggak suka sama bau-bau minyak gini.”
Selama Lavani dan Sadendra mengobrol, Garvi terus mengawasi kedua manusia itu. Pada pendakian kali ini kedua orang itu terlihat sangat akrab. Tidak ada yang salah, Garvi hanya ingin tahu saja apa yang mereka bicarakan.
Pada saat yang sama, Lavani menoleh ke arah Garvi. Perempuan itu tersenyum. Garvi melihat senyuman Lavani kali ini tidak seperti biasanya. Misterius dan mengkhawatirkan. Senyum itu pula yang menyapa Garvi ketika ia ditemukan oleh tim gabungan pencarian orang hilang.
Tiba-tiba semua orang yang berada di sekitar Garvi melebur jadi abu. Semuanya menghilang. Sekarang Garvi benar-benar sendirian di hutan. Gumpalan asap mengepul di hadapan Garvi, membuatnya memundurkan langkah. Perlahan gumpalan asap itu bertransformasi membentuk sosok seorang perempuan.
“Lavani?” gumam Garvi.
Lavani tersenyum tipis, bibirnya berwarna pucat. “Hai, Garvi. Gue kangen sama lo. Lo pasti kangen sama gue juga, kan? Kita bisa ketemu lagi, tapi lo harus mempersembahkan seseorang sebagai pengganti.”
Garvi bengong. Dia ingin mengutarakan sesuatu, tapi mulutnya terkunci.
“Seseorang sebagai pengganti,” ulang Lavani, tetap tersenyum lalu sosoknya menghilang seketika bersama kepulan asap tebal sampai Garvi terbatuk-batuk.
Lavani menghampiri mimpi Garvi | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Lavani!” Garvi merintih dalam tidurnya hingga terjaga tak lama kemudian.
Malam itu, ia kembali bermimpi tentang Lavani. Garvi semakin frustrasi dari hari ke hari. Memori bersama Lavani begitu melekat hingga sering datang berulang kali. Garvi merenung sesaat. Otaknya berspekulasi, menghubungkan berbagai macam kemungkinan yang berkaitan dengan momen pendakian di Gunung Slamet dengan mimpi yang singgah.
Ada sebuah pesan terselubung. Mengingat mimpi barusan, menurutnya masih ada kemungkinan untuk bertemu Lavani asalkan Garvi membawa seseorang sebagai pengganti. Seperti halnya saat Lavani mempersembahkan dirinya supaya Garvi terlepas dari jeratan kerajaan gaib, maka Garvi harus mencari seseorang.
***
“Kak Lavani udah meninggal, Kak. Kakak harus menerima kenyataan, move on!” Rashi berseru kesal saat Garvi lagi-lagi mengajak makan siang soto kesukaan Lavani.
“Kamu nggak ngerti apa-apa tentang Lavani, Rash. Tentu saja dia masih hidup. Buktinya, sekarang dia nungguin aku di kantin!” bentak Garvi.
“Tapi Kak Lavani emang udah meninggal.”
“Kalau kamu nggak mau makan soto, cari yang lain aja. Beres, ‘kan?”
“Kenapa Kakak masih cari-cari Kak Lavani, sih?”
“Lo berisik banget, sih? Lavani itu teman gue. Lo nggak usah banyak komentar!”
Rashi tersentak. Selama ini Garvi tidak pernah menunjukkan kemarahan sedahsyat ini. Kematian Lavani benar-benar mengubah perilaku Garvi.
Sementara itu, tiba-tiba Garvi teringat mimpi semalam. Mengapa bukan Rashi saja yang ia persembahkan? Tampaknya perempuan itu bisa menjadi media perantara supaya Garvi dapat bertemu dengan Lavani. Belakangan ini Rashi sangat berisik dan menentang keberadaan bahwa Lavani masih hidup. Bukan berarti Rashi akan menentangnya dalam berbagai macam urusan lainnya.
Garvi melirik perempuan yang memberengut di sebelahnya. Senyum miringnya terbit. Dia semakin mantap untuk mempersembahkan Rashi kepada penguasa Samarantu.
Saat Rashi pergi untuk mencuci tangan, Garvi meraih ponsel dan menelepon seseorang.
“Den, gue mau balik ke Gunung Slamet. Gue yakin Lavani masih hidup. Dia terjebak di Samarantu.”