Film yang terinspirasi dari kisah alm. Julia Perez ini memiliki jalan cerita yang menarik. Kredit lebih untuk keberanian sineas yang menyelipkan sedikit kebudayaan lokal. Film ini mungkin kalah pamor dari film lainnya yang sedang tayang di bioskop, tapi dari kelebihan dan kekurangannya kamu nggak akan rugi untuk menontonnya. Terlebih karena kamu nggak perlu capek ngantre seperti saat beli tiket Wiro Sableng atau The Nun. :3
Di tengah ingar-bingar film layar lebar yang sedang tayang di bioskop Indonesia, film Jejak Cinta menyelinap di antaranya. Mungkin, kalau kamu diberi uang 70 ribu untuk pergi ke bioskop sama gebetanmu, kamu akan lebih tertarik menonton film pendekar gila atau film hantu saleha berkerudung dibanding Jejak Cinta.
Ya, wajar jika Wiro Sableng lebih membuatmu tertarik dengan promosinya yang gencar, The Nun dengan kemasyhuran Valak di The Conjuring beberapa waktu silam, atau bahkan kalau pun kelewat silap, kamu mungkin akan lebih memilih nonton Udah Putusin Aja yang diangkat dari novel karya Ustaz Felix Siauw daripada Jejak Cinta—apalagi kalau bukan biar kelihatan alim di mata dia yang tercinta. :p
Tapi, saya berbeda! Saya lebih memilih menonton kebagian jatah mereview Jejak Cinta dibanding ketiga film tersebut meski terlihat lebih menarik. Awalnya saya ragu, tapi setelah menonton, ternyata boleh juga nih film. Saya cukup salut dengan itikad baik film yang berusaha mengenang alm. Julia Perez alias Jupe ini, terlebih karena usahanya mengenalkan budaya bangsa lewat beberapa aspek cerita. Baique! Langsung saja.
ADVERTISEMENTS
Jejak Cinta bercerita tentang sebuah usaha balas budi Hasan kepada mantan pacarnya yang mengusik hubungan rumah tangganya dengan Maryana
Film yang digarap sutradara Tarmizi Abka ini menceritakan kisah seorang desainer bernama Maryana (Prisia Nasution) yang bertemu jodohnya kala meriset batik sebagai bagian dari keikutsertaannya pada festival fesyen dunia. Secara kebetulan bertemu dengan Hasan, hubungan mereka lama-kelamaan semakin mesra hingga pada akhirnya mereka berdua menikah.
Jalan cinta nggak pernah tertebak, nggak lama berselang rintangan justru datang menghadang. Hasan kembali dipertemukan dengan mantan pacarnya, Sarah (Della Wulan Astreani). Belum habis kekagetan Hasan bertemu mantan, dia dijejali kabar kurang mengenakan datang dari keluarga Sarah yang sedang tertimpa beragam masalah. Bapak Sarah dipenjara karena tuduhan korupsi, keluarga mereka berantakan, dan semua seakan semakin lengkap dengan terperangkap Sarah dalam lingkungan bandar narkoba.
Karena hutang budi dengan kebaikan Sarah dan keluarganya di masa lalu, Hasan berusaha membantu Sarah dan ayahnya keluar dari masalah tersebut. Sayangnya, semua hal tersebut disembunyikan dari istrinya sampai pada akhirnya hubungan dengan Maryana memanas. Lantas bagaimana kelanjutan hubungan antara Maryana dan Hasan? Cari tahu sendiri kelanjutan kisahnya di bioskop kesayanganmu~
ADVERTISEMENTS
Selain mengenang alm. Julia Perez, film Jejak Cinta banyak memperkenalkan budaya lokal dan menceritakan keragaman
Meskipun Jejak Cinta tergolong film drama romansa, tapi terdapat hal menarik yang patut diapresiasi selain dari jalan ceritanya yang menyentuh jiwa. Pertama, keberaniaan penggunaan latar belakang tempat yang jarang digunakan. Pilihan latar di kota Singkawang, Kalimantan Barat, saya maknai sebagai usaha yang baik untuk perkembangan dunia perfilman. Semoga ke depannya lokasi film nggak sebatas di situ-situ saja, bercerita kebudayaan yang itu-itu saja.
