Review Black Panther: Ketika Marvel Butuh Waktu Tahunan untuk Mengangkat Isu Rasial dalam Film

Black Panther: Sebuah kebaruan dari Marvel

8/10

Baik dari segi cerita dan isu rasial, Black Panther cukup mewakili uneg-uneg mereka yang berkulit hitam

.

Di sela masifnya perbincangan film Dilan yang digadang akan memecahkan raupan jumlah penonton Warkop DKI Reborn, Marvel Studio merilis film superhero terbarunya yang bertajuk Black Panther. Film perdana seputar pahlawan kucing super ini dirilis bertepatan dengan hari Valentine kemarin, yang perlahan mengalihkan perhatian pecinta film Indonesia akan romantika Dilan-Milea.

Sebuah kebaruan adalah istilah yang cocok untuk menggambarkan film Marvel terbaru, Black Panther. Dalam menonton film Marvel biasanya kita melulu diceritakan sebuah kisah berlatarkan kota padat semacam New York atau ruang angkasa seperti Asgard, tapi kali ini lain. Dalam Black Panther kamu akan dimanjakan dengan nuansa indah berlatar Afrika. Barangkali ada kurang minat mendengar hal itu karena mungkin sudah terbiasa menonton pahlawan Marvel di tengah kota metropolis, tunggu, jangan skeptis dulu. Bagi saya latar Afrika ini justru kekuatan dari filmnya.

Baiklah, jamaah Marvel sekalian, tanpa perlu berlama-lama lagi. Berikut adalah hasil telaah saya, mengapa Black Panter laik disebut film superhero terbaik Marvel.

ADVERTISEMENTS

(SPOILER ALERT)

ADVERTISEMENTS

Sinopsis. Pemimpin baru, perburuan vibranium, dan ambisi untuk balas dendam kepada dunia

Review Black Panther: Ketika Marvel Butuh Waktu Tahunan untuk Mengangkat Isu Rasial dalam Film

Black Panther via www.forbes.com

Wakanda adalah sebuah kerajaan atau negeri fiktif di bumi bagian Afrika yang memiliki sumber daya alam melimpah bernama vibranium. Vibranium adalah logam langka buatan Marvel yang  paling kuat di bumi. Nggak heran, banyak penjelajah dan kolektor pengen menjajaki tanah Wakanda hanya untuk memperoleh logam ini karena harga jualnya sepadan dengan kesaktiannya yang membahana.

Vibranium bisa dijadikan bahan baku pembuatan peralatan militer, dapat kita lihat dalam film Captain America, Winter Soldier, dan juga Ulysses Klaw yang sama-sama memakai vibranium sebagai senjata andalan mereka. Selain itu, vibranium juga sumber energi utama infrastruktur canggih dan modern negeri Wakanda—laboraturiun Tony Stark pun bisa dibilang lewat. Namun memperoleh vibranium nggak semudah jalan Vicky Prasetyo meminang Angel Lelga, sebab negeri itu menutup diri dari dunia luar karena mereka nggak pengen vibranium digunakan sebagai alat pemicu perang dan penindasan.

Diceritakan, kerajaan Wakanda baru saja memiliki pemimpin baru, T’Challa (Chadwick Boseman), putra mahkota yang menggantikan ayahnya yang tewas akibat serangan dalam salah satu scene film Avenger: Civil War. Namun kepemimpinan Black Panther itu mendapat ujian dari saudara sepupunya, Erik Killmonger (Michael B. Jordan). Killmonger punya dua misi, pertama pengen balas dendam atas kematian ayahnya yang dibunuh oleh T’Chaka (Atandwa Kani) yang notabene adalah ayah T’Challa. Kedua, ia pengen menguasai dunia lewat Wakanda dan vibranium.

ADVERTISEMENTS

Cerita dan plot Black Panther memang sederhana namun nggak terkesan murahan. Pola bercerita yang mengedepankan penjabaran konflik batin tiap karakter sukses menarik empati penonton

Review Black Panther: Ketika Marvel Butuh Waktu Tahunan untuk Mengangkat Isu Rasial dalam Film

kunci dari film ini adalah kesuksesan sutradara menceritakan konflik dari tiap karakter via wtop.com

Sekilas Black Panther sama seperti film Marvel lainnya, cerita yang sederhana; pertarungan antara pahlawan vs penjahat, tempo lambat-lambat sedang, plot twist yang sewajarnya, dan efek CGI yang cukup memanjakan mata. Namun bila ditelaah lebih jauh, Black Panther sejatinya nggak hanya seputar obsesi balas dendam Killmonger, nggak sesederhana itu, sutradara Ryan Coogler berhasil mengeksekusi cerita jauh lebih baik daripada film Marvel lain.

