Samarantu chapter 5 by Sekar Aruna via www.hipwee.com
Pilihan dari penguasa alam gaib sama-sama tidak menguntungkan, Garvi tidak tahu mana yang harus ia pilih. Namun, bagaimana jika ada pilihan lain yang sudah diambil tanpa sepengetahuan Garvi?
***
*Cerita ini hanya fiktif. Segala kemiripan nama, tokoh, dan lokasi kejadian hanya kebetulan dan imajinasi penulis semata*
“Garvi!”
Lavani berteriak. Suaranya menggema menyentak alam. Gerimis turun lagi, mengubah suasana menjadi semakin mencekam. Sementara Sadendra, Andri dan Somad berkeliling di sekitar. Namun, jangkauan mereka terbatas karena sumber pencahayaan yang minim. Sedangkan Rashi tak berhenti menangis. Dia terisak lirih sambil mendekap lutut di depan tenda.
“Gimana, Den?” tanya Lavani ketika Sadendra mendekat.
“Nihil. Kita harus nunggu pagi buat kabarin basecamp. Jam segini nggak ada juga pendaki yang bakal lewat. Lo istirahat aja, Lav. Gue, Andri sama Somat gantian jaga. Ajak Rashi juga. Kasihan kayaknya dia syok,” jawab Sadendra.
“Gue nggak bisa tenang. Lagian Garvi dibilangin ngeyel banget. Udah tahu di sini tuh hawanya nggak enak, dia malah nyelonong,” cetus Lavani sambil memegang kepala.
Seketika mata Lavani tertuju pada dua pohon yang berdiri sejajar. Seingatnya, tadi Garvi berada di sekitar situ untuk mencari ranting. Firasatnya berkata kalau dua pohon itu yang telah menyembunyikan Garvi dari pandangan teman-temannya.
Sebelum berangkat mendaki, Lavani sempat mencari beberapa referensi terkait Gunung Slamet. Gunung mana pun selalu memiliki sisi misteri di luar nalar. Termasuk Gunung Slamet, pos empat yang sekarang mereka tempati ini adalah persinggahan paling dihindari para pendaki.
Apa lagi ditambah aktivitas warga sekitar yang banyak memberikan doa berbentuk sesajen supaya gunung ini tidak meletus. Masyarakat sekitar masih memercayai ramalan Jayabaya, yaitu ketika Gunung Slamet meletus maka pulau Jawa akan terbelah menajdi dua.
Lavani menoleh. Rashi menangis sesenggukan. Rambut panjangnya tergerai berantakan. Ini adalah pendakian pertamanya, pasti perempuan itu kebingungan. Dalam hati Lavani merasa kesal. Bagaimana bisa Garvi jatuh hati dengan perempuan manja seperti Rashi? Apakah memang perempuan dengan kriteria seperti itu yang memenuhi standar bagi laki-laki?
“Nggak ketemu? Coba cari lebih teliti lagi, Mad. Tadi Garvi di sini nggak mungkin dia pergi jauh!” seru Lavani setengah membentak. Perasaannya kacau, dia terlalu khawatir.
“Gue udah keliling berapa kali, Lav? Gue, Andri, Sadendra dari tadi juga cari-cari di sini aja. Udah deh, mending lo tidur aja. Kita tunggu besok pagi sambil menjernihkan pikiran. Gue yakin Garvi nggak apa-apa,” sahut Somad.
Somad membantu Lavani masuk ke dalam tenda. Dada Lavani bergemuruh. Dia mengatur napas dan memejamkan mata sejenak. Iya, pasti Garvi baik-baik saja. Garvi harus baik-baik saja. Lavani merapal doa dalam hati supaya dapat dipertemukan kembali dengan Garvi meskipun permintaannya memiliki konsekuensi.
Di tempat lain, Garvi masih memikirkan keputusan yang harus diambil.
Pilihan yang diajukan Basora sama sekali tidak ada yang menarik. Semuanya merugikan dan menyudutkan. Bagaimanapun, Garvi harus membuat keputusan. Asalkan bisa keluar dari tempat ini, apa pun akan dia lakukan. Tidak masalah jika harus kehilangan salah satu bagian tubuhnya.
