Jika Anda tengah butuh motivator dan pencerahan hidup via film yang berdedikasi menyuapi pesan moral dan inspirasi, ya tontonlah Rudy Habibie
.
“Saya paling benci ditanya pesan moral karena ngapain aku harus menggurui pesan moral, apapun yang kalian rasakan setelah menonton film saya hormati, kita semua datang dari latar belakang yang berbeda jadi kenapa saya masukan pesan moral saya?” – Nia Dinata, sutradara Arisan! dan Berbagi Suami, dilansir dari Warning Magazine.
“Apa pesan moral dari film ini?” adalah pertanyaan paling receh dan membosankan yang bisa kamu lontarkan selepas menonton film. Hampir semua film mengandung pesan dan informasi yang sengaja atau tidak sengaja terbentuk dan tersampaikan pada penonton. Namun, kita sendiri bebas menyerap dan menafsirkannya sesuai dengan keadaan psikologi dan pengalaman pribadi kita yang berbeda-beda, sama seperti kita tak bisa mewajibkan sebuah film untuk punya pesan moral. Lebih-lebih, moral sebenarnya juga adalah hal yang relatif bagi tiap insan.
Kamu bisa dapat banyak hal dari sebuah film: wawasan, pesan ideologi, nilai sosial-politik, kesan, ekspresi, dan tentu kadang-kadang wejangan moral juga. Akan tetapi, jika yang kamu cari hanya selalu sebatas pesan moral, lebih baik datanglah ke dakwah-dakwah keagamaan untuk mendengarkan kisah-kisah nabi.
Mendidik tidak harus seperti soal cerita PPKN, eh Kewarganegaraan (ketahuan anak 90an) yang begitu mudah dapat ditarik pilihan baik-buruknya lewat pertanyaan pilihan ganda. Apalagi untuk film yang tidak ditujukan khusus ke anak-anak. Apakah daya tafsir kita begitu rendah, sehingga harus diarahkan dan digurui sedemikian rupa untuk menangkap sebuah manfaat dari setiap narasi dalam film? Tidak cukup pandai kah kita mengambil pelajaran dari sebuah cerita yang apa adanya, tanpa harus menunjukan bahwa yang baik pasti menang, yang berjuang keras pasti berhasil, dan yang jahat pasti kena batunya? Toh hidup pada realitanya juga tidak selalu seperti itu.
Sejak film Laskar Pelangi (2008) meroket kencang, industri film Indonesia seperti berlomba-lomba menyajikan film-film dengan tema pendidikan dan nilai-nilai perjuangan. Seperti apa yang dituturkan dalam dialog sebuah film keren bertajuk Demi Ucok, bahwa film lokal yang sukses haruslah film horor atau yang bertema kepahlawanan dan cinta tanah air.
Sebatas itu sih bukan kecenderungan yang buruk, namun tatkala terus dieksploitasi dan berakhir tidak proporsional, maka estetika yang jadi korban. Salah satu contohnya adalah film sekuel anyar Habibie & Ainun yang bertajuk Rudy Habibie. Film besutan Hanung Bramantyo ini adalah korban dari bagaimana film biopik tokoh sejarah dipaksa dihadapkan dengan kebutuhan memasoki pesan moral dan wacana inspiratif pada penonton.
ADVERTISEMENTS
Rudy Habibie, film melodramatis yang berlebih [Peringatan! Ada spoiler].
Rudy Habibie mengambil latar waktu sebelum Habibie bertemu Ainun di awal mula film Habibie & Ainun. Ini adalah kisah masa muda Rudy Habibie (Reza Rahadian) kala mengenyam pendidikan penerbangan di RWTH Aachen, Jerman. Di sanalah ia akan bertemu dengan Ilona Ianovska (Chelsea Islan) untuk menjalin kisah cinta yang sudah kita tahu akhirnya. Sedikit masa kecil Habibie ditampilkan di pembukaan film, perihal ayahnya yang bijaksana dan cita-cita sedari kecil untuk menciptakan pesawat terbang.