Kedua, bersumbu dari latar kota Singkawang, ada nilai budaya lokal yang diselipkan dalam cerita; batik Singkawang dan bahasa daerah setempat. Di tengah maraknya film Indonesia yang bergaya kebarat-baratan, penikmat sinema juga butuh banyak film yang membawa kebudayaan lokal. Meskipun porsinya sedikit, tapi cukuplah menjadi pengingat agar nggak seperti kacang lupa kulitnya.
Ketiga, dalam film ini penonton muslim seperti saya sedikit dikenalkan dengan kebudayaan Tionghoa. Ini seperti alarm bahwa saya (dengan latar belakang keyakinan) bukan satu-satunya penghuni negara ini. Kerukunan para tokoh meski beda keyakinan dan kebudayaan, sedikit mengingatkan saya akan kebinekaan.
ADVERTISEMENTS
Meski skenarionya menarik dan diceritakan secara rapi, tapi masih ada beberapa kekurangan yang mesti diperbaiki
Boleh dibilang jalan cerita film Jejak Cinta tergolong menarik untuk diikuti, selain karena skenarionya memang bagus, juga karena adegannya yang tersusun secara rapi. Namun, sebagaimana ungkapan, nggak ada yang sempurna kecuali Tuhan, film ini masih terdapat banyak kekurangan.
Pertama, dari segi penokohan praktis hanya akting Baim Wong (Hasan), Prisia Nasution (Maryana), dan Matias Muchus (ayah Sarah) saja yang bisa dinikmati. Sedang yang lainnya sepertinya masih perlu berlatih dan meyelami karakternya lebih dalam lagi.
Kedua, jalannya cerita memang membuat penonton terbawa. Namun sayang, banyak dialog yang terlalu ambisius untuk menjelaskan kepingan informasi cerita. Padahal tanpa perlu penegasan dialog sekalipun, puzzle cerita sudah bisa dipahami lewat penalaran adegan. Pola penegasan yang berulang ini nggak ubahnya seperti dosen angkuh yang terlalu mengguruimu dalam ‘kelas memahami film’.
Ketiga, saya nggak mengerti, kenapa adegan kecelakaan masih dijadikan efek dramatis menjelang bubaran film-film drama. Klise nggak sih? Kalau ihwal Maryana yang mengidap kanker masih bisa ditolerir sebab film ini memang sedikit banyak terinspirasi dari kisah alm. Jupe. Dan ngomong-ngomong soal bubaran, ending menggantung yang dipilih sungguh membuat saya ingin menggantung mantan yang nggak pernah mau menyelesaikan hal yang masih janggal dalam dada dan kepala saya. Hih, sok misterius kamu~
ADVERTISEMENTS
Pengalaman menonton yang unik dan sebuah pertanyaan untuk masa depan perfilman Indonesia. Wah, berat nih~ :3
Saya berterima kasih kepada atasan yang mengirimkan saya bertugas, juga kepada stakeholder film Jejak Cinta karena telah memberikan pengalaman menonton yang unik. Malam itu saya merasa lebih ekslusif dari Joko Anwar yang punya hobi nonton sendiri di bioskop pribadi di kediamannya. Saya lebih terhormat, lantaran CGV memutarkan film hanya untuk saya seorang. I‘am literally sendiran! Bagi saya ini like an anomaly!
Pengalaman unik itu sekaligus pertanyaan bagi saya tentang bagaimana jalannya perfilman Indonesia ke depan? Miris nggak sih kamu kalau jadi bagian dari film dan tahu bahwa karyamu hanya ditonton oleh satu orang saja di hari pertama tayang? Jangan-jangan, yang seperti ini sudah lazim untuk film Indonesia? PR besar nih bagi dunia perfilman tanah air.