Joker layak ditonton karena film ini dapat menuturkan cerita yang kompleks dengan cara sederhana. Selain itu Joaquin Phoenix berhasil membuat kita berpikir kalau Joker bukan cuman Heath Legder saja.
Saya adalah orang yang teratur soal melakukan suatu aktivitas. Hari ini menonton film Seven Samurai, seminggu kedepan harus selesaikan buku Fyodor Dostoevsky. Bicara soal film, setiap orang pasti punya selera dan penilaian sendiri. Karena alasan itu, biarkan saya menilai salah satu film fenomenal tahun 2019, “Joker”.
Sebelum mulai, perlu diketahui bahwa “Joker” adalah film yang mendapatkan respons positif dari kritikus dan pecinta film. Bahkan film yang dibintangi oleh Joaquin Phoenix itu mendapat 8 menit standing ovation saat diputar di Venice Film Festival. Nggak sampai di situ, film “Joker” juga masuk dalam nominasi film terbaik di Academy Awards.
ADVERTISEMENTS
Joaquin Phoenix berhasil keluar dari bayang-bayang Joker versi Heath Ledger
Saat mendengar kata Joker, pikiran saya secara otomatis memilah kenangan dan film yang pernah saya tonton. Pikiran saya berhasil meningat satu nama, yakni Heath Ledger. Nggak bisa dimungkiri, banyak orang yang sepakat bahwa Joker versi Heath Ledger begitu ikonis. Bahkan ada rumor yang mengatakan sang aktor meninggal karena nggak bisa melepaskan karakter Joker setelah selesai memerankannya.
Karena alasan tersebut, Heath Ledger jadi semacam standar Joker versi layar lebar. Maka di film-film selanjutnya orang punya beban sendiri memerankan Joker. Sebagai contoh, kita bisa memaklumi kualitas akting butut Jared Letto dalam film “Suicide Squad”, sebab ada kesulitan tersendiri memerankan tokoh Joker ditambah adanya ‘Standar Legder’ tadi.
Keberanian dan nyali yang besar dimiliki oleh Warner Bros dan Todd Philips untuk mengangkat kisah Joker secara penuh selama 2 jam 2 menit. Tantangan dalam menggarap film ini tentu saja terletak pada kualitas aktor yang memerankan serta penggambaran suasana dan alur cerita.
Beruntungnya, Joaquin Phoenix berhasil memerankan tokoh Arthur Fleck dan Joker dengan sempurna. Dia keluar dari bayang-bayang Legder yang memainkan persona Joker yang criminal minded, brutal, dan anarkis, menjadi Joker yang pesakitan, penuh kesedihan yang berakhir meledak-ledak di akhir cerita. Saat batas tersebut berhasil dilewati, hasilnya adalah Joaquin menjadi aktor terbaik di piala Oscar tahun lalu.
ADVERTISEMENTS
“Joker”, film yang berhasil memainkan tone, suasana, dan vibes film psikologi lewat gambar-gambar yang ditampilkan
Dari pengamatan saya, Todd Philips dengan apik dapat meramu keseluruhan isi film dengan rapih. Kekuatan film ini terletak pada kualitas sinematografi dan kualitas akting. Bahkan dapat dikatakan kualitas sinematografinya kelas wahid. Pengambilan gambar dan tone, serta warna yang ditampilkan dapat membangun suasana dari scene ke scene. Selain itu, storyline yang segar membuat kita dilemparkan kembali pada ingatan saat menonton film-film yang mengusik psikologis penonton.
Dari segi storyline saya kira nggak ada celah untuk saya mengomentari ini. Untuk perbandingan, menonton film “Joker” mengingatkan saya pada film “Taxi Driver”, Magnum-Opusnya Martin Scorsese yang dicampur dengan konfilk yang dihadirkan film drama dalam “Raging Bull”.
Spekulasi saya, cerita Arthur Fleck ini mirip dengan cerita karakter Travis Bickle, sopir taksi dalam film “Taxi Driver”. Travis Bickle diperankan oleh Robert De Niro yang juga memerankan tokoh penting dalam film “Joker”, saya kira hal ini cukup menggelikan karena Robert De Niro sepertinya bernostalgia tentang masa mudanya dahulu.
Yang membuat “Joker” berbeda dengan “Taxi Driver” adalah masalah cara bercerita saja. Maksudnya, dalam “Taxi Driver”, kegilaan Travis Bickle nggak dijelaskan secara gamblang oleh Scorsese dan menguap begitu saja, membuat perdebatan dan kebingungan, bahkan kegelisahan penonton setelah keluar pintu bioskop. Bahkan, setelah menonton film “Taxi Driver”, nggak akan ada satu garis tegas seperti “orang jahat adalah orang baik yang tersakiti”.
ADVERTISEMENTS
Pada akhirnya film “Joker” membuktikan bahwa penjiwaan dan totalitas seorang aktor dapat menghidupkan jiwa dalam sebuah film
Kendati demikian, “Joker” bukanlah film yang jelek. Penuturan cerita yang membawa kita pada muara kebenaran juga baik bagi penonton. Penonton nggak akan dibuat bingung pada akhirnya. Ya, setelah menonton kita sebagai penonton dapat memilah-milah mana realitas dan mana delusi yang hanya ada dalam kepala Arthur Fleck. Bahkan formula ini dapat memberi kita pengalaman menonton yang lebih beragam karena kita selalu disuguhkan plot twist yang tiba-tiba atau bahkan nggak ada twist sama sekali. Dan ini yang membuat penonton geregetan.
“Joker” adalah film yang mengutamakan penguatan karakter, maka kualitas pengambilan gambar mesti benar-benar diperhatikan. Film ini banyak menggunakan teknik close up untuk menguatkan pembangunan karakter. Teknik close up akan terlihat sempurna jika aktor memainkan bagiannya dengan baik. Joaquin Phoenix melakukan hal menakjubkan dalam memerankan Arthur Fleck.
Musabab segi cerita dalam film ini bercerita tentang asal muasal Joker yang nggak mengikuti versi komik membuat film ni terlihat segar dan autentik. Hal ini disebabkan oleh akting Phoenix yang total. Cara tertawa, gestur, ekspresi-ekspresi mikro yang nggak terduga benar-benar keluar dan membuat ini menakjubkan. Saya rasa semua penonton film ini terhanyut melihat kisah hidup Joker yang dibangun dalam film: pesakitan, menyedihkan,, lemah dan kengerian dalam satu paket.