Samarantu chapter 6 by Sekar Aruna | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Setelah tragedi di Samarantu, hari-hari kembali seperti biasa. Namun, tidak bagi Lavani. Apalagi saat tak lama dari situ, santer terdengar kabar Garvi sudah jadian dengan Rashi. Benarkah?
***
*Kisah ini hanya fiktif. Segala kemiripan nama tokoh, tempat, dan kejadian hanya kebetulan dan imajinasi penulis semata*
Tidak ada yang menyinggung pengalaman selama di Samarantu. Setelah kembali menekuni aktivitas masing-masing, kenangan itu menghilang perlahan. Lavani sibuk dengan klien yang membutuhkan informasi terkait peraturan perpajakan terbaru, sedangkan Garvi sibuk mendampingi kliennya yang membutuhkan pendampingan di pengadilan.
Beberapa hari Lavani bekerja di kantor klien, dia tidak begitu memerhatikan perkembangan lingkungan kantor. Ketika pagi itu dia tiba di kantor, terdengar kehebohan di sudut ruangan. Dia heran, tumben pagi-pagi kantor sudah ramai. Setelah meletakkan tas, Lavani berjalan ke arah sumber kehebohan.
“Ada apa, sih?” tanya Lavani pada salah satu intern yang berpapasan dengannya.
“Itu, Kak. Bang Garvi baru jadian sama Rashi. Permisi, Kak. Gue mau ke toilet,” jawab anak intern itu sambil berlalu.
Seketika Lavani mematung. Garvi jadian sama Rashi? Dia tidak salah dengar, ‘kan? Sejak pulang mendaki, Lavani menyadari kedekatan antara Garvi dan Rashi memang semakin intim. Namun, ia tidak menyangka perkembangannya secepat ini. Hingga hari ini, dia mendengar kabar kalau keduanya sudah meresmikan diri menjadi sepasang kekasih.
Melihat Garvi dan Rashi tertawa bersama, Lavani merasa dadanya sedikit sesak. Air muka Garvi terlihat ceria. Menyiratkan kepuasan dan kebanggaan yang tidak pernah Lavani lihat sebelumnya. Berhasil mendapatkan hati Rashi, Garvi mengumumkan statusnya di depan publik. Lavani memutar tumit, mencari tempat yang tepat untuk menyembunyikan kekecewaannya.
“Lo lagi sibuk nggak?” Lavani menelepon Sadendra setelah menemukan tempat di sudut kantin yang masih sepi.
“Gue lagi bikin bahan meeting, sih. Tapi nggak apa-apa, kok. Kenapa, Lav?”
Lavani menarik napas dalam untuk menetralisir perubahan suasana hatinya sekarang. Dia tidak tahu lagi harus bercerita kepada siapa. Tidak ada yang tahu bagaimana perasaannya selain Sadendra. Selalu memendam perasaan sendirian, kini Lavani merasa membutuhkan seseorang untuk mendengarkan.
“Garvi udah jadian sama Rashi,” ucap Lavani lirih.
Terdapat jeda beberapa saat, Sadendra pun tidak langsung menanggapi. Mendengar suara Lavani agak terisak, pria itu memberikan waktu hingga Lavani siap membuka suara.
“Sorry, gue kaget aja. Pagi-pagi dapat kabar begini. Gue tahu, sih, akhirnya bakal begini, tapi tetap aja gue belum terbiasa. Sorry, Den. Gue nggak tahu mau cerita sama siapa lagi. Gue tutup, ya. Maaf gue udah ganggu lo.” Lavani menarik napas dalam sekali lagi.
“Tunggu, Lav.”
Sadendra berhenti mengetik lantas menyandarkan punggung di kursi. Seandainya satu jam lagi tidak ada meeting, pasti Sadendra berusaha mendatangi Lavani di kantornya. Paham akan kondisi teman dekatnya, Sadendra pun merasa kesal dengan tingkah Garvi dan Lavani. Mereka berdekatan, tapi tidak ada satu pun yang mencoba mengawali untuk menunjukkan perasaan.
“Semua udah terlambat, Den. Tenang aja, gue nggak apa-apa, kok. Yang penting Garvi bahagia, gue bahagia. Gue sadar diri, kok. Gue bukan tipenya Garvi.” Lavani terkekeh kecil sambil mengusap air mata.
Lavani curhat kepada Sadendra | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Lo yakin nggak mau jujur sama Garvi? Lo kayak tersiksa banget, Lav.”
“Nggak akan mengubah apa-apa juga, Den. Nggak ada yang peduli sama apa yang gue rasain. Sorry, gue … gue nggak mau membebani lo, gue cuma perlu sharing doang. Lo paham kan gimana rasanya, kesel banget.”
