Samarantu chapter 3 by Sekar Aruna via www.hipwee.com
Cuaca yang kurang bersahabat membuat pendakian Lavani dkk ke Gunung Slamet terhambat. Mereka pun terpaksa mendirikan tenda di Samarantu, mengabaikan pengetahuan umum para pendaki bahwa sebaiknya tidak menginap di pos 4 yang penuh dengan kisah mistis dan mitos itu. Akankah sesuatu terjadi di sana?
***
*Kisah ini hanya fiktif. Kesamaan nama tokoh, tempat, dan kejadian hanyalah kebetulan semata.”
Keberangkatan dari stasiun Pasar Senen menuju stasiun Purwokerto dilakukan malam hari. Garvi, Lavani, Rashi, Sadendra, Andri, dan Somad yang merupakan anggota komunitas mendaki turut serta dalam rombongan. Garvi dan Rashi duduk bersisian, sedangkan Lavani dan Sadendra duduk berseberangan dengan mereka.
Lavani memerhatikan Garvi dan Rashi yang asyik mengobrol. Keduanya seakan tidak memedulikan orang lain di sekitar mereka. Akhirnya Lavani memilih memejamkan mata, menyimpan tenaga untuk pendakian esok hari.
“Nih, minyak angin. Biasanya lo butuh itu kalau mau tidur, kan?” Sadendra mengangsurkan botol minyak angin kepada Lavani.
“Nggak, Den. Lagian gue nggak kedinginan, kok. Malah anget di antara kalian-kalian,” tukas Lavani.
“Oke. Kabari aja kalau lo butuh,” sahut Sadendra.
Begitu Sadendra kembali mengarahkan pandang ke depan, ternyata Garvi tengah menatapnya. Sadendra terkekeh lantas memejamkan mata tak lama kemudian. Garvi tetap mengawasi untuk memastikan apakah Sadendra tidur beneran atau hanya pura-pura. Lalu, dia menggeser pandang ke arah Lavani. Perempuan itu sudah pulas. Lima jam waktu yang ditempuh untuk sampai stasiun tujuan sangat lumayan digunakan untuk tidur.
Garvi tak sadar telah memandangi Lavani yang telah tidur hingga kepala Rashi yang tiba-tiba menyender di pundak Garvi membuatnya tersentak. Semua orang tertidur kecuali dirinya. Garvi terkekeh kecil. Padahal tadi mereka sedang bercanda, tiba-tiba Rashi sudah terlelap. Garvi mengusap kepala Rashi lembut, dan perlahan ikut-ikutan mengantuk. Dia tidak tahu kalau Lavani mengawasi dalam tidurnya.
Garvi bersebelahan dengan Rashi | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Ayo, buruan. Entar bisa tidur lagi di basecamp sebelum muncak,” seru Lavani sambil mencubit lengan Garvi untuk membangunkan pria itu.
“Padahal gue masih ngantuk,” celetuk Garvi seraya menguap.
“Kayaknya ada yang nggak beres. Biasanya Garvi paling semangat paling heboh ngatur barisan,” cetus Andri.
“Sekarang dia bawa cewek, Bro. Maklumlah,” sahut Somad.
“Dulu Garvi waktu pertama kali bawa Lavani nggak gitu-gitu amat. Enjoy aja dia. Nggak ribet,” tukas Andri.
“Beda, Bro. Sama Lavani bawanya nggak pakai perasaan kalau sekarang kan ada rasa. Eh, sorry, Lav.” Somat terkikik, tapi Lavani diam saja.
Mereka sudah tiba di stasiun Purwokerto dan segera mencari angkutan umum menuju terminal Bobotsari. Namun, angkutan umum belum ketemu mengingat kedatangan mereka terbilang sangat pagi. Akhirnya, mereka memutuskan menyewa kendaraan bus kecil yang kebetulan sedang parkir tak jauh dari stasiun.
Dengan kedatangan pagi, estimasi pendakian ke Gunung Slamet bisa dilakukan lebih awal dan memangkas waktu. Namun, cuaca tak menentu belakangan ini harus memiliki lebih dari satu perencanaan. Perjalanan menuju Bambangan sudah disambut hujan berkepanjangan.
“Dingin ya, Lav? Gosok minyak angin, nih. Biar badan lo enakan,” tawar Sadendra.
“Makasih, Den. Gue pinjam dulu, ya. Gue bawa sih, cuma malas ambil,” ucap Lavani.
“Nggak usah pinjam. Buat lo aja.”
“Thank’s, ya.”
Tiba di basecamp Bambangan, mereka beristirahat di rumah warga yang disediakan secara gratis sekalian mengisi logistik. Sembari bergantian istirahat, Sadendra dan Lavani mengurus Simaksi (surat izin masuk kawasan konservasi) sebagai keperluan administrasi sebelum pendakian. Pukul sebelas siang pendakian akan dimulai, tapi lagi-lagi hujan deras mengguyur.
