Rencana Garvi untuk kembali ke Samarantu sudah bulat. Nasihat Sadendra tak ia hiraukan. Akankah Garvi bertemu dengan Lavani lagi di sana?
***
*Kisah ini hanya fiktif. Semua kemiripan nama tokoh, tempat, dan kejadian adalah kebetulan dan imajinasi penulis semata*
“Gue sedang dalam perjalanan ke Gunung Slamet. Gue mau ketemu Lavani, dia udah nungguin di Samarantu.” Garvi menelepon Sadendra ketika dia sudah memasuki pos Bambangan.
“Ngapain lo balik ke sana? Lo pergi sama siapa?” seru Sadendra panik.
“Tenang, gue sama Rashi, kok. Dia juga pengin ketemu sama Lavani,” ucap Garvi seraya melirik perempuan yang sedang menikmati secangkir teh panas.
“Lavani nggak ada di sana. Mending lo balik sekarang, deh. Lo benar-benar cari mati ya, Gar!”
ADVERTISEMENTS
Kamu sedang membaca konten eksklusif
Dapatkan free access untuk pengguna baru!
Garvi tertawa lirih. “Lavani ada di sini, Den. Semalam dia datengin gue, kasih tahu kalau sekarang dia ada di Samarantu. Kesempatan nggak datang dua kali. Mumpung gue bisa, gue mau ketemu Lavani. Ya udah, gue naik dulu. Tunggu kabar dari gue, ya.”
Percakapan terputus. Detik berikutnya nomor Garvi tidak dapat dihubungi. Sadendra merasakan keanehan tentang kepergian Garvi yang mendadak ke Gunung Slamet. Halusinasi Garvi terhadap keberadaan Lavani semakin merajalela. Garvi terlihat nestapa tanpa Lavani. Memang keadaan menjadi terasa berbeda saat seseorang benar-benar meninggalkan kita.
Sadendra melirik arloji. Saat ini menunjukkan waktu yang sama persis dengan waktu ketika dia bersama rombongan mulai menanjak Gunung Slamet. Berarti kemungkinan tiba di Samarantu pun perkiraannya tidak jauh berbeda dengan waktu itu. Sadendra tidak tahu rencana apa yang sedang Garvi jalani, yang pasti keputusannya mendaki gunung itu kembali sama saja dengan menantang maut.
Sementara di lokasi lain, Garvi dan Rashi sebentar lagi akan tiba di pos ke-empat. Pos yang memberikan kenangan tidak terlupakan buat keduanya.
“Kak, kita lanjut aja, ya. Nggak usah berhenti di sini,” rengek Rashi.
“Udah gelap, Rash. Kalau kita melanjutkan perjalanan risikonya gede. Nggak apa-apa kita istirahat di sini aja,” sahut Garvi.
“Tapi kalau nginep di sini risikonya lebih gede, Kak. Kakak masih berani nginep di sini setelah pernah ilang dijadiin tawanan sama hantu?” protes Rashi.
“Sssttt … jangan kenceng-kenceng, Rash. Kata siapa aku jadi tawanan hantu? Nggak ada hal kayak gitu, Rash. Tenang aja, yang penting kamu jangan jauh-jauh dariku. Oke?”
Garvi merangkul pundak Rashi membuat perempuan itu memeluknya erat. Di pelukan Garvi, tangis Rashi tak terbendung lagi. Garvi menenangkan Rashi yang menangis sesenggukan. Hari semakin gelap sedangkan mereka harus segera mendirikan tenda. Mata Garvi memindai sekeliling. Suasana tetap mencekam seperti terakhir kali Untuk kedua kalinya dia bermalam di Samarantu, pos keramat yang dihindari semua pendaki. Namun bagi Garvi, ini adalah pos yang memberikan sebuah kenangan mengenai keabadian.
“Aku pasang tenda dulu, ya. Kamu istirahat aja, jangan pergi jauh-jauh,” ucap Garvi sambil melepaskan rangkuman.
Rashi mengangguk sambil menyeka sisa air mata. Selama Garvi memasang tenda, Rashi terus memerhatikannya. Terus berada di dekat Garvi sembari menatap sekeliling. Hawa dingin yang berembus membuat bulu kuduk Rashi merinding. Gerimis merintih menambah suasana mencekam malam ini.
“Ah!” pekik Rashi sambil mencengkeram lengan Garvi.
“Kenapa, Rash?”
“Itu … kayak ada yang ngintip di sana, Kak,” bisik Rashi, suaranya bergetar.
“Jangan dilihat. Sebentar lagi tendanya siap. Habis ini kita tidur aja, Oke?”
Setelah tenda siap, Garvi dan Rashi bergegas masuk. Rashi merapatkan diri di dalam sleeping bag kemudian memejamkan mata. Telinganya menangkap suara-suara aneh di luar tenda, tapi berusaha mengabaikan. Dalam hati Rashi berdoa supaya tidak terjadi apa-apa.
