Samarantu chapter 4 by Sekar Aruna via www.hipwee.com
Saat terbangun, Garvi menyadari bahwa ia telah berada di dunia yang berbeda. Seorang pria berpenampilan bak raja, memberinya 3 pilihan jika Garvi ingin kembali ke dunia manusia. Apa saja pilihannya?
***
*Cerita ini hanya fiktif. Semua kemiripan nama tokoh, tempat, dan kejadian hanya kebetulan dan imajinasi penulis semata*
Garvi memandang sekeliling. Dia berdiri di tengah kerumunan. Banyak orang lalu lalang di sekitarnya, tapi semua mengabaikannya. Namun, Garvi melihat sesuatu yang aneh saat mengamati orang-orang itu selain gaya berpakaian yang terlihat kuno dan tak biasa. Secara penampilan fisik tidak ada yang berbeda, hanya saja mereka memiliki postur tubuh yang tinggi dibandingkan manusia normal.
Sebenarnya siapa orang-orang ini?
Ketika mengedarkan pandang, mata Garvi tertuju pada dua pohon besar yang berada di sebelah kanan. Sepertinya, pohon itu yang membuatnya terpisah dari rombongan. Garvi berlari ke arah pohon itu, mengelilinginya, dan mengguncangnya. Dia harus mencari cara untuk keluar dari pohon itu supaya bisa kembali bersama teman-temannya.
Tidak ada perubahan, Garvi tetap berada di sana. Tidak berpindah tempat. Telapak tangan Garvi berkeringat. Mulai merasakan kegelisahan. Garvi kembali mengedarkan pandang. Sekitarnya sungguh terasing.
“Jangan-jangan ini bukan dunia manusia?”
Mau tak mau, Garvi jadi teringat keengganan Andri membahas tentang hal ini sebelum berangkat tadi. Mungkinkah Garvi benar-benar mengalaminya? Mungkinkah ini dunia yang beredar bersama rumor yang menyertai pos empat Gunung Slamet? Dua pohon yang dia lewati itu adalah gerbang masuk yang membawanya masuk ke dalam dunia tidak dikenal. Dunia gaib yang menjadi momok setiap pendaki saat melewati Samarantu.
“Kau manusia, bukan? Kenapa kau bisa ada di sini?”
Tiba-tiba seorang pria muncul di depan Garvi. Berpakaian prajurit dengan tombak di tangan kanan. Garvi harus mendongakkan kepala karena tinggi pria itu terlihat lebih dari dua meter. Napas Garvi tercekat ketika menatap mata pria itu. Berwarna hitam seluruhnya, tidak memiliki sclera berwarna putih seperti dirinya. Sudah pasti pria yang berdiri di depannya ini bukanlah manusia.
“Iya, tadi saya … saya tidak tahu. Tiba-tiba ada di sini dan saya terpisah dari teman-teman saya,” jawab Garvi agak terbata-bata.
“Ini adalah kehendak raja. Ikut aku. Kau harus bertemu dengannya,” ucap pria itu seraya berjalan mendahului Garvi.
Garvi tidak punya pilihan selain mengikuti pria jangkung itu. Saat dia berjalan di belakang sang pria, barulah semua orang menatap ke arahnya. Sekarang Garvi benar-benar menjadi pusat perhatian. Dia memilih menunduk untuk menyembunyikan wajah.
Perjalanan menemui raja terasa sangat lama. Garvi merasa telah berjalan berkilo-kilometer, tapi anehnya dia sama sekali tidak merasa lelah. Sepanjang jalan mereka hanya melewati hutan, meniti jalan setapak yang dikelilingi patung dan candi-candi kecil. Tidak ada pembicaraan yang terjadi. Garvi hanya diam dan mengikuti pria jangkung itu melangkah. Jantungnya tidak berhenti berdentum.
Begitu berjalan mengarah ke kanan, terdapat bukit terjal di tengah kerimbunan pepohonan. Hanya ada akses jalan setapak untuk menyusuri bukit itu. Setelah melewati bukit, tampak sebuah pendopo yang terbuat dari emas. Untuk mencapai pendopo utama harus menaiki ratusan anak tangga.
Garvi menganga takjub ketika sampai di pendopo utama. Ada banyak prajurit berdiri di depan gerbang pendopo dengan penampilan seperti pria yang berjalan bersamanya ini. Namun, bukannya membawa masuk ke pendopo utama, Garvi justru diarahkan ke sebuah ruangan besar seperti aula.
Di tengah aula, terdapat meja panjang dengan sajian berbagai macam makanan. Aromanya sangat menggoda. Membuat perut Garvi keroncongan. Tetapi, Garvi segera ingat di mana dirinya sekarang. Dia tidak bisa sembarangan menyentuh apa pun. Ini adalah dunia gaib. Berbagai macam pemikiran negatif menguasai kepala.
“Kau tunggu di sini. Aku akan memberitahu raja,” ucap pria itu.
Selama pria itu pergi, perasaan Garvi tidak tenang. Dia merogoh saku celana, mencari ponsel untuk menghubungi Lavani. Sayangnya, ponselnya mati. Kalau disuruh menemui raja, berarti dia adalah tumbal untuk persembahan? Garvi merutuk dalam hati. Kenapa dia bisa gegabah melewati dua pohon aneh itu? Andai dia mendengarkan Lavani….
