Aspek teknis masih banyak kekurangan, tapi overall tetap menghibur. Keberanian mengenalkan budaya Jawa Timuran layak diapresiasi.
Ranah film Indonesia belakangan diramaikan oleh para komika yang berbondong-bondong mencoba peruntungannya dengan membuat film. Sebut saja Raditya Dika, Ernest Prakasa, Pandji Pragiwaksono, dan Soleh Solihun. Fenomena kreativitas lintas disiplin ini semakin menyemarakkan dunia perfilman. Ide-ide segar mengalir. Pembaharuan-pembaharuan pun terjadi.
Boleh dibilang dunia perfilman Indonesia sedang bergairah. Seakan nggak mau kalah dengan komika yang banting setir, para YouTuber pun mencoba peruntungannya untuk membuat film. Kali ini ada Bayu Skak yang menggawanginya. Apalagi kalau bukan film yang berangkat dari ide ceritanya yang bertajuk Yowis Ben. Bagaimana filmnya? Simak baik-baik ulasannya.
ADVERTISEMENTS
(SPOILER ALERT)
ADVERTISEMENTS
Sinopsis. Obsesi empat remaja yang pengen mendapat pengakuan dari orang lain. Terutama Bayu yang pengen dapat perhatian dari Susan, sang pujaan hatinya
Kisah Bayu (Bayu Skak) yang dikenal sebagai “Pecel Boy” karena selalu membawa dagangan ibunya ke sekolah yang pengen mengubah pandangan remeh orang atas dirinya. Beberapa kali ia jatuh hati kepada seorang perempuan, namun gagal karena orang terlanjur mengenal dirinya sebagai seorang pribadi cupu. Akhirnya ia memilih bermusik sebagai cara agar orang dapat menghargainya. Bersama Doni (Joshua Suherman) ia mencari personel lalu masuklah Yayan (Tutus Thomson) dan Nando (Brandon Salim).
Sampai pada suatu ketika band mereka terkenal melalui YouTube, Susan (Cut Meyriska) kepincut dengan Bayu. Namun ternyata kedekatannya dengan susan tersebut justru membawa petaka bagi hubungan dengan bandnya “Yowis Ben”. Stop! Sampai di sini saja spoiler-nya. Cari sendiri jawabanmu dengan menontonnya langsung di bioskop, ya. 🙂
ADVERTISEMENTS
Sebelas dua belas dengan 5 Cowok Jagoan-nya Anggy Umbara, masalah penokohan masih menjadi masalah utama film perdana Bayu Skak ini
Meskipun film ini nggak bisa dibilang jelek, namun nggak bisa dimungkiri juga bahwa memang masih banyak terdapat kekurangan. Pertama, dari akting tiap tokohnya, boleh jadi baik Bayu dan Joshua sangat fasih melafalkan logat Jawa Timuran dengan kental (juga latar belakang mereka) tapi tetap nggak bisa membuat akting mereka terihat baik dan natural.
Khusus untuk tokoh Nando (Brandon Salim), ada kecerdikan Fajar Nugros sebagai sutradara yang laik diapresiasi. Brandon yang wagu berbahasa Malangan diberikan latar belakang berasal dari Jakarta. Maka, meskipun ia kurang fasih dalam melafalkan bahasa Jawa, ia terselamatkan dengan alasan pindahan dari ibukota. Namun sayangnya, hal ini nggak berlaku dengan tokoh Susan yang menggunakan bahasa Indonesia dalam kesehariannya, terkadang pakai lo-gue, tapi nggak terjelaskan latar belakangnya sehingga saya sebagai penonton merasa ada ketidakwajaran dalam aktingnya.
Namun kekurangan tersebut nggak lantas membuat saya bosan, pasalnya lelucon-lelucon yang dilontakan beberapa kali bekerja pada saya. Selain itu, yang laik memperoleh pujian adalah aspek bebunyian yang beberapa kali muncul dengan merdu. Lagu-lagu dari Yowis Ben selain kocak juga teraransemen dengan baik. Saya pun masih mengingat liriknya hingga sekarang, “Saben wengi aku raiso turu mergo aku kilingan awakmu,” (setiap malam aku nggak bisa tidur karena teringat dirimu) kira-kira seperti itu.