Coogler berhasil meramu konsep pahlawan dengan cara yang berbeda. Baik protagonis, antagonis, superhero maupun villain semua digambarkan lebih manusiawi. Ya, penceritaan kedalaman tiap karakter dijabarkan secara dalam dan wajar. T’Challa sebagai Black Panther digambarkan nggak kelewat super, ia punya sisi lemah dan bisa dikalahkan. Begitu juga dengan Erik Killmonger sebagai villain, ia digambarkan nggak benar-benar jahat karena murni jahat. Ada alasan masuk akal yang melatarbelakangi mengapa ia melakukan kejahatan.

Para protagonis nggak selamanya terlihat baik dan para antagonis nggak selalu terlihat buruk, semuanya digambarkan selaiknya manusia biasa seperti kita. Dalam hal ini Coogler berhasil. Ia begitu detail dan mendalam menjabarkan kisah tiap karakter—kecuali Everett Ross (Martin Freeman), maka jangan heran kalau sebagai penonton bisa saja kamu menaruh empati kepada Killmonger dibanding dengan Black Panther. Atau lebih hebat lagi adalah ada yang suka dengan Shuri (Letitia Wright) dan Okoye (Danai Gurira) tapi di sisi lain beberapa kali menolak pemikirannya. Singkatnya, Coogler sukses memainkan nurani penonton sebagai manusia.

ADVERTISEMENTS

Tanpa haha hihi yang berlebihan Black Panther sudah memukau. Film action superhero sewajarnya, ya, begini

Review Black Panther: Ketika Marvel Butuh Waktu Tahunan untuk Mengangkat Isu Rasial dalam Film

Ini baru yang namanya film action superhero via www.forbes.com

Black Panther bukti bahwa banyak cara untuk menarik penonton tanpa unsur komedi yang berlebihan. Dua film Marvel sebelumnya Thor: Ragnarok dan Guardian Guardians of the Galaxy Vol. 2, entah karena apa ujug-ujug wajah film action yang tegang dan seru berubah menjadi konyol dan lucu. Eksploitasi haha-hihi penonton ini barangkali adalah sebuah usaha meningkatkan jumlah penonton, tapi strategi itu justru membuat banyak penonton yang kecewa karena terlanjur jatuh hati pada ketegangan dan keseruan yang ditanamkan melalui film Avengers.

Namanya film action superhero, sudah selaiknya, seperti Black Panther, menaruh porsi komedi secukupnya dan mengedepankan ketegangan. Sejak awal, penonton disuguhkan adegan perkelahian, tembak-menembak, kejar-kejaran pesawat canggih, hingga cakar-cakaran manusia kucing super. Kamu akan berdecak kagum melihat efek CGI dalam hamparan indah tanah Afrika melalui negeri Wakanda yang modern. Selain itu, efek bebunyian pengiring adegan juga nggak bisa kamu sepelekan. Musik bernuansa kearifan lokal Afrika membuat kamu seakan terbawa ke negeri yang belum pernah kamu kunjungi sebelumnya. Yaps! Black Panther telah membawa saya mengenali Afrika, negeri yang indah, walau hanya sebatas imajinasi.

ADVERTISEMENTS

Mewakili uneg-uneg ras kulit hitam adalah manuver yang tepat dan patut diapresiasi. Menarik empati penonton atas diskriminasi yang mereka alami membuat film ini layak disebut film superhero terbaik Marvel

Review Black Panther: Ketika Marvel Butuh Waktu Tahunan untuk Mengangkat Isu Rasial dalam Film

Stop diskriminasi! via www.geekexchange.com

Hemat saya, saya barangkali format penceritaan semacam inilah yang seharusnya dieksekusi oleh Marvel sejak dulu kalau pengen menyaingi kesuksesan film The Dark Knight-nya DC yang bagi saya belum ada tandingannya. Selain karena banyak kebaruan dalam metode penggarapannya, isu yang dibawa Black Panther ini patut diapresiasi. Cerita Black Panther barangkali sangat mewakili uneg-uneg ras kulit hitam yang selama ini menjadi korban diskriminasi kulit putih (red: bangsa eropa). Stereotip buruk yang kerap dialamatkan kepada mereka. Memang politik apartheid sudah dihapuskan, namun jejaknya masih terasa hingga kini.

Syahdan, isu inilah yang kemudian jadi alasan mengapa Black Panther pantas menerima dua jempol, kendati Marvel butuh waktu hampir 20 tahun untuk mengisahkan sosok pahlawan berkulit hitam (terakhir ada trilogi film Blade tahun 1998-2004). Di tengah propaganda Hollywood yang penuh narsisme tinggi selalu mengedepankan superioritas kulit putih dalam tiap filmnya, kehadiran Black Panther seperti melawan arus. Baik dari segi cerita dan isu rasial yang dibawa Black Panther ini cukup mewakili uneg-uneg mereka yang berkulit hitam (meski sebenarnya sudah ada beberapa film superhero berkulit hitam sebelumnya ).

Dan karena hal itu juga, secara keseluruhan, saya sebagai pihak netral (bukan jamaah Marvel maupun DC) menyebut ini adalah film superhero Marvel terbaik yang pernah saya tonton.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Fiksionis senin-kamis. Pembaca di kamar mandi.