“Kau sangat beruntung, Garvi. Kau boleh bertemu dengan teman-temanmu tanpa kekurangan suatu apa pun. Aku tidak percaya sebuah cinta murni dari manusia ternyata telah melindungimu. Kau benar-benar manusia beruntung,” ucap Basora seraya berdiri dari kursi.
“Maksudnya?” Garvi semakin bingung.
“Ada orang lain yang mengikrarkan diri menjadi pengganti. Dia mempersembahkan dirinya untuk menjadi pelayan setiaku. Kau boleh kembali menemui teman-temanmu.”
Belum sempat Garvi bertanya, Basora berjalan meninggalkan ruangan. Yang membuat Garvi syok, Basora mengubah wujudnya menjadi menyeramkan. Matanya menyala merah, tubuhnya sangat tinggi melebihi para prajurit yang menyertainya. Sebagian tubuhnya dipenuhi bulu lebat.
Mulut Garvi menganga, tidak bisa berkata-kata. Rupanya wujud asli penguasa kerajaan gaib sangat mengerikan. Garvi merasakan kepalanya berputar-putar. Bau anyir menyeruak di mana-mana. Dia tidak bisa menahan sensasi mual yang bergejolak. Sebagian isi perut ia muntahkan. Lalu, Garvi kehilangan kesadaran.
“Garvi! Garvi!”
Samar-samar Garvi menangkap suara orang-orang berteriak memanggil namanya. Matanya tersingkap sedikit, Lavani adalah sosok pertama yang ia tangkap melalui indra penglihatannya. Perempuan itu menangis. Ini adalah pertama kalinya Garvi melihat Lavani menangis. Sebelah tangan Garvi terangkat berniat menghapus tangisan itu, tapi tak sampai. Setelah itu, Garvi tidak bisa mengamati lebih detail. Kelopak matanya terkatup kembali.
Pagi itu terdengar kabar mengejutkan. Akhirnya Garvi ditemukan di semak-semak tidak jauh dari dua pohon besar berjajar setelah dua hari dinyatakan menghilang. Dengan bantuan tim SAR, ranger, warga setempat, dan beberapa pendaki yang lewat akhirnya Garvi ditemukan dalam keadaan selamat.
Garvi segera dibawa ke basecamp Bambangan. Rashi berteriak histeris begitu Garvi menampakkan diri. Dia memeluk Garvi setelah kesadarannya kembali. Melihat Rashi sangat ceria, Lavani mengurungkan niat untuk menghampiri Garvi.
Tidak ada yang tahu kalau sebenarnya Lavani lah yang paling khawatir. Tidak ada yang tahu seberapa besar pengorbanan yang ia lakukan untuk Garvi. Lavani berharap mendapatkan Garvi, tapi Rashi mendahuluinya bersanding di sisi Garvi.
“Tenang, Lav. Garvi udah selamat, kan?” bisik Sadendra seraya merangkul pundak perempuan itu.
“Iya. Garvi selamat. Itu lebih penting dari apa pun. Gue … gue lega,” balas Lavani sambil menyeka cairan bening yang muncul di sudut mata.
“Udah dua hari lo nggak makan. Coba makan sedikit aja, Lav. Lo butuh tenaga.”
Pendakian ke puncak dibatalkan. Mereka berlima tidak lagi melanjutkan misi untuk menaklukkan puncak Gunung Slamet, gunung tertinggi kedua di pulau Jawa. Sekarang mereka bersiap-siap kembali ke Jakarta.
Sepanjang perjalanan pulang, Rashi tidak pernah jauh dari Garvi. Dia memeluk lengan Garvi dan menyenderkan kepala di pundak laki-laki itu. Lavani memperhatikannya dari bangku seberang. Tiba-tiba matanya bersirobok dengan Garvi. Lavani tersenyum kecil kemudian memalingkan muka.
“Lo boleh senderan di sini, kok. Gue tahu lo capek.” Sadendra menunjuk bahunya.
“Apaan sih, Den,” tawa Lavani sambil memukul bahu laki-laki itu.
Lavani dan Sadendra tidak tahu kalau Garvi mengamati mereka. Lantas Garvi mengalihkan pandang. Matanya menangkap sosok bayangan Basora di ujung lorong dekat dengan pintu gerbong, membuatnya terperanjat.