Mengusung tema Hollywood ke tayangan Indonesia memang sebuah keberanian. Namanya juga debut, butuh elemen observasi untuk memulai. Sayangnya Pandji Pragiwaksono yang dikenal dengan guyonan cerdas kritisnya justru tampak pengen mengeluarkan semua isi kepalanya dan menjejalkannya dalam satu film. Tentu, langkahnya ini malah nggak cerdas dan nasib filmnya berujung kritis.
Tertawa adalah sebuah reaksi spontan. Mana mungkin tertawa bisa lepas dengan aturan dan skenario Jatuhnya jadi akting dong. Lucu juga nggak perlu dijelaskan, bukankah kata sifat ini didefinikan secara alamiah oleh otak manusia? Sayangnya, saya melihat beberapa komedi yang perlu dijelaskan dari sebuah film yang sekuat tenaga dibuat lucu. Hasilnya, memang banyak yang tertawa. Namun lima menit kemudian mereka lupa tertawa karena apa.
Sebuah genre buddy cop alias petualangan dua sahabat dalam membasmi kejahatan memang sangat karib buat penyuka film Hollywood. Sebut saja 21 Jump Street, The Nice Guys, hingga The Interview yang sempat menuai kontroversi. Namun ketika genre ini mulai dicicipi oleh sutradara lokal, masyarakat siap nggak sih menerjemahkan pola pikir sutradara yang cenderung imajinatif begini? Meski film Partikelir ini jauh di bawah ekspektasi saya dengan karya Pandji Pragiwaksono, paling nggak ada beberapa hal yang perlu diintrospeksi. Katanya, di negeri ini kalau hanya kasih kritik tanpa saran dibilang nyinyir sih.
ADVERTISEMENTS
Namanya juga buddy cop, harusnya Deva Mahenra dan Pandji Pragiwaksono kelihatan lebih ‘mesra’
Elemen yang ingin ‘dijual’ dari banyak film-film buddy cop lain adalah hubungan tarik ulur pertemanan yang menggemaskan. Kalau anak gaul sih bilangnya love hate relationship, benci tapi rindu, sebel tapi sayang, sayang tapi nggak jadian-jadian. Tentunya koneksi batin Deva dan Pandji harusnya dibangun sedemikian rupa sehingga bikin penonton menginginkan mereka memecahkan kasus bersama. Sayang, secara pribadi saya sama sekali nggak menangkap kalau pertemanan mereka itu asyik. Justru lebih kepada pangling dengan postur Deva Mahendra yang jadi tinggi besar. Seharusnya duel melawan Agung Hercules sudah cocok banget. 😀
ADVERTISEMENTS
Cameo yang banyaknya satu RT membuat saya curiga elemen ini dibuat karena Pandji nggak percaya diri dan seolah cari bantuan phone a friend ala kuis Milyuner
Penggemar stand up comedy di Indonesia pastinya kegirangan menonton film ini. Selain karena banyak banget idola dan teman mereka yang nongol, aksi guyonan mereka meski hanya satu dua kalimat memang pecah. Lagi-lagi saya sempat suuzan karena cameo dalam film ini digunakan sebagai ‘elemen penyelamat’ dari premis cerita Partikelir yang rancu dan ke mana-mana.
Jujur saja, saat menonton di bioskop, saya mendengar tertawa lepas penonton yang terbahak dan terpingkal. Tapi saya heran apa yang mereka tertawai. Saya sempat curiga apakah selera humor saya memang kelewat receh atau saya sedang PMS kala itu. Namun ternyata saya hanyalah mengharapkan guyonan sindir-kanan-kiri yang cenderung sarkas, sementara yang saya lahap adalah komedi ringan sederhana. Ya, jelas nggak kenyang.
Selebihnya saya nggak memahami bagaimana persona Pandji dalam film. Saya justru menyukai lawak yang disampaikan lewat Tio Pakusadewo, Agung Hercules, Epi Kusnandar, dan Cornelio Sunny. Lalu, mewakili ukhti dan sista yang duduk di depan saya, mereka tampaknya kesengsem dengan Ardit Erwanda. Telihat jelas dari teriakan manja yang mereka lontarkan berulang kali, “Ya, ampun gemes!”
ADVERTISEMENTS
Antara realis dan surealis, seharusnya dari awal Pandji menentukan filmnya akan ‘membawa realita masyarakat’ atau ‘dibawa ke realita masyarakat’
Meski pun suka menonton film, tapi saya nggak mengotak-ngotakkan film dari genrenya dan dari sutradaranya. Pun dengan apakah film itu diilhami dari kehidupan nyata atau digunakan untuk mengilhami realita. Semuanya mengalir tanpa harus didikte. Tapi jika kemudian mulai rancu mengenai konsepnya, hati ini seperti kesemutan.
Kalau dari awal film Comic 8 karya anak bangsa memang sudah dibumbui hal surealis layaknya bom, baku tembak, slow motion, hipnotis, dan hal-hal fantasi lainnya, saya justru bingung dengan Partikelir. Kalau pun film ini dimaksudkan realis, kenapa sih ada adegan baku tembak yang terasa begitu cringe dan penyelesaiannya hanya sekadar berita di televisi? Padahal Cok Simbara yang sudah membara menyalahkan sistem pemerintahan karena ia harus jual narkoba itu, udah ngena banget—demi menyindir para kaum yang hanya bisa mengeluhkan pihak lain ketimbang introspeksi.
ADVERTISEMENTS
Menulis skrip, jadi sutradara, sekaligus jadi aktor utama memang melelahkan. Pandji harusnya lebih belajar buat mempercayakan kepada orang lain
Saya rasa peran Pandji di film ini bisa dibagi. Bukannya meragukan akting komedian dan aktivis ini, namun alangkah lebih enaknya jika Pandji lebih matang di bagian skrip dan penokohan. Lalu dia pun nggak harus teriak cut saat sedang akting. Plot juga harusnya bisa lebih diperhatikan biar kesannya lebih rapat dan nggak bocor karena nggak pakai yang bersayap. Buat film ala detektif swasta yang disebut partikelir ini, kecerdasan dan detail nggak tertebak harusnya dikasih lebih banyak porsi. Nggak usah semuluk Sherlock Holmes atau Jessica Jones, menciptakan tokoh ceroboh tapi beruntung layaknya Holland March dalam film The Nice Guys (2016) sepertinya bisa memberikan gambaran.
Sebagai sebuah komedi yang dikemas agar terlihat cerdas, Partikelir justru tampak nggak matang. Entah karena proses produksi yang terburu-buru atau gelora sutradara yang terlalu memburu. Pemilihan lagu-lagu khas melayu saat pertarungan yang dimaksudkan agar lucu justru kurang mengena dan terasa seperti mengulur durasi. Mungkin akhirnya nggak hanya Pandji yang harus introspeksi, tapi semua kru yang juga mendalangi. Nah, paling nggak kita bisa bersyukur dengan gairah film komedi Indonesia yang semakin berwarna. Dengan begitu penonton yang haus tayangan menghibur punya banyak pilihan dan bisa move on dari komedi lawas layaknya Warkop DKI dan Benyamin Sueb yang sudah waktunya dijadikan legenda, lalu beralih dengan menciptakan legenda baru.