Dibuka dengan bombastis, saya kira awalnya film ini tergesa-gesa atau terlalu dini ingin meledakan emosi penonton. Ternyata keliru, film ini memang sentimentil di seantero film. Bernafsu menjadi dramatik di hampir setiap adegan. Bertubi-tubi, dari bagaimana Habibie menjadi korban perang kala kecil, ayahnya meninggal, ia kehabisan uang di Jerman, hingga adegan di-bully oleh senior dan masih banyak lainnya. Rasa pilu pun digambarkan selalu lewat adegan menangis dan sembayang. Ada juga flashback-flashback berulang “Jadilah mata air” yang tidak perlu. Semua berbondong-bondong berebutan mencuri rasa trenyuh penonton. Kita sendiri malah sampai tak punya kesempatan menyatukan emosi dengan setiap situasi di kisahnya.
ADVERTISEMENTS
Mencoba terlalu keras untuk menunjukan Habibie adalah sosok yang inspiratif.
Habibie & Ainun punya formula mempertalikan kisah asmara dengan elemen sejarah. Itu tantangan berharga untuk dilewati. Tapi Rudy Habibie berbeda, ia begitu rakus. Ia hendak menjadi film sejarah, nasionalis, religius, moralis, romantis, sekaligus motivasional. Jadilah film ini kekenyangan muatan, dan susah untuk tidak berakhir pretensius.
B.J Habibie memang salah satu tokoh politik di Indonesia yang karya atau prestasinya berwujud konkret dan bukan sekedar gagasan. Ia membangun industri dirgantara. Sisi heroik dan protagonis itu yang lantas tanpa ragu digenjot habis-habisan secara eksplisit di Rudy Habibie. Habibie digambarkan sebagai sosok jenius-pejuang-nasionalis yang hampir tanpa cela. Ada glorifikasi (proses memuliakan) tokoh yang sangat terasa.
Mudah saja kita melihat pola kerja untuk membangun pesan moral dan inspiratif dari tokoh Habibie. Dipertemukan dengan beragam kesulitan dan problema, terjatuh, terpuruk, lalu diangkat di akhir. Agak kontradiktif kemudian tatkala dibawakan dengan tempo melodramatik yang mencecar di Rudy Habibie. Niatnya ingin memaparkan bahwa yang namanya perjuangan itu tidaklah mudah, dan mesti melalui banyak rintangan. Namun, film ini menyuguhkannya lewat pendekatan konflik yang begitu instan. Seakan begitu cepat dan mudah seseorang terjatuh lalu 10 menit berikutnya bangkit lagi, lalu jatuh lagi, bangkit lagi, dan seterusnya.
ADVERTISEMENTS
Untungnya, Reza Rahadian adalah Reza Rahadian. Aktingnya tetap kelas satu.
Portofolio Reza Rahadian tak lagi terbantahkan. Ia telah berperan jadi siapa saja, dan tetap gemilang. Namun, mungkin tak ada peran yang lebih berkesan di hati khalayak Indonesia dibanding perannya sebagai Habibie. Dari awal kemunculannya, perhatian kita sudah tercuri. Gestur jalannya, gerak bibirnya, dan logat bicara yang cepat itu terhitung otentik. Kita mungkin akan tetap terkesima terlepas apakah itu sejatinya mirip dengan Habibie asli maupun tidak.
Jika Anda tengah butuh motivator dan pencerahan hidup via film yang berdedikasi menyuapi pesan moral dan inspirasi, ya tontonlah Rudy Habibie. Tapi sejatinya hampir tak ada beda dengan membaca buku-buku praktis semacam 1 Menit Jadi Milyader atau 1000 Cara Ampuh Masuk Surga. Karena sungguh, dunia tempat kalian berpijak tidak semudah film ini untuk dipahami.
Yah, anggap aja seperti belajar PPKN bersama guru yang ganteng!