Sementara Garvi PDKT dengan Rashi, Lavani berkoordinasi dengan Sadendra untuk rencana pendakian ke Gunung Slamet. Betapa kagetnya Lavani saat Sadendra mengetahui rahasianya tentang Garvi. Apa sebenarnya alasan Lavani memilih menyimpan perasaannya kepada Garvi?
***
*Cerita ini hanya fiktif. Segala kemiripan tempat, nama, dan kejadian hanya kebetulan semata.*
Lavani sudah melewatkan satu kereta komuter tujuan Bogor yang baru saja lewat karena Garvi belum tiba di tempat. Sudah pasti mereka akan sampai tujuan melebihi waktu yang disepakati. Garvi tidak merespons ketika ditelepon. Tidak biasanya lelaki itu terlambat. Sejak berurusan dengan Rashi, Garvi semakin sering abai terhadap pekerjaan sekalipun.
“Sorry, telat,” ucap Garvi menyengir tanpa berdosa sama sekali.
Padahal di hadapannya, Lavani menatap kesal. Namun, Lavani tidak bisa berbuat banyak. Ini adalah salah satu kelemahannya. Tidak ada cara lagi selain merutuk dalam hati.
“Gue udah info ke klien kalau kita datang telat,” cetus Lavani.
“Mereka nggak marah, kan? Lo benar-benar terbaik, Lav. Thank you,” seru Garvi sambil merangkul Lavani hingga perempuan itu membuang muka ke samping. Menyembunyikan ekspresi supaya tidak tertangkap oleh Garvi.
Tak terhitung sudah berapa kali Lavani dan Garvi menempuh perjalanan bersama. Mereka sering berada dalam project pekerjaan yang sama. Bahkan tak jarang di luar kantor pun mereka sering terlihat bersama-sama. Tampaknya hanya Lavani yang menikmati kebersamaan itu, sedangkan Garvi tidak menunjukkan reaksi apa pun.
Sembari menunggu kereta komuter berikutnya, Lavani membuka ponsel untuk mengurangi kebosanan. Saat itu juga, dia mendengar perut Garvi berbunyi. Laki-laki itu kembali menyengir ketika Lavani menoleh. Sambil menarik napas panjang, Lavani mengeluarkan sesuatu dari ranselnya. Mengangsurkan sepotong roti yang ia beli di minimarket.
“Buat lo aja, Lav. Makasih.”
“Makan aja. Gue tahu lo belum sarapan dan nggak pernah sarapan. Setidaknya lo punya amunisi sebelum meeting.”
Garvi tersenyum lantas segera mengunyah roti pemberian Lavani. Begitu kereta komuter tiba, mereka segera menghambur masuk ke dalam kereta. Padatnya penumpang setiap gerbong membuat Lavani kesulitan mencari celah untuk berpegangan. Tiba-tiba Garvi berdiri di samping Lavani, menawarkan lengannya. Lavani menggeleng, dia berusaha mencari pegangan dan akhirnya dapat.
Pertemuan dengan klien berlangsung tidak terlalu lama. Setelah mengumpulkan dan mempelajari data keuangan untuk menemukan metode penghematan pajak penghasilan secara tepat serta inquiry, mereka kembali ke Jakarta. Selebihnya bisa dilakukan mobile ataupun datang kembali jika diperlukan.
“Gue udah ajak jalan Rashi. Dia hobi ke pantai, Lav. Gue udah tawarin mendaki juga, sih. Katanya nggak masalah, sekalian coba pengalaman baru. Jadi, kita berangkat pas long weekend, ya,” ucap Garvi pada saat perjalanan ke stasiun.
“Terserah. Pokoknya lo yang tanggung jawab kalau dia kenapa-kenapa. Atmosfer pendakian beda sama pantai. Gue paham Rashi itu tipe-tipe anak muda manis yang manja-manja. Semoga entar dia nggak merepotkan, ya,” cetus Lavani.
“Yaelah, lo dulu juga gitu waktu pertama kali mendaki. Ngerepotin.”
“Dih, gue nggak ngerepotin, tapi lo aja yang bawel.”
“Hm, Lav. Kira-kira gue mesti ngapain lagi, ya, biar Rashi notice gue?” Mata Garvi mengawang.
“Kenapa tanya gue? Kan lo yang mau membangun chemistry sama Rashi. Lo cowok, masa nggak ngerti cara pedekate sama cewek?” Lavani melirik arloji di pergelangan tangannya. “Kita sampai Jakarta pas jam pulang kantor. Sekalian aja lo jemput Rashi. Lo pergi sama Rashi, gue pergi sama Sadendra.”
Garvi menoleh cepat. “Kenapa lo bisa sama Sadendra?”
“Gue mesti koordinasi sama dia buat perjalanan kita ke gunung Slamet, kan. Pasti lo nggak bisa diajak diskusi karena asyik pacaran sama Rashi. Lagian lo belakangan ini suka nggak nyambung diajak ngobrol. Mending gue diskusi sama Sadendra, jadi entar lo terima beres aja. Gue udah janjian sama dia, kok.”
ADVERTISEMENTS
Kamu sedang membaca konten eksklusif
Dapatkan free access untuk pengguna baru!