Sembari menunggu kedatangan raja, pikiran Garvi berkelana. Berbagai kisah tentang Samarantu sering dia dengar. Keberadaan dua pohon besar sejajar yang menyerupai pintu, makhluk astral yang kadang menampakkan wujud, hingga kisah para pendaki yang seolah-olah berjalan di tempat yang sama saat turun dari puncak Gunung Slamet menuju basecamp. Bulu kuduk Garvi merinding. Sekali lagi, andai dia mendengarkan Lavani ….
“Halo Garvi. Selamat datang di kerajaan kami,” sapa seorang pria.
Garvi menoleh. Di antara makhluk lainnya, penampilan pria ini terlihat paling normal. Dia memiliki tinggi tak jauh beda dengan Garvi, matanya pun memiliki sclera. Tidak hitam pekat. Wajahnya bersih dengan senyum mengembang. Mahkota emas di kepalanya menyilaukan mata. Pakaian yang dikenakan sangat kuno, tapi paling mewah di antara lainnya. Tidak salah lagi, pria ini pasti raja dari kerajaan gaib ini.
“Silakan duduk. Anggap saja rumah sendiri. Kau pasti lapar. Semua makanan di meja ini untukmu. Aku sudah menyiapkannya setelah tahu akan kedatangan tamu,” ucap pria itu sambil menunjuk meja panjang di dekat Garvi.
Walaupun menggiurkan, tapi Garvi tidak langsung percaya. Makhluk-makhluk ini memang menyambutnya dengan baik. Tidak memperlakukannya seperti tawanan. Namun, bukankah justru itu yang mengerikan? Selalu ada udang di balik batu.
“Terima kasih, tapi saya ingin kembali. Saya minta maaf kalau membuatmu marah, tapi saya tidak berniat mengganggu. Saya hanya ingin berlibur,” ujar Garvi sembari berlutut.
“Kau sangat kaku. Santai saja. Setidaknya kau harus mencicipi makanan kami. Oh ya, kau bisa memanggilku Basora. Mari makan,” ucap Basora seraya duduk di salah satu kursi dan mulai menikmati makanan.
Dunia gaib ini sangat aneh. Garvi tidak mengira penguasa gaib di sini bersikap baik padanya. Garvi yakin ada sesuatu yang disembunyikan sehingga mereka bersikap demikian. Perut Garvi semakin keroncongan. Melihat sang raja menyantap makanan, Garvi tergiur. Akhirnya dia luluh juga. Awalnya Garvi ragu, tapi suapan pertama menciptakan sensasi menyenangkan di lidah sehingga dia terus menyantapnya sampai habis.
“Kau tahu, selama ini tidak ada orang yang berani bermalam di tempat kalian mendirikan tenda. Ada sih, tapi mereka tidak bertahan lama. Mereka memilih menggulung tenda lalu melanjutkan perjalanan. Ada juga yang bertahan, tapi tidak luput dari berbagai macam cobaan,” ucap Basora setelah mereka selesai makan.
Garvi bersendawa. Dia kekenyangan.
“Awalnya, aku ingin membiarkan. Tapi mendengar suara hatimu ketika perjalanan, tidak ada salahnya kau dan teman-temanmu kuberi pelajaran. Kau tahu Garvi, tidak ada manusia yang bisa keluar setelah masuk ke sini,” lanjut Basora.
Wajah Garvi memucat. Dia tidak sengaja berucap dalam hati. Ternyata ucapannya didengar oleh sang penguasa.
“Siapa pun manusia yang berani masuk ke kerajaan kami, pilihannya hanya ada tiga. Pertama, keluar dalam keadaan mati, tapi nyawanya berada di sini bersama kami. Kedua, keluar dalam keadaan hidup tapi hilang akal, dan yang ketiga, tidak keluar sama sekali. Kau akan menjadi salah satu rakyatku. Tenang saja, aku akan memberikanmu posisi terbaik di kerajaan karena kau termasuk manusia pintar. Kau akan menjadi pelayanku yang setia.”
“Tapi … saya ingin kembali,” gumam Garvi gemetar.
“Kenapa? Apa kau tidak nyaman di sini? Aku sudah menjamu kau dengan makanan terbaik. Kau tidak suka?”
“Bukan begitu, tapi saya masih punya banyak hal yang harus dikerjakan. Lagi pula ini bukan dunia saya.”
Basora manggut-manggut. “Baiklah, kau pilih yang mana dari pilihan yang aku ajukan?”
“Apa tidak ada alternatif pilihan lain?”
Semua pilihan yang disebutkan sama sekali tidak ada yang menguntungkan.
“Sebenarnya ada, tapi sangat sulit. Tergantung kemampuanmu. Kau bisa keluar asalkan memberikan persembahan bagian tubuhmu. Dengan kata lain, tubuhmu akan lumpuh sebagian atau kau kehilangan bagian tubuh yang kau persembahkan. Kau bisa kehilangan tangan, kaki, atau keduanya, tapi, kau akan keluar dari sini dengan selamat. Bagaimana?”
Sama saja pilihan alternatif itu tidak menguntungkan buat Garvi. Sayangnya tidak ada cara lain. Dia tidak mau mati sia-sia atau tertahan di dunia gaib sebagai budak para makhluk ini. Kepalanya sangat pusing.