Apa yang menjadi ide dasar "The One" cukup mengesankan untuk tidak buru-buru menyebutnya keren banget. Rebecca Web, meski sulit untuk mengidentifikasi karakternya, berhasil jadi representasi masa depan yang membawa para jomblo kepada sebuah pengharapan.
Alangkah gembiranya hati para jomblo sedunia. Pasalnya, di Inggris sana telah berdiri sebuah start-up bernama “The One”. Perusahaan tersebut mengklaim mampu membantu umat manusia menemukan jodoh yang akurat, dengan hanya bermodalkan informasi genetik atau DNA dari usapan air liur atau sehelai rambut.
Cuplikan kabar di atas tentu saja fiksi, lebih tepatnya fiksi dari serial terbaru Netflix berjudul “The One” yang didasarkan pada novel berjudul sama karangan John Marrs. Terdengar menantang, ya? Nah, berikut ulasan Hipwee Hiburan untuk serial yang terlalu indah sekaligus seram jika menjadi kenyataan ini.
[Spoiler alert!]
ADVERTISEMENTS
Menemukan cinta sejati bisa semudah menggerakkan jempol
Ditulis oleh Howard Overman, serial “The One” mengusung plot sci-fi dengan intrik kriminal tentang bagaimana manusia nggak perlu lagi repot menemukan jodoh apalagi harus menjomblo. Hal tersebut dimungkinkan berkat penemuan gemilang ilmuwan Rebecca Web (Hannah Ware) yang dalam serial ini dicitrakan bak virago dalam jabatannya sebagai CEO The One.
Penemuan yang berangkat dari penelitian terhadap feromon semut telah membawa Rebecca pada satu keyakinan bahwa setiap orang di dunia ini memiliki gen yang cocok dengan satu orang lainnya, terlepas dari jenis kelamin, ras, usia, maupun lokasi geografis. Oleh karena itu, menemukan jodoh bagi Rebecca hanyalah perkara mencocokkan DNA.
Dengan kata lain, dari kacamata Rebecca yang berpegang teguh pada kekuatan DNA, kamu sangat mungkin berjodoh dengan siapa saja dari negeri antah berantah, sekalipun berbeda ras maupun usia, asalkan DNA-nya cocok. Diceritakan pula melalui pencocokan DNA, sepasang manusia pasti akan langsung jatuh cinta tanpa butuh alasan logis apalagi fase PDKT.
Nah, untuk dapat menemukan jodoh lewat identifikasi DNA, perusahaan Rebecca hanya mensyarakatkan seseorang mendaftar via aplikasi, lalu mengirimkan sampel DNA untuk dicocokan dengan DNA orang lain yang tersimpan di dalam semacam bank data. Setelah prosesnya berhasil, voila! Jodoh di depan mata.
ADVERTISEMENTS
Ide dasar “The One” mengesankan, tetapi plot cerita terkesan dikembangkan secara terburu-buru
Apa yang menjadi ide dasar serial “The One” cukup mengesankan untuk nggak buru-buru menyebutnya keren banget (karena saya punya satu catatan). Akting Hannah Ware juga layak dapat sorotan. Karena masa depan adalah sekarang, “The One” mencoba futuristik dengan nggak berlebihan untuk sebuah kemungkinan yang bisa terwujud kapan saja.
Serial “The One” juga nggak hanya merefleksikan manfaat positif dari kemajuan ilmu, tetapi juga bencana yang bisa jadi menyertai. Seperti ketika layanan kencan berbasis DNA diakses oleh seseorang yang sudah memiliki pasangan: bayangkan bagaimana jika pencocokan DNA berkata si dia bukan jodohmu? Seram!
Nah, satu yang menjadi catatan saya dari serial ini hanyalah perkembangan plot yang terkesan buru-buru atau malah dipaksakan. Padahal baru musim pertama lo.
Penggambaran awal karakter Rebecca Web sebagai anak seorang imigran, menurut saya cukup kuat untuk mendukung ambisinya menjadi seorang virago lewat penemuan yang akan mengubah hidup seluruh umat manusia selamanya.
Akan tetapi seketika cerita, karakter Rebecca berkembang nggak konsisten. Dia seakan ditempatkan di dalam skenario yang mengharuskannya memilih antara menjadi perempuan tangguh atau menjadi seorang kapitalis nan kejam tatkala orientasi The One jadi bisnis semata.
ADVERTISEMENTS
Kaya elemen cerita, tetapi tumpang tindih
Dalam sebuah serial atau film, kelindan cerita ibarat dua mata pisau yang sama tajamnya. Ia bisa jadi menarik lewat ledakan-ledakan kecil plot twist, bisa pula jadi menyebalkan karena menghadirkan desakan atau perasaan gantung yang nggak perlu.
Saya rasa serial “The One” mengambil kemungkinan yang kedua. Dengan cepat dan secara borongan ia mengeluarkan tokoh kunci dengan alur cerita yang berbeda-beda sehingga jadi tumpang tindih. Salah satunya ketika Kate (Zoe Tapper) muncul. Detektif yang bertugas menyelidiki intrik pembunuhan dalam serial ini diceritakan mencoba layanan The One. Dia lantas menemukan jodoh seorang perempuan asal Barcelona bernama Sofia, lalu seketika jatuh cinta, meski baru bertemu via Skype, kemudian memutuskan untuk meet-up di London.
Tetapi pada hari pertemuan, Sofia mengalami kecelakaan hingga koma dan Kate merasa berhutang terhadap kondisi yang dialami pasangan barunya tersebut. Dengan itu, secara nggak langsung Kate juga dibuat terseret dalam pusaran kerumitan hubungan keluarga Sofia.
Konflik yang dialamatkan kepada detektif perempuan tersebut bertambah lagi ketika Rebecca yang terancam dengan penyelidikan kasus pembunuhan, mulai melancarkan intimidasi. Di samping itu, satu fakta baru ikut menyeruak mengatakan rekan detektif Kate diam-diam korup.
Kelindan lainnya yang akan mengisi kepala penonton adalah cerita tentang pemerintah Inggris yang merespons kontroversi teknologi DNA, seorang instruktur selancar yang menawan dan adik laki-lakinya yang narkoboy, serta jurnalis lepas dengan istrinya yang parnoan.
Semua elemen cerita yang saling kelindan ini bisa jadi menarik, tapi sayangnya disuguhkan dengan menggantung. Beberapa malah terkesan dipaksakan. Setidaknya itu yang saya rasakan.
Kesan aneh dan dipaksakan tersebut bisa ditemukan pada tiap episode musim pertama “The One”. Entah itu tujuannya memancing penonton ke musim kedua atau karena keterbatasan eksekusi.
Meski begitu, serial ini layak dan cukup mengesankan untuk ditonton. Selain karena ia debate-able, “The One” sedikit banyak telah berhasil merefleksikan rahasia umum dampak kemajuan ilmu: bisa jadi solusi sekaligus sumber petaka.
Nah, buat yang penasaran dengan keseluruhan cerita “The One”, serial ini sudah tayang di Netflix sejak Jumat (12/3/2020).