Samarantu chapter 7 by Sekar Aruna | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Meski sudah berpacaran, Rashi merasa bahwa Garvi tidak sepenuhnya mencintainya. Bahkan, Rashi mulai mencurigai hubungan Garvi dan Lavani. Di sisi lain, dampak dari tragedi Samarantu mulai muncul. Apa yang terjadi?
***
Berulang kali Garvi melirik arloji. Sudah lewat pukul sepuluh, tapi Lavani tak kunjung tampak. Nomornya juga tidak bisa dihubungi. Garvi mendesis kesal. Nanti siang mereka harus berangkat meeting ke Tangerang sementara bahan buat meeting di-handle sepenuhnya oleh Lavani. Seharusnya kemarin Garvi minta salinan file-nya dari Lavani.
“Lavani ke mana, sih?” gumam Garvi sambil menggulir layar ponsel.
“Lagi di jalan kali, Kak,” sahut Rashi.
“Lavani nggak pernah telat kalau ada meeting,” cetus Garvi terus berusaha menghubungi Lavani.
Rashi mengamati Garvi yang masih berusaha menghubungi Lavani melalui ponselnya. Beberapa kali pria itu berdecak ketika tidak mendapatkan respons. Bukan menunjukkan kekesalan, tapi lebih kepada kekhawatiran. Rashi jadi berpikir, apakah Garvi akan khawatir juga kalau panggilan teleponnya tidak Rashi angkat? Yang terjadi selama ini, Garvi tidak pernah terlihat sekhawatir itu terhadap Rashi.
Walaupun Garvi telah menjadi kekasihnya, tapi pria itu tampak belum bisa mencurahkan perhatian sepenuhnya. Entah ini kenyataan atau hanya perasaan Rashi gara-gara terpicu oleh sikap Garvi barusan. Lagi pula baik Garvi atau Lavani meskipun keduanya terlihat biasa saja, Rashi mencium sesuatu di antara mereka. Terutama Lavani, Rashi menaruh curiga pada perempuan itu.
“Halo? Oh, iya betul. Apa?! Astaga … sekarang dia di mana? Oke, Bang. Gue ke sana sekarang.” Garvi berseru panik ketika menerima telepon dari seseorang.
“Kakak mau ke mana?” tanya Rashi sambil menarik tangan Garvi.
Garvi bergerak terburu-buru, meninggalkan Rashi yang memandangnya minim ekspresi. Bahkan Garvi tidak pamit saat meninggalkannya. Rashi segera membuang muka, pura-pura tidak melihat saat Garvi menoleh dan melambaikan tangan padanya.
Sementara Garvi langsung bergegas menuju rumah sakit yang disebutkan oleh kakak Lavani di telepon. Beberapa kali Garvi pernah bertemu dengan kakak Lavani, mereka saling mengenal bahkan bertukar nomor ponsel. Lavani hanya tinggal bersama ibu dan kedua kakak laki-lakinya. Ayahnya sudah meninggal. Ibu Lavani pun mengenal Garvi dengan baik. Sebenarnya sedekat itu persahabatan Garvi dengan Lavani.
Saat ini Garvi tidak bisa berpikir. Dia masih syok atas kabar kecelakaan yang dialami Lavani.
“Gimana kondisi Lavani, Bang?” tanya Garvi saat bertemu dengan Laskar, kakak pertama Lavani.
“Hari ini dia maksa banget pengin berangkat kerja naik motor. Udah gue larang, tapi lihat ekspresinya kayak gitu nggak tega. Firasat gue benar. Di jalan, dia keserempet truk. Kondisinya parah. Kaki kanannya harus diamputasi. Setelah itu gue belum dapat kabar lagi dari dokter,” jawab Laskar sambil menarik napas panjang.
“Diamputasi ….” gumam Garvi merinding.