Sadendra membiarkan Lavani bicara apa saja. Perempuan itu tampaknya perlu media untuk mencurahkan seluruh emosi yang selama ini terpendam. Sadendra hanya mendengarkan dan tidak keberatan menjadi pelampiasan kisah Lavani. Sebenarnya simpel saja, tapi Lavani membuatnya menjadi rumit. Enggan mengatakan kebenaran yang berujung pada kekecewaan. Perkara hati memang sering menimbulkan kegelisahan tersendiri.
“Terima kasih ya, udah dengerin gue. Maaf banget lo malah jadi tempat sampah gue,” sahut Lavani.
“Santai aja, Lav. Nggak apa-apa gue cuma lo jadiin tempat sampah, itu artinya lo percaya sama gue, ‘kan?” ujar Sadendra dengan nada sedikit jahil.
Lavani berdecak. Dia tertawa. “Lo apaan, sih? Jadi genit banget. Udah, ah. Entar kita sambung lagi. Makasih ya, Den. Dah ….”
Percakapan terputus. Sebelum kembali ke ruangan, Lavani merapikan riasan di toilet. Matanya masih terlihat sembap. Dia menutupinya dengan bedak. Lavani mengatur napas sambil berkaca. Meyakinkan diri bahwa semuanya baik-baik saja.
“Lo dari mana, Love?” tanya Garvi saat Lavani baru saja duduk di kursi.
“Nggak usah panggil gue ‘Love’. Lo udah punya Rashi, entar dia salah paham,” sahut Lavani seraya menyalakan laptop.
Garvi melirik Rashi yang duduk di depannya kemudian menoleh lagi ke arah Lavani. “Rashi nggak masalah, kok. Dia udah tahu juga lo teman gue. Lagian kita kan friend, Love.”
“Yakin Rashi baik-baik aja? Sekarang lo udah punya pacar, Gar. Mestinya lo tahu batasan-batasan apa saja saat lo berinteraksi sama orang lain. Sekalipun sama gue yang udah jadi teman lo selama tiga tahun. Kelihatannya Rashi nggak masalah, tapi lo nggak tahu ‘kan hatinya gimana? Mulai sekarang nggak usah panggil gue ‘Love’ lagi,” cetus Lavani membuat Garvi ternganga.
“Habis balik muncak dari Gunung Slamet lo sewot mulu. Lo kesambet, ya? Jangan-jangan lo ketempelan.”
“Gue banyak kerjaan, Gar. Tolong lo nggak usah ganggu gue dulu. Mending lo ajarin Rashi aja, tuh. Dari tadi ngelihatin kita terus kayak orang bingung.”
Sejak tadi, Rashi terus mengamati Lavani. Sepertinya dia tahu apa yang terjadi dengan Lavani. Makanya Lavani berusaha tidak bertatapan langsung dengan Rashi. Bagi orang yang memiliki pengamatan terperinci, pasti menyadari perubahan pada raut wajahnya. Setebal apa pun riasan yang sudah diaplikasikan, tetap tidak mampu menyembunyikan kenyataan.
“Kak Lavani,” panggil Rashi saat jam kerja berakhir.
“Ya?”
Lavani menghentikan gerakan membereskan meja. Hari ini Lavani merasa lelah, dia memutuskan tidak akan lembur.
“Kakak … Kakak marah sama aku, ya?” tanya Rashi hati-hati.
Lavani dan Rashi bicara 4 mata | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Marah? Kenapa kamu bisa ngomong begitu?” Lavani balas bertanya, keheranan.
“Kayaknya sikap Kakak ke aku jadi beda. Apa Kakak marah gara-gara aku pacaran sama Kak Garvi?”
Kening Lavani mengerut. Pada saat itu Garvi sedang tidak ada di tempat sehingga Rashi leluasa berbicara kepadanya.
“Tadi pagi Kakak habis nangis, ya? Mata Kakak merah banget. Kukira Kakak ngantuk, tapi orang ngantuk matanya nggak kayak gitu.”
Kedua alis Lavani terangkat. Lalu, dia tersenyum. “Oh, aku kecapekan. Kerjaan belakangan ini lagi banyak, aku kurang tidur. Jadinya agak nggak enak badan. Aku nggak ada masalah kamu mau pacaran sama Garvi atau siapa pun, kok. Santai aja, Rashi. Oh ya, aku duluan, ya. See you.”
“Tapi Kak ….”
Rashi yakin bukan itu yang seharusnya ingin dikatakan Lavani. Belum sempat menyanggah, Lavani keburu berlalu. Rashi menatap kepergian Lavani. Menebak-nebak apa yang terjadi dengan Lavani membuat rasa penasaran berkerumun di benaknya.