Dengan fasih Dewi Kwee menggambarkan betapa saudara sendiri begitu tebal hati, sementara persahabatan betapa abadi, dan keluarga adalah segalanya. Buku yang tepat untuk kita yang ingin mengucapkan terima kasih pada ayah, tetapi tak kunjung tersampaikan.
Penulis : Dewi Kwee
Judul : Terima Kasih, Papa!
Penerbit : Ruang Karya
Tahun : 2021
Tebal : iv + 167
ISBN : 978-623-6171-46-2
Jika seorang anak laki-laki lebih dekat dengan ibunya, anak perempuan lebih dekat dengan ayahnya. Menurut berbagai penelitian psikologi, anak perempuan akan merasa lebih aman dan nyaman ketika bersama ayah—bukan berarti bahwa ibu tak bisa memberikan rasa aman dan nyaman—hanya kecenderungan perasaan.
Buku Terima Kasih, Papa! ini pun menegaskan kedekatan seorang anak perempuan dengan ayahnya yang begitu hangat, kendati Dewi Kwee juga menceritakan seluruh kehidupan dan kedekatan tokoh aku bersama ibu dan kedua kakaknya.
Cerita berawal dari tokoh aku yang masih kanak-kanak, harus menghadapi drama kehidupan yang sangat berat, mulai dari keadaan finansial yang mengkhawatirkan, sanak saudara yang hanya bisa menjatuhkan, hingga pilihan-pilihan sulit dalam hidup yang harus diputuskan oleh sang Papa.
Isu pailit menjadi konflik utama cerita dalam buku ini. Usaha yang telah dibangun oleh keluarga ini hancur berulang kali, tetapi berulang kali pula tokoh Papa berusaha sekuat tenaga untuk mengembalikan keadaan finansialnya seperti sedia kala.
Sebagai seorang ayah yang jauh dari kata sempurna, begitu tokoh aku repetitif menjelaskan sosok ayahnya, sang Papa harus bisa mengatasi keadaan keluarganya dengan penuh tanggung jawab. Maksud hati ingin turut serta membantu, sang Papa hanya meminta pada ketiga anaknya untuk tetap fokus belajar demi bisa mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Biar semua masalah ini menjadi urusan orang tua.
Setelah Ci Jul dan Ko Tom berhasil kuliah di ibu kota, tinggallah tokoh aku bersama kedua orang tuanya di kampung halaman, beserta masalah yang seakan tak ada habisnya.
Tekanan yang begitu berat, yang seolah diembannya sendiri, membuat sang Papa kembali pada kebiasaan lamanya, merokok hingga sebungkus setiap harinya. Hal ini membuat kesehatan sang Papa mulai terganggu. Belum usai masalah gali lubang tutup lubang, masalah kembali muncul; sang Papa terkena stroke.
Terima kasih, Papa! Penyakitmu menyadarkanku akan pentingnya waktu. Darinya aku tahu bahwa membahagiakan orang tua adalah hal yang tidak boleh ditunda. (hlm 93)
Dengan kondisi keuangan yang mencekik, ayah yang mulai melemah akibat stroke, dan kedua kakaknya yang jauh dari rumah, tokoh aku seperti diburu waktu: ingin menggapai mimpinya untuk bisa kuliah dan membahagiakan kedua orang tuanya, atau tetap di rumah membantu kedua orang tuanya. Di saat itulah tokoh aku dirundung kegalauan, tetapi sang Papa tetap memintanya untuk lanjut kuliah, bagaimanapun caranya.
“Pendidikan itu memang mahal. Tapi hasilnya bakal dia bawa sampe akhir hayat. Gak ada ruginya, Ni. Makanya kalau anaknya niat, ya diusahakanlah seberapa mahal pun, sudah seharusnya juga kan …” (hlm 15)
“Kalau mau kuliah, nilainya harus bagus ya…” (hlm 16)
Kenyataan bahwa saudara tak bisa diandalkan begitu nyata tergambar dalam buku karangan perempuan bernama lengkap Dewi Sartika Kowi ini. Kakak-adik kandung dari ibu, kakak-adik kandung dari ayah, semua tak memiliki andil baik dalam kehidupan keluarga tokoh aku. Apakah hinaan bisa disebut hal baik sebagai motivasi?
“Oh, bagus ya… Papa Mama bilang gak ada duit gak ada duit, tapi anaknya kuliah semua ya…” (hlm 125)
“Oh, bagus banget ya. Bapak sendiri sudah sakit tapi masih mau kuliah. Nanti sudah lulus kuliah jaak Papa Mama ke sana” (hlm 31)
Justru yang menarik adalah bagaimana hubungan baik antara Papa dan para sahabatnya, seperti om Yanto yang membantunya dengan modal untuk sang Papa membuka usaha galon air atau om Kin yang turut membiayai kuliah tokoh aku. Atau bahkan para sahabatnya yang selalu mengajak sang Papa bermain basket untuk meredakan penatnya.
… Hari itu aku melihat arti dan keberadaan Persahabatan Sejati di dunia ini. (hlm 50)
Secara keseluruhan, Dewi Kwee memberikan sentuhan drama keluarga yang begitu hangat dalam buku Terima Kasih, Papa! ini. Penggambaran makna persahabatan hingga akhir hayat, keakraban dalam keluarga, budaya sosial yang menjijikan, dan perjuangan untuk membahagiakan orang tua, dibungkus dengan ringan dan nyaman untuk dinikmati. Terlebih Dewi Kwee menggunakan alur sederhana dengan konflik yang bisa ditebak. Artinya, penulis memang hanya ingin kisah ini kita nikmati tanpa memikirkan hal lain di luar cerita dan menyelami perasaan terdalam akan kekecewaan karena terlambat untuk mengucapkan terima kasih pada ayah.
Sayangnya, buku ini agak melelahkan untuk dibaca. Inkonsistensi penggunaan pronomina mungkin masih bisa ditoleransi, tetapi penulisan huruf kapital yang kurang tepat, tanda baca yang meleset, dan beberapa saltik (typo) menjadi hal yang paling saya sayangkan. Di halaman depan memang jelas tidak tertulis nama editor, yang menyebabkan buku ini garib dengan para grammar nazi.
Terlepas dari cerita fiksi ini, nyatanya di luar sana banyak orang yang kita kira saudara, berlaku seperti orang lain pada kita. Sebaliknya, orang yang bukan siapa-siapa malah bisa menjadi penyelamat dalam hidup kita.