Garvi shock mendengar kondisi Lavani | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Lavani tidak pernah mengendarai motor kalau berangkat ke kantor. Dia selalu menggunakan transportasi umum. Garvi tahu, Lavani punya trauma makanya perempuan itu tidak pernah naik motor lagi. Garvi belum bisa bertemu Lavani karena saat ini sedang dalam proses penanganan dokter.
“Lo balik kantor aja, Gar. Entar gue kabari lagi kalau Lavani udah bisa dibesuk,” ucap Laskar seraya menepuk pundak Garvi.
Garvi mengangguk. Dia merasa menyesal telah menyalahkan Lavani gara-gara materi meeting. Garvi terlalu bergantung terhadap Lavani. Jika ada pekerjaan yang tidak beres, Lavani pasti selalu menyelesaikannya. Jika tidak ada Lavani, sudah pasti pekerjaan Garvi bakal berantakan.
“Gimana, Kak? Kak Lavani nggak kenapa-kenapa, kan?” tanya Rashi begitu Garvi tiba di kantor.
Memejamkan mata sambil bersandar, Garvi memijat kepala. “Kata abangnya, kaki Lavani harus diamputasi. Aku belum ketemu sama dia. Ah, kenapa kepala ini pusing banget, sih?”
“Oh, semoga Kak Lavani baik-baik aja. Terus meeting-nya jadi ditunda, Kak?”
Garvi beranjak meninggalkan Rashi membuat perempuan itu tertegun untuk beberapa saat. Rupanya, Lavani telah berhasil merebut perhatian Garvi terhadap Rashi. Biasanya Garvi memang cukup perhatian kepada Lavani, tapi tidak sebegininya. Rashi menjadi kesal.
Berita Lavani kecelakaan sudah menyebar. Semua orang turut bersimpati. Rashi heran, tidak mengira ternyata Lavani cukup populer padahal di kantor kelihatannya jarang bersosialisasi. Bahkan Sadendra, turut panik. Rashi mengetahuinya ketika Garvi menelepon pria itu. Suara Sadendra yang kencang terdengar di telinga Rashi.
“Kamu pulang duluan aja, Rash.”
“Kakak mau ke rumah sakit lagi? Ikut, dong.”
“Pengunjungnya dibatasi, Rash. Peraturannya rumah sakit, tuh. Di sana udah ada ibu sama dua abangnya Lavani. Entar kalau kebanyakan orang, Lavani nggak bisa istirahat.”
“Kalau kebanyakan pengunjung kenapa Kak Sadendra juga ikut?” protes Rashi.
“Sadendra gantian sama Bang Laskar, jadi tukeran gitu,” sahut Garvi mencari alasan.
“Nggak usah banyak alasan deh, Kak. Sekaliii … aja aku kan juga pengin tahu kondisi Kak Lavani,” Rashi merengek.
“Lain kali aja kalau Lavani udah balik ke rumah entar kuajak kamu ke sana. Ah, ya udah, kamu kuantar pulang aja, deh. Biar nggak bawel.”
Begitulah alasan setiap kali Rashi membujuk Garvi agar mengajaknya ke rumah sakit menjenguk Lavani. Bukannya ingin tahu perkembangan Lavani, tapi Rashi hanya ingin Garvi tidak terlalu perhatian dengan perempuan itu. Rashi merasa Garvi sudah tidak lagi memerhatikannya.
Rashi semakin cemburu kepada Lavani | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Apa lagi pada hari-hari berikutnya, Garvi mengunjungi Lavani di rumah sakit tanpa mengikutsertakan Rashi. Jangan-jangan Garvi memang jatuh cinta pada Lavani, tapi tidak menyadari. Dia sengaja tidak mengajak Rashi supaya bisa berduaan dengan Lavani. Ah, Rashi jadi overthinking. Kalau begini ceritanya, Rashi berharap lebih baik Lavani mati saja.
Betapa kagetnya Rashi saat apa yang ia harapkan ternyata menjadi kenyataan.