Memiliki banyak sekali perguruan tinggi dan tempat menuntut ilmu untuk berbagai kalangan yang didukung oleh fasilitas yang tak kalah baik, hal itu membuat Jogja dikenal sebagai “Kota Pelajar”. Tak cukup itu saja, rekam jejak para lulusan yang pernah mengenyam pendidikan di kota ini tak jarang menjadi nama besar sebagai pemimpin. Tengok saja, mereka yang saat ini duduk di kursi pemerintahan, dari tingkat daerah hingga pemimpin negara, banyak dari mereka yang merupakan “produk pendidikan” asal Jogja.
Namun, di balik predikatnya sebagai “Kota Pelajar”, Jogja ternyata memiliki sisi gelap yang mungkin tak diketahui oleh sebagian orang. Maraknya fenomena pergaulan bebas menjadi warna yang kontra dengan titel yang disematkan dengan kota ini. Bagi yang telah mengetahuinya, tentu hal bukan hal yang menghebohkan lagi. Namun lain halnya untuk mereka yang kurang tahu menahu, hal ini tentu saja mengejutkan mengingat Jogja menjadi salah satu kota dengan tujuan menimba ilmu favorit oleh berbagai pendatang.
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
Bukan hal baru lagi, ternyata “budaya” semacam ini di Jogja telah menjadi fenomena yang besar sejak beberapa tahu lalu
Jika kamu mengira bahwa fenomena pergaulan bebas yang terjadi di Jogja merupakan hal yang baru, maka hal itu adalah salah. Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Pelatihan Bisnis dan Humaniora (LSCK PUSBIH) dalam laporannya yang dimuat di Kompasiana menyebutkan bahwa hampir 97,05 persen mahasiswi di Jogja pada tahun 2002 telah hilang keperawanannya ketika kuliah.
Hal itu membuktikan bahwa fenomena pergaulan bebas yang terjadi di Jogja memang telah ada sejak beberapa tahun silam. Fakta yang lebih mengejutkan lagi adalah pelaku dari hal tersebut didominasi oleh para mahasiswa dari berbagai kampus yang tersebar di Yogyakarta.
ADVERTISEMENTS
Dari derasnya arus mahasiswa pendatang hingga menjamurnya kos bebas di berbagai daerah di Yogyakarta
Maraknya fenomena pergaulan bebas yang terjadi di “Kota Pelajar” ini tentunya tak bisa dilepaskan dari berbagai faktor. Beberapa di antaranya adalah serbuan arus mahasiswa pendatang dari luar Jogja. Banyaknya pendatang yang didominasi usia muda membuat arus pergaulan di kota ini menjadi semakin bermacam-macam. Dengan adanya kampus-kampus besar di Yogyakarta, hal itu membuka lebar pintu kepada siapapun yang hendak menuntut ilmu di kota ini. Bahkan tak jarang juga dijumpai mahasiswa yang berasal dari luar Indonesia.
Hal itu juga didukung dengan keberadaan kos bebas. Tempat ini menjadi salah satu favorit yang dipilih oleh para mahasiswa untuk tinggal. Meskipun harganya memang sedikit mahal dibanding kos biasa, kos bebas mampu meberikan apa yang tak diberikan oleh kos biasa. Misalnya aja seperti diperbolehkannya lawan jenis untuk berkunjung hingga menginap dan tidak adanya aturan jam malam. Tapi, hal tersebut bukan berarti orang-0rang yang memilih untuk tinggal di kos bebas itu cuma ngincer esek-eseknya aja.
ADVERTISEMENTS
Fenomena tersebut bahkan telah dianggap wajar oleh para mahasiswa sendiri, kok bisa, ya?
“Temenku beberapa ada sih, kalau dibilang sedikit nggak juga. Lumayan lah jumlahnya. Mereka ini ada yang beberapa memang buka-bukaan kalau bisp*k (bisa pakai) tapi bayar. Ada juga yang kalau sama-sama mau gitu yaudah tinggal tidur bareng. Beberapa juga ada satu kos sama pacarnya sejak semester 1, pas semester 6 tau-tau udah hamil aja hahaha”, ungkap CT, seorang mahasiswi salah satu universitas negeri yang menceritakan beberapa kelakuan teman kampusnya.
Dengan menganggap wajar fenomena tersebut di kalangan mahasiswa, hal ini berarti membuktikan bahwa banyak mahasiswa sendiri yang tak menganggap bahwa fenomena ini merupakan sesuatu yang tak lagi tabu untuk dibicarakan. Beberapa mahasiswa dari berbagai universitas di Jogja dalam ngobrol ngalor-ngidulnya bersama Hipwee juga mengatakan hal ini,
“Aku tu sering banget dimintain temenku buat bantu nyari penginapan bebas yang harga mahasiswa gitu. Taulah aku mau buat ngapain, biasanya dapet kenalan kalau habis clubbing gitu sih”
AD, seorang mahasiswa kampus swasta yang saat ini menginjak semester 5 juga mengungkapkan pengalamannya ketika diminta tolong oleh temannya untuk mencarikan penginapan dengan harga mahasiswa untuk “bobok-bobok cantik bareng” sama kenalannya.