Suara ranting terinjak membuat Rashi terjaga. Matanya membuka. Penunjuk waktunya menunjukkan pukul satu malam. Memindai keadaan di sebelahnya, dia tidak menemukan Garvi di sana. Rashi panik. Dia berlari ke luar tenda. Hujan sudah reda. Rashi tidak menemukan tanda-tanda keberadaan Garvi di sekitarnya.
“Kak Garvi!” Rashi berteriak. Giginya bergemeletuk ringan akibat dari udara malam yang cukup dingin.
“Kak Garvi!” Rashi berteriak sekali lagi.
Tidak ada sahutan, akhirnya Rashi memutuskan mencari Garvi di sekitar tenda. Meskipun harus menahan rasa takut luar biasa, Rashi yakin bisa mengesampingkannya. Dia harus bertanggung jawab dengan keputusannya menyetujui ajakan Garvi menjelajahi Gunung Slamet.
Sebenarnya menapakkan kaki kembali ke Gunung Slamet bukanlah keinginan Rashi. Sejak kejadian waktu itu, Rashi tidak lagi tertarik mendaki gunung mana pun. Namun kali ini, Rashi rela menuruti keinginan Garvi mendaki. Dia berharap setelah melakukan pendakian ini keadaan Garvi semakin membaik dan merelakan kepergian Lavani.
“Rashi ….”
Rashi tersentak mendengar suara samar memanggil namanya. Dia merapatkan jaket, tetap melangkah dengan mantap. Menemukan Garvi adalah prioritasnya saat ini. Hanya sebuah suara yang tidak jelas asal-usulnya tidak akan membuatnya gentar. Rashi terus mengayunkan langkah hingga mendapati Garvi tengah berdiri di tengah dua pohon besar.
“Ayo pulang, Love. Di sini nggak ada apa-apa.” Garvi tampak mengobrol dengan seseorang, tapi Rashi tidak bisa melihat lawan bicaranya.
“Gue udah ajak Rashi. Ayo, tunggu apa lagi?!” Suara Garvi terdengar mendesak.
“Kak Garvi?” Rashi perlahan maju mendekat.
Garvi menoleh. Matanya tampak berbinar. “Rashi, ayo sini. Aku udah nemuin Lavani. Sini!”
“Kak Lavani?” gumam Rashi ragu. Tidak ada siapa pun di sana selain mereka berdua. Siapa yang dimaksud Garvi?
“Iya, ayo sini.” Garvi mengangsurkan tangan, tapi Rashi menggeleng.
“Kak Lavani udah meninggal. Itu bukan Kak Lavani, tapi tipu muslihat makhluk yang memanfaatkan Kak Lavani. Kita harus pergi dari sini sebelum terlambat, Kak,” ucap Rashi, matanya berkaca-kaca. Antara takut, ngeri, dan khawatir terhadap Garvi.
“Kenapa? Kita udah di sini, Rash. Kamu nggak bisa pergi ke mana-mana. Ayo sini,” ajak Garvi.
Rashi menggeleng, Kakinya mundur perlahan sementara Garvi terus memaksanya hingga akhirnya Garvi menarik tangannya. Rashi berteriak saat Garvi membawanya melewati dua pohon besar. Udara di sekitar mereka berkumpul membentuk pusaran angin tornado. Rashi terus memberontak hingga akhirnya terpental. Perutnya menghantam ujung batu yang cukup runcing. Darah segar mengucur membuat Rashi kehilangan napas.
Sedangkan Garvi, tubuhnya tertelan pusaran angin tornado membawanya menghilang di antara dua pohon besar. Garvi kembali ke dunia lain yang pernah dia datangi tanpa sengaja. Tubuh Rashi terasa kaku. Darah terus mengucur dari luka di perutnya, membuat baju putihnya berubah menjadi merah. Perih yang seharusnya ia rasakan lambat laun menjadi hampa. Samar-samar Rashi melihat Garvi tertelan tornado, lantas smeuanya gelap.
***
“Wah, Gunung Slamet memakan korban lagi.”
“Kenapa lagi, nih?”
Sadendra sedang mengantre membeli kopi ketika mendengar orang-orang di sekitarnya membicarakan sebuah berita kecelakaan. Seharian ini pekerjaannya cukup banyak sehingga tidak sempat membuka media sosial atau apa pun untuk mengintip berita terhangat.
Gilirannya masih lama. Sadendra menajamkan pendengaran, tapi tiba-tiba matanya tertuju ke arah surat kabar di atas meja tak jauh dari tempatnya berdiri.
Seorang pendaki ditemukan tewas di pos Samarantu, satu orang lainnya masih dalam pencarian.
Mata Sadendra terbelalak membaca headline surat kabar tersebut. Lidahnya kelu. Sejak Garvi memberitahunya tempo hari, ponsel Garvi tidak pernah aktif. Hingga berita tersebut diturunkan, Sadendra masih kesulitan menghubungi pria itu.
TAMAT