ADVERTISEMENTS
Gagasan yang dibawa juga menarik dan related dengan kehidupan kids zaman now. Film ini juga mengajak kita mengenali Jawa Timur, baik perilaku orangnya, bahasa, dan pola candaannya
Masa muda adalah masa di mana manusia butuh pengakuan dari lingkungan sosialnya. Bayu butuh pengakuan dari Susan, Doni butuh pengakuan dari keluarganya, Nando nggak mau hanya dipuji karena paras menawannya—ia butuh pengakuan atas karyanya, dan sebagainya. Di era milenial seperti sekarang ini, kerap kita lihat di pelbagai lini massa, bahwa banyak kids zaman now yang memilih jalan pintas, pengen diakui keberadaannya dengan mencari sensasi, bahkan ada yang menggunakan cara yang nggak terpuji. Dan Yowis Ben ini adalah jawaban dari bagaimana sebenarnya cara terbaik yang bisa dilakukan anak muda, yaitu dengan berkarya melalui Band.
Terlepas dari itu semua, film ini memang sangat kental dengan budaya khas Jawa Timuran. Mulai dari setting tempat yang mengambil beberapa spot dari kota Malang dan Surabaya, bahasa Jawa Timuran, watak keras khas orang sana, sampai gaya bercandaannya. Seperti yang kita ketahui dari berbagai wilayah Pulau Jawa, Jawa Timur dikenal sebagai Jawa yang keras atau kasar. Hal ini sangat terlihat dari watak para pemeran dan gaya bicara mereka, maka jangan heran kalau kamu bertemu orang Jawa Timuran tiba-tiba mengucapkan kalimat “Janc*k” dengan nada tinggi. Nggak selamanya ketika orang sana mengucapkan kata teresebut ketika sedang marah, kadang saat berkelakar pun tutur mereka mudah berkata semacam itu.
Film ini bisa dijadikan pengalaman singkat mengenal Jawa Timur bagi kamu yang belum pernah sama sekali berkunjung ke Malang, Surabaya, atau yang nggak punya teman yang berasal dari Jawa Timur.
ADVERTISEMENTS
Bagi saya, nggak ada masalah dengan pemilihan aspek budaya yang dibawa oleh Yowis Ben. Justru harusnya makin banyak film seperti ini, supaya kita lebih mengenali lagi bangsa Indonesia
Beberapa waktu yang lalu film ini sempat mendapat cibiran dari warganet, terutama atas pilihan menggunakan dialog 90% Bahasa Jawa. Ada yang mengatakan, “Film untuk para pembantu”, “Jaman sekarang masih pakai bahasa kampung”, “film nggak bhinneka tunggal ika,” dan sebagainnya. HAHA!
Orang-orang macam ini sejatinya hanya patut ditertawakan tanpa perlu digubris. He, Bung! Sebuah film sejatinya, adalah gambaran realitas yang dipindahkan ke dalam sebuah layar. Film yang baik adalah yang sanggup merepresentasikan kejadian sewajarnya kejadian yang terjadi di kehidupan nyata, meskipun film fiksi sekalipun.
Pada kenyataannya Indonesia punya budaya beragam. Jadi sah-sah saja menceritakan salah satu budaya suatu daerah. Justru begini seharusnya! Supaya kita bisa mengenal budaya-budaya lain yang belum kita ketahui tanpa perlu repot mengunjunginya satu per satu. Toh, kalau ada yang keberatan karena bahasanya, sudah disediakan teks Indonesia sebagai media pembantu penonton memahami dialog dalam film. Lantas mengapa harus dipermasalahkan? Justru dengan penyamarataan film yang harus berbahasa Indonesia atau lo-gue melulu berpotensi menghilangkan kekayaan bahasa yang kita punya. Nanti kalau diakui negara lain baru teriak-teriak. Huh, maunya apa sih? 🙁
Sebelumnya telah ada film daerah lain semacam Uang Panai (2016) dan Silariang (2017) dari Makassar, Turah (2016) dari Tegal, Siti (2014), dan Tengkorak (2017) dari Jogja, dan lain-lain. Film-film semacam ini mendekatkan kita untuk mengenali budaya yang kita punya. Justru dengan berbagai keberagaman latar belakang budaya, dunia perfilman Indonesia semakin kaya akan cerita. Dengan kekayaan cerita tersebut harapannya ranah perfilman kita akan bisa semakin maju dong. So, ojo lali nonton film Yowis Ben, yo, Cuk!