Imperfect benar-benar sukses dalam menyajikan permasalahan kompleks tentang body shaming yang hampir dirasakan oleh semua orang. Perpaduan antara drama keluarga dengan jokes-jokes receh serta totalitas pemain dalam mengambil peran berhasil membuat emosi kita naik turun. Selain itu, film ini juga mengingatkan kita bahwa insekuritas dapat dirasakan sekalipun oleh mereka yang kita nilai cantik, ganteng, dan bahkan terkenal.
Setelah sukses dengan Milly & Mamet, Ernest Prakasa kali ini kembali menggarap film akhir tahunnya yang juga nggak kalah booming. Bercerita tentang kehidupan seorang perempuan bernama Rara yang diperankan oleh Jessica Mila, Ernest berhasil memanfaatkan problematik kompleks tentang body shaming yang dirasakan oleh hampir semua orang saat ini.
Seperti film khas Ernest yang lainnya, dirinya selalu menonjolkan masalah yang terjadi antaranggota keluarga. Drama enteng dengan alur yang nggak begitu rumit, membuat film ini mudah dipahami sekalipun oleh para remaja. Meski begitu, film ini tetap akan mendapat beberapa kritik dari ‘pengamat film’ amatiran seperti saya ini. Simak sampai usai, ya!
ADVERTISEMENTS
Dari awal film hingga pertengahan, hampir nggak ada cool down dari masalah yang timbul. Emosi penonton terus dibuat naik, tapi justru di sinilah bagian serunya
Terlepas dari rasa kesal saya tentang bagaimana Ernest menunjukkan konflik pertama saat ayah Rara meninggal dengan begitu cepat, runtutan kemunculan masalah yang ada di awal film hingga pertengahan ini patut diacungi jempol. Pasalnya, Ernest nyaris nggak memberikan cool down pada masa-masa tersebut.
Menariknya, meskipun alurnya tampak datar, namun suasana yang ditimbulkan dari gejolak hati Rara ketika dia memunculkan masalahnya satu per satu membuat penonton ikut naik turun emosinya. Menurut saya, Ernest benar-benar sukses mengambil fokus masalah yang dihadirkan. Yakin deh, kalau kalian nonton pasti merasa relate banget sama hal-hal itu.
ADVERTISEMENTS
Kontras konflik yang muncul juga tampak jelas, ini adalah nilai positif kedua yang paling kentara di film tersebut
Seperti film-film Ernest yang sebelumnya, dia selalu khas dengan drama kekeluargaan yang terjadi di sepanjang film. Namun, lagi-lagi bagian yang dapat saya acungi jempol di film ini adalah bagaimana Ernest dapat menunjukkan kontras antara pemain satu dengan yang lainnya. Dengan dia brilian membuat penonton merasa familiar dengan sifat seluruh pemain.
Misalnya, Rara dengan sifat super mindernya yang disandingkan bersama kakak kandungnya yang digambarkan jadi pusat sorotan karena kecantikannya. Pada bagian lainnya, muncul juga Uus sebagai pemuda kampung urakan pengangguran yang susah diatur. Kemudian, ada juga Boy William yang digambarkan sebagai naravlog seperti dalam kehidupan aslinya.
ADVERTISEMENTS
Di film ini, akting Jessica Mila bisa dibilang totalitas banget. Reza Rahadian pun sebenarnya juga begitu, tapi tunggu dulu …
Salah satu effort Jessica Mila yang wajib diberi penghargaan sebesar-besarnya adalah bagaimana totalitas dirinya dalam mengubah penampilan jadi berbeda. Nggak hanya itu, cara dia berkomunikasi dengan lawan mainnya mulai dari tengah film hingga bagian akhir pun sukses mengaduk-aduk emosi saya.
Kemunculan para komika yang berada dalam satu frame menurut saya juga ide yang cemerlang. Penonton diajak menikmati jokes-jokes secara bersamaan tanpa harus loncat dari satu frame ke frame lainnya. Apalagi mereka juga berperan sesuai dengan sifat aslinya dalam kehidupan sehari-hari.
Berbeda dengan Reza Rahadian, meski dalam aktingnya saya beri angka 7 dari total 10, namun bagaimana Ernest menunjukkan dirinya sebagai pemuda kampung kurang relevan. Bagi saya yang memang hidup di kampung, penampilan keseharian Reza lebih cocok dibilang sebagai anak komplek, padahal dia tinggal di sudut perkampungan yang padat penduduk.
ADVERTISEMENTS
Terlepas dari semuanya, film ini bagi saya adalah sebuah pendobrak tentang fenomena body shaming yang terjadi di kehidupan kita sehari-hari. Ceritanya enteng, nggak receh, dan pesan yang mau disampaikan dapet banget!
Ngomongin tentang keseluruhan pada film ini, saya memberi angka 8,5 dari total 10. Bagaimana cara Ernest ingin menunjukkan pesan benar-benar dikemas dengan menarik dan mudah untuk dipahami. Di bagian akhir film pun kita akan disuguhkan dengan jalan cerita yang sangat ‘Ernest banget’. Ada banyak kutipan-kutipan yang dapat diambil dari film ini.
Ernest pun dengan pandainya menunjukkan siapa sebenarnya pihak terbesar yang ternyata berpotensi untuk membuat kita semua merasa insecure sepanjang hidup kita. Bagian-bagian kecil pun banyak yang digambarkan dengan sebegitu detail. Namun, tetap saja dari ‘pengamat film’ amatiran seperti saya ini, Imperfect tetap masih ada kekurangannya.
Meski begitu, film ini tetap layak untuk ditonton kok. Udah, pokoknya gas sekarang~