Mengusung tema ketidakadilan di masa penjajahan Belanda, Mike Wiluan sebagai sutradara sekaligus produser film ini telah dengan baik menyeimbangkan porsi kekhasan lokal dan internasional. Kamu bakal disuguhkan pertarungan ala koboi yang menunggang kerbau karena berada di tanah Jawa. Kekurangan dalam film salah satunya seputar CGI, yang beruntungnya, nggak ditampilkan terlalu banyak.
Pertengahan Juli ini kita bakal disuguhkan sebuah tontonan dengan konsep menarik yang jarang banget digarap oleh sineas tanah air. Film bergenre aksi dengan sentuhan wild west tentunya sangat menarik dan unik. Kali ini Mike Wiluan, sebagai sutradara, produser, sekaligus penulis cerita, mencoba menyajikan tontonan yang sama sekali berbeda dalam film Buffalo Boys.
Nggak kalah menarik, banyak bintang-bintang papan atas juga diperlihatkan dalam film ini. Mulai dari Tio Pakusadewo, Ario Bayu, Pevita Pearce, Hannah Al-Rasyid, dan masih banyak lagi lainnya. Dari awal hingga akhir cerita, saya kagum dengan suguhan yang diberikan oleh Mike sebagai bagian dari sineas lokal. Apalagi film ini kabarnya juga telah diputar di berbagai negara seperti Kanada dan Amerika Serikat. Namun coba kita ulas kembali, apa yang seharusnya diperbaiki di film yang sebenarnya cukup apik ini. Sebelumnya, bagi kamu yang belum menonton, cobalah kembali lagi setelah menonton kalau nggak rela dapet bocoran tingkat medium di sini.
ADVERTISEMENTS
1. Rekayasa digital yang begitu lucu, meski (untungnya) nggak muncul terlalu banyak
Film begenre aksi ini melibatkan banyak pertarungan berdarah dan ‘art‘ yang seharusnya mengagumkan. Sayang, beberapa luka yang didapatkan oleh pemain di film ini nggak semuanya tergambar sempurna. Beberapa bahkan jadi begitu lucu karena darah dan luka begitu terlihat rekayasa belaka. Sebenarnya tanpa rekayasa digital atau CGI pun, art director bisa mempercayakan luka agar tampak kelihatan nyata dengan makeup dan body paint yang pas. Untungnya, meski cukup fatal, rekayasa digital nggak ditampakkan terlalu banyak di film ini. Karena bisa dibilang, pertarungan besar hanya terjadi di pamungkas cerita.
ADVERTISEMENTS
2. Dialog yang layaknya drama, terkadang membuat penonton kehilangan emosi. Seharusnya ini disajikan dengan begitu pelan dan lembut layaknya belaian pacar orang
Banyak emosi yang seharusnya dibangun dari sebuah cerita yang bisa menimbulkan geregetan nggak karuan. Kekejaman pemerintahan Belanda atas penduduk sangat terasa. Namun, bangunan emosi yang sudah terlanjur baik, justru diselesaikan dengan dialog yang begitu drama. Bisa jadi, ini juga berhubungan dengan durasi film yang terasa terburu-buru—padahal saya yakin, penonton berharap film ini lebih panjang.
ADVERTISEMENTS
3. Mengapa tokoh perempuan yang ditampilkan sangat keren, justru nggak keliahatan gereget di akhir? Padahal banyak yang nungguin lho …
Pevita Pearce tampak begitu gagah dengan topeng ninja dan menunggang kerbau. Nggak lupa, dia sekali dua kali menembakkan anak panah pada orang-orangan sawah. Nggak hanya penonton yang terpesona, tapi juga tokoh Jamar dan Suwo yang kemudian mencoba merayunya. Tokoh yang digambarkan begitu tangguh di awal ini justru nggak banyak membantu di akhir cerita. Padahal banyak yang mengira kalau Pevita-lah yang akan jadi gong di pertarungan besar yang jadi pamungkas cerita Buffalo Boys.
Mikha Tambayong dan Hannah Al-Rasyid yang ditampilkan dengan karakter berbeda-beda pun tampak kurang begitu menonjol jika dibandingkan kedua tokoh utamanya yaitu Ario Bayu dan Yoshi Sudarso. Sungguh ini adalah kekecewaan yang paling berat, melihat betapa kecenya Pevita, tapi nggak terlibat banyak.
ADVERTISEMENTS
4. Pemilihan bahasa yang digunakan memang cukup membingungkan. Dibanding menggunakan bahasa Belanda dan Jawa, film ini justru menggunakan bahasa Inggris dan Indonesia
Nggak ada salahnya menggunakan bahasa Inggris ketika hal tersebut digunakan oleh kedua tokoh utama yang memang dibesarkan di California. Namun anehnya, penjajah Belanda justru fasih berbahasa Inggris dan penduduk desa di zaman kolonial tampak dibuat mafhum ketika sang penjajah memberikan ‘pidatonya’ di depan rakyat. Tentu ini nggak akan jadi masalah saat menonton ketika kamu mengabaikannya. Namun akan jadi pertanyaan besar kalau menyangkut konsekuensi pendalaman cerita.
Tentu saja, selain beberapa hal di atas, saya menyarankan kamu untuk menonton film Buffalo Boys ini. Kamu perlu tahu, kalau perkembangan film Indonesia sudah sejauh ini. Mari berharap agar sineas kita bisa menyajikan yang lebih baik lagi, dan sebagai penonton, tentu sebuah keharusan untuk mendukung produksi film dalam negeri. Buffalo Boys, adalah salah satu film yang nggak akan membuatmu menyesal sudah merogoh kocek buat nonton ke bioskop, beli popcorn, dan bayarin gebetan.