ADVERTISEMENTS
Pengakuan langsung dari mereka yang berprofesi sebagai “Ayam Kampus”
Istilah ayam kampus ternyata memang bukan hal yang tabu lagi di Jogja, terlebih bagi para mahasiswa. Julukan ini diberikan kepada mereka pekerja se*s komersial yang berasal dari kalangan mahasiswi. Dari beberapa keterangan yang kami peroleh, ayam kampus ini memang telah ada sejak beberapa tahun silam, namun pada awalnya melalui perantara. Namun saat ini, banyak mereka yang berprofesi sebagai ayam kampus bekerja secara individu. Tarifnya pun bermacam-macam.
“Aku sebenernya udah sejak semester 2 lalu sih kayak gini, awalnya karena gituan aja sama temen sendiri. Terus kok ngerasa ketagihan gitu, yaudah deh sekalian aja buat cari duit. Udah enak dapet duit lagi kan”, VL, seorang mahasiswi dari salah satu kampus swasta menjelaskan awal mula dirinya menjadi ayam kampus.
Memang, tidak bisa dipukul rata bahwa mereka yang berprofesi sebagai ayam kampus memiliki alasan yang sama dengan VL. Dua orang mahasiswi lain asal kampus negeri yang berinisial AN dan KH menceritakan perjalanan mereka menjadi ayam kampus karena memang keterpaksaan ekonomi dan seorang yatim piatu. Dari beberapa wawancara yang kami peroleh, mereka menjajakan dirinya seharga 500-2 juta rupiah untuk sekali main, tentunya dengan aturan yang mereka terapkan sendiri. Pelanggannya pun rata-rata juga didominasi oleh para mahasiswa.
ADVERTISEMENTS
Gampangnya untuk mencari akses jasa abo*si ilegal dari praktisi abal-abal hingga dokter betulan
Keberadaan jasa yang menawarkan proses ilegal ini tentunya merupakan faktor pendukung bagi fenomena pergaulan bebas. Pasalnya, mereka dapat dengan mudah mencari jasa-jasa tersebut di berbagai daerah di kota Jogja. VL juga sempat menjelaskan bahwa pada tahun 2017 lalu, ia pernah menggugurkan kandungannya yang berusia 3 bulan melalui jasa abo*si abal-abal. Dengan uang satu juta rupiah saja, ia mempertaruhkan nyawanya sendiri di tangan praktisi abo*si yang bahkan tak pernah mengenal ilmu kedokteran. Ia mengakui hal itu memang sangat berbahaya, namun untungnya selamat meski sempat pendarahan hebat.
Nggak perlu susah-susah sebenarnya untuk mencari jasa semacam itu. Bahkan di pinggir jalan, lampu lalu lintas, hingga gang-gang sempit kita dapat mudah menemukan selebaran “jasa abo*si” ini. Untuk yang mampu mengeluarkan uang lebih dan memperkecil risiko, VL juga menjelaskan jika ada seorang temannya yang pernah menggunakan jasa abo*si melalui dokter betulan.
Peringatan bagi orang tua yang hendak melepas anaknya untuk merantau dan menuntut ilmu di manapun. Sebab fenomena seperti ini tentunya memang berdampingan dekat dengan dunia anak muda di manapun
Pergaulan bebas di “Kota Pelajar” ini memang tak bisa digeneralisir bahwa semua mahasiswa berdekatan dengan dunia ini. Namun, tentunya ini menjadi sebuah peringatan bagi orang tua di luar sana yang hendak melepas anaknya untuk pergi ke kota lain. Mereka harus menyadari bahwa hal seperti ini memang selalu ada di manapun, bahkan di kota yang mendapat titel sebagai “Kota Pelajar” ini.
Ada baiknya penanaman tentang pendidikan sek* usia dini dan penerapan moral-moral yang berlaku di masyarakat dilakukan sejak dalam lingkup keluarga. Dengan begitu, mereka akan memiliki bekal yang cukup untuk diterjunkan pada pergaulan yang begitu majemuk seperti sekarang ini.
Namun, bukan berarti tulisan ini menghakimi kota Jogja sebagai kota yang amoral. Sebaliknya, kami mencoba menyampaikan sebuah realita bahwa kota yang sekalipun memiliki titel mulia ini tak lepas dari sisi gelapnya tentang fenomena pergaulan bebas.