Menyelipkan isu sosial dan kultural dalam sebuah tayangan komedi adalah ide cerdas. Pemilihan Reza Rahadian, si aktor yang nggak pernah gagal, juga sebuah kecemerlangan. Tapi semuanya terasa kurang pas; penonton belum siap tertawa dan pulang dengan hati kecewa.
Sebagian orang membungkus kulit hewan, rambut, dan batu yang sudah dijampi-jampi di dalam kantong kain kafan. Membawanya ke mana pun ia pergi. Katanya biar selalu beruntung dan terhindar dari marabahaya. Eits, nggak, kali ini kita nggak akan membungkus Reza Rahadian kok, ini hanya metafora. 😀
Bukan hal yang aneh melihat Reza Rahadian di film Indonesia, pun bagaimana dia berakting sebagai tokoh yang sama sekali bukan dirinya. Nggak ada yang kecewa dengan Reza Rahadian saat memerankan B.J Habibie pada film Habibie & Ainun. Bahkan tokoh aslinya merasa puas dengan gambaran dirinya dalam diri Reza.
Ketika pilihan Hanung Bramantyo jatuh pada Reza Rahadian untuk memerankan Benyamin dalam film terbaru besutan Falcon Pictures berjudul Benyamin Biang Kerok, sebagian orang (terutama kaum hawa haus cinta) akan merasa kalau seperti Reza Rahadian terlalu tampan deh! Tapi mereka yang punya pikiran positif terus berpikir; toh, Reza pernah main jadi tokoh yang lebih ‘jelek’ lagi di film My Stupid Boss, taruhan saja pasti jadi bagus. Baiklah, di film Benyamin Biang Kerok ini, saatnya mereka berhenti menjadikan Reza Rahadian sebagai jimat kesuksesan film Indonesia, dan inilah alasannya.
ADVERTISEMENTS
Benyamin Biang Kerok versi lawas dikenal sebagai film kocak yang kaya akan guyonan khas Betawi. Kalau di versi barunya hanya disentil-sentil aja nih
Menonton Benyamin Biang Kerok bisa dipastikan mengharapkan lawakan khas Betawi muncul. Meski di film ini ada kerak telor, rumah khas Betawi, dan ondel-ondel, tapi unsur kekhasan ini justru hanya sekadar ditampilkan. Selebihnya adalah hidup modern ala film Comic 8 dengan misi membasmi kejahatan yang bikin kita kian deja vu. Reza Rahadian memang bukan orang Betawi asli, tapi kita terlanjur berekspektasi tokoh jenaka layaknya Benyamin, benar-benar bangkit kembali. Kalau nggak, kenapa judulnya harus bawa-bawa tokoh legendaris itu? Lawakan khas Betawi justru berhasil dibawakan oleh Omas, itu pun dalam porsi yang sangat sedikit.
ADVERTISEMENTS
Guyonan ini terlalu berat, kami nggak kuat …
Niatnya, mungkin film ini digunakan sebagai eksperimen Hanung Bramantyo sebagai komedi cerdas yang selain menghibur, juga memunculkan sarkas. Kelihatan banget, lho, dari mulai konflik penggusuran di perkampungan tempat nongkrong Benyamin alias Pengki. Ada pula guyonan yang terselip di adegan dukun memanggil jin yang berpenampilan seperti ulama dan politikus berjas-berpeci. Tapi ujung-ujungnya, film ini hanyalah usaha Pengki membebaskan pujaan hati dari penyanderaan. Selain konflik itu, hanya ada usaha ibunda Pengki (Meriam Bellina) mati-matian membuat Pengki sukses jadi pengusaha kaya layaknya dirinya. Rasanya isu sosial dan kultural yang begitu luas ini nggak selesai. Kenapa, ya, nggak dibikin sesimpel film sebelumnya saja di mana Pengki hanya seorang supir yang jahil dan playboy. Namanya juga ‘biang kerok’. 🙂
ADVERTISEMENTS
Sepatu sneakers pink Reza Rahadian, unik tapi kok nggak dikulik?
Mungkin ini hanyalah ‘kegatelan’ saya pribadi soal apa yang muncul di film. Berkali-kali tokoh Pengki mengenakan pakaian jas perlente dengan warna mentereng. Nggak ketinggalan sepatu sneakers pink yang warnanya jauh dari kata macho. Sebenarnya warna pink yang jadi favorit Pengki, si mata-mata pemberani dalam film ini, patut dikulik lalu dijadikan punch line. Oh, iya, saya jadi lupa, guyonan di film ini, kan, harusnya mengangkat isu sosial kultural. Berati nggak ada yang lucu dari sekadar sepatu, kali, ya? 🙁
ADVERTISEMENTS
Sekuelnya memang sudah dipersiapkan, tapi Benyamin Biang Kerok lebih seperti film yang ‘nggak selesai’ dibanding jadi first installment-nya
Saya nggak memungkiri sempat tertawa di beberapa punch line Benyamin Biang Kerok, terutama bagian Omas dan Juki, sumpah ngakak sungguhan. Tapi layaknya makan tanpa bismillah dan nggak diakhiri alhamdulillah, film ini terasa belum selesai. Dipotong pada bagian yang nggak seharusnya, lalu dialihkan pada musikal dengan suara asli Reza Rahadian (suaranya bagus kok, Guys). Rasa keki muncul setelahnya, tapi rasa penasarannya nggak ada sama sekali. Lebih pada kecewa dan gumaman, “Apa-apaan sih?!” atau “Lah, gini doang?”.
Selanjutnya layar menunjukkan cuplikan yang akan muncul pada film selanjutnya, dari aksi silat Rano Karno dan marah-marahnya Meriam Bellina. Nggak lupa embel-embel untuk menunggu kelanjutan aksi Pengki pada Desember 2018. Sungguh aneh perasaan ini. Maklum, saya nggak biasa digantungin dan paling nggak suka permasalahan yang nggak selesai begini. Ayolah, ini film layar lebar. Jangan berikan ending layaknya sinetron Tersanjung yang tanpa ujung itu.
ADVERTISEMENTS
Mau nggak mau, film Benyamin Biang Kerok menjadi langkah mundur Hanung dan Reza nih. Ya begimane lagi, Bang~
Bagi mereka yang nggak percaya takhayul, keberadaan jimat keberuntungan sebenarnya nggak ngaruh buat keberlangsungan hidup seseorang. Larisnya film hasil duet Hanung dan Reza dalam Rudy Habibie (2016) dan Kartini (2017) sepertinya nggak bisa terulang kali ini. Sebab kritikan untuk film ini lebih berhasil membuat penjualan tiket nggak semulus film-film sebelumnya. Tapi nggak apalah, untuk abang-abangku sineas hebat, terkadang langkah mundur itu ada sebagai ancang-ancang menuju lompatan yang lebih jauh.
Dengan membayar tiket seharga tiga puluh ribu dan membeli es cappuccino seharga dua pulu lima ribu di bioskop, film Benyamin Biang Kerok lebih ke arah menyakitkan daripada menghibur. Ya, gimana dong, saya nggak tega melihat Reza Rahadian yang berusaha konyol justru tetap terlihat tampan begitu. Mungkin ini namanya keadilan. Kalau Reza sudah ganteng plus lucu, komedian mana yang nggak akan cemburu? 😀