Film Aruna dan Lidahnya garapan Edwin yang bertema kuliner Indonesia ini berhasil membawa beberapa unsur menarik, seperti masalah kehidupan, guyonan receh, hingga asmara yang sangat dekat dengan kita. Serta, keberhasilan Dian Sastro dan Nicholas Saputra yang keluar dari bayang-bayang karakter Cinta dan Rangga. Sebuah film lezat yang layak banget buat kamu santap!
Setelah beberapa waktu lalu warganet meramaikan unggahan Dian Sastrowardoyo yang tengah memasak nasi goreng terlalu gosong, rasanya sekarang warganet sudah cukup kenyang dengan menyantap film Aruna dan Lidahnya yang rilis Kamis (27/9) lalu. Bagaimana nggak kenyang, lha wong film ini dimeriahkan oleh beragam kuliner yang padat. Bisa dibilang, kuliner Indonesia adalah konsep utama cerita ini.
Nah, berbicara soal film komersil Edwin kedua setelah Posesif ini, sama seperti slogan lawas empat sehat lima sempurna. Dengan empat sebagai simbol komposisi film yang memuaskan, maka lima hal inilah yang bisa menyempurnakan seporsi film Aruna dan Lidahnya. Cekidot!
ADVERTISEMENTS
1. Bisnis akting yang apik, nggak ada Cinta dan Rangga dalam Dian Sastro dan Nicholas Saputra, chemistry antartokoh yang kuat
Hal pertama yang bikin orang tertarik dengan film ini tentu, barangkali, karena adanya Dian Sastro sebagai Aruna Rai dan Nicholas Saputra sebagai Bono. Kali ini mereka berdua sama sekali lepas dari karakter yang telah melekat dalam film Ada Apa dengan Cinta—tapi tetap nggak kehilangan chemistry di antara keduanya. Untuk Dian Sastro sendiri, Aruna merupakan karakter yang sangat berbeda dibandingkan semua film yang pernah dia mainkan.
Selain itu, chemistry antara Aruna dan Nadhezda (Hannah Al Rashid) pun begitu kuat, selayaknya dua sahabat cewek pada umumnya. Nggak lupa juga chemistry dengan karakter Farish (Oka Antara), rekan kerja yang pernah Aruna taksir.
ADVERTISEMENTS
2. Karakter para tokoh yang dirasa cukup untuk menguatkan ide cerita
Terlepas pertalian batin yang kuat antartokoh, karakter yang disajikan pun cukup untuk mengukuhkan ide cerita. Bagaimana Aruna menjadi narator dalam film juga menjadi penguat karakternya sendiri ketika dia nggak setuju dengan keadaan yang tengah dialaminya. Selain sebagai ahli wabah, Aruna yang berprinsip hidup untuk makan, juga konsisten dengan karakternya yang ‘gila’ makan bersama Bono yang juga berprofesi sebagai koki.
Sementara Nad selaras dengan karakternya yang high class dan ahli dalam urusan asmara. Dan pemicu rasa asam dan manis dalam film, Farish, juga berhasil menerbitkan karakternya sebagai sosok yang ‘ngeselin’ bagi Aruna.
Selain itu, film yang di produksi Palari Film ini juga memberikan penguatan karakter dari para tokohnya sendiri; dari penampilannya, gesturnya, hingga dialog-dialog sederhananya.
ADVERTISEMENTS
3. Adegan small talk yang relevan dengan kehidupan sehari-hari, drama dan konflik yang pas, hingga jokes yang mashoook~
Rasanya semua drama yang termaktub dalam film Aruna dan Lidahnya ini terbilang begitu natural, seperti kejadian yang bisa kita temui di kehidupan kita sehari-hari. Bahkan saya skeptis bahwa saya tengah berada di bioskop; seperti melihat tiga orang sahabat ngobrol di sebelah saya!
Chemistry yang terbangun di antara tiga sahabat, Aruna, Bono, dan Nad saat ngobrol, percakapan antara dua sahabat cewek soal pembalut dan kondom, konflik batin Aruna yang mengira Nad naksir Farish, Farish yang berkelindan dalam asmara dengan atasannya, Priya (Ayu Azhari), hingga guyonan receh para tokoh, kalau kata warganet, “Mashook, Pak Eko!” Yups, Titin Wattimena rupanya berhasil melahirkan hal-hal sederhana ini menjadi logis dan relevan.
ADVERTISEMENTS
4. Teknik pengambilan gambar yang mendetail dan efek suara yang ditampilkan, maknyus!
Hal lain yang juga menarik dalam film Aruna dan Lidahnya adalah teknik pengambilan gambar dengan nuansa soft (mengingat isu flu burung beredar kisaran tahun 2005). Belum lagi shoot makanan yang sangat detail, kuah yang dituang, bumbu yang ditebar, suara wajan, ekspresi para aktor ketika tengah menyantapnya, duh! Percaya deh, siapa pun kamu, jangan nonton film ini dengan keadaan perut kosong. Detail gambar yang ditampilkan bikin ngiler banget!
Scorring dan efek suara yang digunakan juga ngena. Bisa jadi, dari sinilah emosi penonton dipermainkan, selain dari dialog para tokoh yang beberapa bikin baper—senyum-senyum-salting gitu deh. Tapi soal musik, yang paling saya suka adalah ketika Bono dan Nad berdansa di sebuah kapal di Pamekasan, serta dialog antara Aruna dan Farish di pinggir jalan. Gemes! 😀
ADVERTISEMENTS
5. Karena film ini adaptasi lepas dari buku Laksmi Pamuntjak, akan makin sempurna kalau kamu baca juga bukunya
Nah, inilah yang bisa menjadi penyempurna terakhir seporsi film Aruna dan Lidahnya. Adalah menghabiskan buku karangan Laksmi Pamuntjak dengan judul yang sama, akan membuatmu semakin kenyang. Tapi jangan membandingan kedua karya beda medium ini, ya, sebab Edwin pun mengaku bahwa film garapannya kali ini merupakan adaptasi lepas dari buku tersebut.
Pada dasarnya memang nggak ada yang sempurna di dunia ini. Rasanya Edwin lupa menambahkan sedikit ‘merica’ dalam film Aruna dan Lidahnya. Isu flu unggas yang santer dibawa di awal film, pada akhirnya nggak terlihat begitu penting lagi, bahkan nggak ada sangkut-pautnya dengan kuliner yang memadati isi cerita. Bisa dibilang, kasus flu unggas ini hanya ‘pemanis’ dalam film dan menitikberatkan cerita pada kuliner dan asmara saja.
Secara keseluruhan, saya pribadi sangat merekomendasikan film Aruna dan Lidahnya ini. Ya, semoga ada lagi film serupa yang nggak kalah bikin kita ‘kenyang’!