Apa yang pertama terlintas tatkala mendengar nama Anggun biasanya adalah istilah “go international“. Maaf Agnes Monica, tapi seberapa pun sering kamu menggaungkannya, tak ada yang lebih paripurna melakukannya selain Anggun. Ia sudah merealisasikannya sebelum gadis-gadis remaja Asia memimpikan itu. Atau bahkan ia yang membuat mimpi itu terasa dekat bagi mereka. Sebut saja Agnes Monica, atau Utada Hikaru adalah sebagian gadis-gadis beruntung itu.
Memang Anggun harus menduakan kewarganegaraannya, beberapa mulut nyinyir tak tahu sejarah menambahkan “harus menikahi bule“. Tapi apapun strateginya, itu pilihan yang bijak. Ia justru lebih sanggup melakukan banyak hal untuk Indonesia lewat langkah-langkahnya itu.
Saya mulai menggemari Anggun sejak mendengar single pop dance “Crazy” di tahun 2008. Semenjaknya saya menelusuri karyanya ke belakang dan menemukan “Snow On The Sahara”, “Undress Me”, “A Rose In The Wind”, dan sebagainya.
Mulanya saya hanya tahu bahwa Anggun adalah seorang kelahiran Indonesia yang bermusik di Perancis. Butuh beberapa waktu sampai akhirnya saya sadar ia bukan hanya menjadi musikus di sana, tapi menjadi diva. Penyanyi besar yang dielu-elukan. Sekelas Krisdayanti di Indonesia. Ow~
Syahdan, belasan tahun berlalu, akhirnya saya mendapat tawaran untuk mendapatkan pengalaman menonton Anggun secara perdana lewat Prambanan Jazz 2019. Lumrah saja lantaran memang sudah bertahun-tahun ia tak mampir di Kota Pelajar ini.
Setelah menyimak sajian petang dari hari ketiga Prambanan Jazz 2019 itu, Ari Lasso (yang tampak kurang nyaman tampil jazz), Glenn Fredly, dan Bryan McKnight, saya berhasil menyaksikan secara langsung penampilan Anggun. Berikut beberapa catatannya:
ADVERTISEMENTS
Repertoar yang berorientasi fan service, memuaskan penonton
Awalnya saya mengkhawatirkan repertoar yang akan dibawakan Anggun, takutnya ia banyak membawakan lagu yang tak saya kenal. Pertama, saya memang belum pernah menontonnya. Kedua, saya tak mengikuti Toujours Un Ailleurs dan 8 selaku dua album terakhir Anggun. Ketiga, jangan-jangan ia memilih membawakan lagu-lagu yang hanya populer di Perancis? Voila, salah besar. Dari sebelas lagu yang ditampilkan, hanya dua lagu yang saya tidak familiar. Sembilan lainnya bisa saya nikmati dengan mudah.
Dimulai dari intro bernuansa sunda dari “Kembali” (sayang, bukan versi “A Rose In The Wind”), disusul “Promise Me” dan “Undress Me”. Beberapa lagu lain setelahnya, ia mengatakan bahwa tiap musisi sebagus apapun, butuh keberuntungan berupa “menemukan lagu yang tepat” agar bisa mendunia. “Lagu ini yang membawaku ke banyak negara”, ujarnya sebelum memperkenalkan intro “Snow On The Sahara”.
Only tell me that you still want me here
When you wander off out there
To those hills of dust and hard winds that blow
In that dry white ocean alone
Lagu inilah mahakarya Anggun. Sebuah nomor pop rock dengan sentuhan world music. Bebunyian eksotis di intro seperti mengingatkan kita akan sebuah tempat yang sangat jauh. Lalu suara Anggun bergaung menghantui. Bayangkan, “Snow On The Sahara” menjadi lagu paling sering diputar di Perancis pada tahun 1997.
Di antara seluruh lagu yang dibawakan, tak ketinggalan dua lagu yang melejitkannya ke skala nasional sebelum berpindah Tanah Air, yakni “Mimpi”, dan “Tua-Tua Keladi” sebagai penutup.
Kata katanya selangit
Tersenyum penuh misteri
Matanya membikin ngeri
Semua gadis gadis remaja
Anggun jelas tak lagi remaja, namun lagu itu tetap relevan mengingat banyak penonton malam itu adalah gadis-gadis cantik baru gede. Lebih kontekstual lagi, bahkan di depan saya ada seorang om-om yang beberapa kali mencuri goda seorang perempuan belia yang menjadi panitia di sebelahnya.
Mengaku bujangan
Kepada tiap wanita
Ternyata cucunya segudang
ADVERTISEMENTS
Di usianya yang sudah kepala empat, vokal Anggun masih prima
Jika kita mengulik capaian-capaiannya, termasuk fisiknya yang pernah berhasil membuatnya masuk urutan 18 di daftar Perempuan Terseksi Dunia versi FHM Perancis di tahun 2010, kita akan menemukan bahwa yang paling utama tetaplah bahwasanya Anggun punya suara yang luar biasa. Menggelegar dan anggun secara bersamaan, dalam tiga oktaf coltrano dan warna “husky“. Kita percaya bahwa posisinya sekarang sesuai pada kelasnya. Industri musik nasional terlalu sempit untuknya.
Dan malam itu suaranya ya seperti itu, sebagus itu. Dari lagu pertama “Kembali” yang memang mengandalkan chorus dengan vokal menghunjam langit. Sebagai bekas salah satu penyanyi rock Indonesia terbesar di awal dekade 1990-an, mungkin malam itu ia tampak lebih cocok bernyanyi di festival rock daripada festival jazz. Oh, tapi tak masalah.
ADVERTISEMENTS
Apapun yang ia lakukan di panggung, kita sih nurut saja
Ada yang lain bagi saya ketika menonton Anggun dibanding pengalaman menonton solois lokal sebelumnya. Anggun notabene adalah orang Indonesia, tapi juga artis internasional. Batin ini jadi dilema, mau memberikan ekspektasi terhadapnya sebagai artis luar atau artis dalam negeri.
Tapi mau kita menilainya sebagai artis internasional pun, prestasinya tetap luar biasa. Misalnya, ia tercatat sebagai artis Asia dengan penjualan album terbesar di luar Asia. Bahkan, ia orang Indonesia pertama yang sempat diabadikan dalam museum lilin terbesar Madame Tussauds–mendahului Soekarno, Jokowi, dan Rudy Hartono.
Atas segala reputasinya, kehadirannya malam itu seperti tak terbantahkan. Seakan ia punya hak untuk melakukan apapun dan tetap dihormati. Dan itu mungkin yang membuat ia sendiri selalu tampak tampil dengan amat percaya diri. Selain kostumnya yang buruk–seperti anggota Cherrybelle yang jelas tak sesuai dengan usianya, jauh dari gaun-gaun elegannya di konser-konser lain–semua dimaafkan.
Sejatinya, ia punya potensi menjadi penampil yang menyebalkan malam itu, contohnya dengan berulang kali mengatur-atur penonton. Sebelum lagu kedua, ia sempat mengatakan “kalau mau tepuk tangan itu harus menunggu lagunya selesai dulu ya, ingat.” Atau bagaimana cara ia meminta penonton berdiri di tiga lagu terakhir dengan enteng dan agak bossy. Ini mungkin bisa jadi mengesalkan jikalau dilakukan oleh Yura atau Danilla misalnya, tapi ketika Anggun yang bilang ya kita patuh saja. Ia sudah membuktikan apapun. Kebal.