Beberapa waktu belakangan ini, film pendek garapan anak bangsa berjudul “Tilik” mampu membuat heboh hampir seluruh masyarakat Indonesia dari berbagai lapisan, mulai dari dunia nyata hingga dunia maya. Tayangan yang berdurasi sekitar 30 menit tersebut mampu membius publik dan membuat kita untuk sejenak melupakan tentang karut marutnya pandemi dengan kisah unik yang diangkatnya.
Meski sebenarnya terkesan begitu simpel dengan plot twist yang begitu, “Tilik” berhasil membuat siapa pun yang menontonnya merasa relate dengan semua keadaan yang digambarkan dalam film tersebut. Terlebih bagi kaum ibu-ibu yang mungkin secara nggak langsung punya keterikatan lebih dengan lika-liku ceritanya. Hmmm, sepertinya menarik sih kalau ibu-ibu memiliki komentar mereka sendiri terkait dengan film yang satu ini. Simak deh~
ADVERTISEMENTS
“Wah! Ini mah memang kita banget nih yang modelan kayak gini. Namanya aja juga ibu-ibu~”
Rupanya, meminta pendapat terkait film yang mengisahkan tetang kehidupan khas dari sudut pandang ibu-ibu melalui kaum ibu-ibu itu sendiri merupakan kekocakan tersendiri lo. Apalagi jika mengetahui bahwa mereka mengakui dan juga menyadari tentang apa yang ditunjukan sepanjang rentetan peristiwa di film tersebut memang begitu relate dengan kehidupan yang sebenarnya. Baik itu soal rumpi-rumpi jahatnya, sikap solidaritas antaribu-ibu satu dan ibu-ibu lainnya, hingga kekuatan besar yang berhasil mereka himpun demi menakut-nakuti polisi. Iya, polisi aja takut lo!
Bagi kaum ibu-ibu sendiri, ternyata mengikuti jalan cerita “Tilik” dari awal hingga penghujung film bukanlah yang terlalu penting. Jangankan dianggap penting, bahkan setelah film selesai saja masih ada yang nggak paham dengan ending-nya kok. Tapi lebih dari itu, daya tarik bagi mereka adalah bagaimana film tersebut mampu menunjukkan gambaran ibu-ibu kalau udah ngumpul jadi satu dan ngomongin segala hal, mulai dari yang benar-benar penting hingga hal yang seharusnya nggak masuk akal buat dibahas. Apalagi kalau udah mantengin bu Tejo dan Yu Ning eyel-eyelan, pokoknya udah paling serulah, nggak peduli mau bagaimana alur ceritanya. 😀
ADVERTISEMENTS
Ada pesan tersendiri dari kaum ibu-ibu buat kita semua, jangan pernah nonton film ini ramai-ramai, apalagi dengan ibu-ibu lainnya. Pokoknya jangan pernah!
Bukannya gimana-gimana, tapi kamu merupakan seorang ibu-ibu dan berniat menonton film ini dengan ibu-ibu lainnya, itu namanya kamu memilih jalan untuk merepotkan diri sendiri. Iya kalau ibu-ibu yang kamu ajakin nonton itu orangnya kayak Yu Ning, coba kalau malah mirip kayak bu Tejo, apa nggak makin pusing tuh? Sepanjang film bukannya bisa menikmati humor-humor kocak yang disajikan, malah saling tuding satu sama lain karena merasa dimirip-miripkan.
“Nah, itu tuh kamu banget tuh pasti yang kayak gitu!”
“Walah-walahh, ibu itu lo kok ngawur aja sukanya, lha mbok diliat dirinya sendiri kayak apa. Ngaca, Bu, ngacaaa!”
Kebayang nggak, niatnya mau cari hiburan dengan cerita-cerita tersebut, tapi saking relevannya dengan cerita, yang ada malah saling lempar olok-olokan. Kalau udah kayak gitu sih biasanya berlanjut sampai film udah selesai. Mamam!
ADVERTISEMENTS
Meskipun begitu, semua ibu-ibu di luar sana harus nonton film yang satu ini nih. Biar pada tahu dan sadar kalau mereka ini memang punya keunikan tersendiri dibandingkan dengan ciptaan Tuhan yang lainnya
Dalam pendapat sebelumnya telah disebutkan bahwa menonton film ini secara ramai-ramai dengan ibu-ibu lainnya merupakan salah satu tindakan konyol yang pernah ada. Meski begitu ibu-ibu di seluruh Indonesia memang sudah seharusnya menonton film yang satu ini. Ingat, pesan ini datang dari kaum ibu-ibu sendiri lo, ya! Alasannya sepele, agar ibu-ibu di manapun berada punya kesadaran yang tinggi bahwa mereka ini punya keunikan tersendiri. Ibarat kaca, film “Tilik” ini bisa jadi refleksi buat mereka tentang bagaimana jika dia menjadi salah satu tokoh yang ada di film tersebut. Ya, itung-itung juga biar tahu gimana rasanya jadi orang lain kalau ngadepin orang yang modelnya kayak bu Tejo itu~
Ini bakal jadi sesuatu yang menarik jika semisal film “Tilik” ini jadi titik awal penyemangat bagi orang-orang kreatif lainnya untuk menciptakan karya-karya yang serupa. Daripada setiap hari kita disuguhi sinetron-sinetron nggak berfaedah yang tayang di TV mulai dari matahari terbit hingga hari berubah jadi gelap, mending nonton film-film kayak gini, kan. Ayolah, dukung terus perindustrian film lokal biar semakin maju!
Sebagai penutup, ada satu pesan lagi dari kaum ibu-ibu bagi semua pembaca,
“Ingat, bahwa hampir 70% pekerjaan di muka bumi ini termasuk mencari remot TV yang hilang, itu hanya bisa dilakukan oleh kaum kami. Jadi nggak perlu nyewotin kami kalau terkadang kami juga begitu ngeselin ya!”
Nah lo, dah diinget-inget tuh, ya~