'Ayat-Ayat Cinta 2' bolehlah ditonton sebagai dakwah, tapi tidak sebagai film yang baik
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
Selain ceritanya yang sulit dipercaya, teknis pengisahan Ayat-Ayat Cinta 2 juga tergolong kocar-kacir
Saya bukan penggemar Hanung Bramantyo, namun harus diakui ia adalah pengarah film yang rapi dalam menata adegan. Sementara itu, Guntur Soehardjanto terlihat kelimpungan untuk membuat penonton nyaman dalam menikmati aliran cerita yang menuntut masuknya begitu banyak hal dalam durasi dua jam. Ada berjejal-jejal tokoh yang harus dikembangkan, konflik yang diselesaikan, dan adegan krusial yang ditampilkan. Ada konflik Palestina-Israel , kepedihan atas raibnya Aisyah, kecurigaan terhadap Sabina, merawat perseteruan dengan Keira (Chelsea Islan), menjalin romantika dengan Hulya (Tatjana Saphira), lalu reuni dengan Aisyah di penghujung. Akhirnya, tak ada yang optimal penyampaiannya.
Masing-masing konflik seperti buru-buru harus diselesaikan. Polanya hampir selalu 1) muncul sosok yang memusuhi Fahri, 2) tindak antagonisme itu meruncing, 3) Fahri menunjukan kebaikan hati dan akhirnya sosok lawannya berubah keberpihakan. Semua tergesa, tertebak, dan tidak luwes. Ketika satu masalah muncul, kita sudah tahu itu akan berakhir cepat hanya untuk kemudian datang masalah baru. Yang paling terkebiri dari gerak “konflik-konflik eceran” ini adalah perkembangan emosi Fahri atas kehilangan Aisyah.
Tak kalah sering dikeluhkan, penggunaan bahasa di film ini pun membingungkan. Orang asing bicara dengan bahasa Indonesia, sementara orang Indonesia kadang bicara dengan bahasa Inggris. Tak ada pola pastinya. Kita jadi kesulitan mengikuti cerita karena latar belakang tiap tokoh tidak jelas, contohnya Hulusi (Pandji Pragiwaksono) diceritakan sebagai orang Turki padahal ia bermuka dan berbahasa Indonesia. Apalagi, penggunaan bahasa sejatinya adalah elemen penokohan juga. Misalnya, tokoh yang begitu gemar menggunakan bahasa asing biasanya punya watak tertentu (sok Inggris?), dibanding tokoh yang setia dengan bahasa ibunya. Itu harus dipetakan sejak awal agar penonton bisa menilai watak-watak tiap tokoh berdasarkan penggunaan bahasa. Jika logika itu silang selimpat, maka fungsi-fungsi tersebut tak akan terpenuhi.
ADVERTISEMENTS
Kesimpulannya, kesan mengada-ada dalam Ayat-Ayat Cinta 2 membuatnya diragukan mampu memberikan impak yang sama terhadap penonton seperti versi pertamanya
Sebagai penerus pucuk budaya populer islam di Indonesia, Ayat-Ayat Cinta 2 masih berhasil mendatangkan banyak penonton yang sebenarnya bukan penonton film. Film ini juga turut memberikan gambaran gaya hidup islami yang mutakhir, namun tak banyak yang kompatibel dengan penonton, seperti setelan baju Eropa hingga operasi muka. Begitu juga islamophobia yang justru bukan isu yang cukup relevan di masyarakat Indonesia di mana islam adalah mayoritas. Jika pun ada pengaruh, patut dikhawatirkan film ini malah melanggengkan persepsi kawula muda kita yang merasa beragam masalah bisa terselesaikan dengan “nikahi aku”. Waduh.
Menanggapi kritik (dan cemooh) dari penonton dan kritikus terkait sosok Fahri yang digambarkan terlalu sempurna di film ini, Habiburrahman El Shirazy mengatakan,”Lah kalau Fahri saja dianggap superman, dianggap manusia langka, lah generasi seperti apa yang kita harapkan?”
Yah, agaknya beliau menjadikan film ini sebagai idealisasi tentang islam yang diharapkan, bukan yang sesungguhnya terjadi. Sosok Fahri tidak diposisikan sebagai potret pemuda islam, melainkan teladan fiksi untuk pemuda islam.
Alhasil, jika niatnya ingin mencari dakwah, silakan tonton saja Ayat-Ayat Cinta 2. Kamu tak harus percaya bahwa apa yang ada di film ini memang benar-benar riil. Tak apa, mungkin ini bisa jadi contoh apa yang dinamakan hoax yang membangun.