“Bakal reda jam berapa, nih? Cukup waktu sampai pos 5 sebelum gelap nggak, nih?” celetuk Andri.
“Kenapa, Ndri? Emangnya kenapa kalau kita nggak cukup waktu sampai pos 5?” sahut Garvi.
“Lo tahu sendiri, kan. Gue nggak mau bahas ginian. Pamali. Apa lagi kita belum mulai muncak.”
“Maksud lo Samarantu?” Nada suara Garvi terdengar meremehkan.
“Samarantu itu apa, Kak?” tanya Rashi.
“Gue nggak mau debat. Pokoknya gue ikut ekspedisi ini murni karena hobi, bukan mau cari masalah.” Andri mengangkat kedua tangan.
“Yaelah serius amat lo, Bro. Santai aja kali. Ini kedua kalinya gue muncak gunung Slamet. Gue udah pernah ngelewatin Samarantu dan buktinya nggak ada masalah sampai sekarang. Itu mitos doang, Bro. Tetap positif thinking. Oke?”
Lavani dan Sadendra berpandangan. Tidak seharusnya Garvi berucap demikian. Walaupun bercanda, tetapi gunung tidak akan menangkap perkataan seperti itu sebagai sebuah bahan bercandaan. Apa lagi untuk sekelas gunung tertinggi di pulau Jawa, gunung Slamet termasuk objek sakral bagi masyarakat.
Hujan baru reda pukul satu siang dan mereka memutuskan segera memulai pendakian.
“Kita kesiangan, sepertinya nggak bakal sampai pos 5 tepat waktu. Semoga Tuhan menyertai perjalanan kita,” gumam Sadendra sebelum memulai pendakian.
Trek awal pendakian menuju pos 1 masih berupa jalan beraspal yang didominasi perkebunan warga. Deretan warung berjajar banyak ditemui selama perjalanan menuju pos 1. Trek yang sebenarnya muncul ketika melewati vegetasi hutan pinus yang rimbun. Akhirnya pos 1 terlewati. Banyaknya penjaja makanan membuat rombongan berhenti untuk melepas lelah.
“Aku mau mendoan, Kak,” pinta Rashi.
“Bentar, ya.”
Dengan sigap, Garvi menuju salah satu warung untuk membeli mendoan. Melihat interaksi itu, Sadendra tertawa kecil kepada Lavani. Tidak menyangka ternyata Garvi bisa sebucin itu dengan perempuan seperti Rashi.
“Lo kenapa, Den?” tanya Lavani.
“Nggak apa-apa. Lucu aja,” timpal Sadendra.
Mereka tidak bisa beristirahat terlalu lama supaya bisa sampai di pos 5 sebelum gelap. Pos 2 dilalui dengan mengerahkan tenaga ekstra. Hujan yang baru reda membuat tanjakan menjadi becek dan licin. Semakin ke atas, jalur pendakian melewati hutan lebat. Sampai pos 3, masih banyak ditemui warung sebagai tempat peristirahatan. Sayangnya, mereka tiba di pos 3 menjelang maghrib. Itu berarti mereka akan tiba di pos selanjutnya dalam keadaan sudah gelap.
Pos 4 atau biasa disebut Samarantu merupakan tanah tidak terlalu lapang yang didominasi pohon besar. Semua pendaki menghindari mendirikan tenda di pos ini kecuali dalam keadaan kepepet. Cerita mistis yang beredar membuat pendaki mengurungkan niat berhenti di sini meskipun sejenak.
Namun, tidak ada cara lain, mereka harus mendirikan tenda di pos 4 untuk beristirahat. Pada saat itu tidak ada pendaki lain yang mendirikan tenda di sana.
Bermalam di Samarantu | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Lo mau ke mana?” tanya Lavani.
“Cari ranting bentar. Kita perlu api unggung buat menghangatkan diri,” jawab Garvi.
“Nggak usah. Di sini udah banyak ranting,” cegah Lavani. Perasaannya tidak enak.
“Tenang aja, Love. Gue nggak lama, kok. Oke?”
Lavani mengamati punggung Garvi menjauh. Sementara Garvi yang keasyikan mencari ranting kayu tidak menyadari dirinya telah melewati dua pohon besar yang berdiri sejajar.
“Kayaknya udah cukup,” gumam Garvi.
Namun, Garvi tersentak ketika memutar badan. Malam berganti siang. Banyak orang beraktivitas di sekitarnya. Orang-orang itu mengenakan pakaian kuno seperti di sinetron-sinetron kolosal. Garvi seperti berdiri di tengah-tengah pasar. Yang lebih aneh, orang-orang mengabaikan keberadaannya. Garvi merasa ini bukan dunianya.