Perfectly (Un)Matched chapter 6 by Desy Miladiana | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Hidup memang tak bisa ditebak. Sara dan Sagara memang saling jatuh cinta, tetapi selanjutnya apa? Siapakah yang pada akhirnya bersanding dengan Sara di pelaminan, apakah si jodoh lama atau justru jodoh baru?
***
Serba putih, itu yang pertama kali Sara temukan saat menatap pantulan dirinya di cermin. Gaun pernikahannya, buket bunga mawar yang dia genggam, tudung yang menjepit rambutnya yang sudah ditata sebaik dan secantik mungkin, bahkan dekorasi ruangan ini pun semua serba putih padahal hanya digunakan untuknya merias dan menunggu waktu.
Sara mendesah panjang. Tidak menyangka bahwa dirinya akan menikah beberapa menit lagi. Dulu, dia berpikir bahwa dia menikah saat 30 tahunan atau mungkin sudah benar-benar lepas dari kontrol sang Papa. Ternyata Tuhan lebih cepat membawanya ke titik ini, 27 tahun.
Ketukan di pintu mengalihkan perhatian Sara. Tak lama seorang wanita dengan seragam milik wedding organizer yang dia sewa muncul. Dia berkata, “Mbak Sara, sudah saatnya untuk menuju altar. Sepuluh menit lagi pernikahannya dimulai.”
Informasi itu mau tak mau membuat Sara memasang kembali senyumannya. Kepalanya mengangguk, sebelum akhirnya lambat-lambat mengikuti tim WO membawanya. Dia sendirian menuju pintu masuk sebuah ballroom hotel, di sana semua orang berada sekarang; orangtuanya, orang tua calonnya, teman-temannya, dan terpenting adalah calon suaminya.
Sudah saatnya, batin Sara begitu berdiri di depan pintu masuk ballroom. Namun, sebelum pintu itu terbuka, pikiran wanita itu melayang sesaat, memutar kolase memori dua tahun silam. Semuanya terasa lucu, mulai dari awal bagaimana dua tahun ini bisa berjalan dan berakhir di titik ini, pernikahan. Dan yang paling lucu, tentu fakta tentang siapa pria yang akan dinikahinya saat ini.
Sebelum menuruni mobil, Sagara sengaja mengirimkan pesan pada Sara. Mengatakan pada kekasihnya bahwa dia sudah berada di rumah wanita itu. Ada martabak telor kesukaan Rudi yang siap diberikan. Sayangnya, terkhusus hari ini, dia harus menghadapi papa Sara itu seorang diri karena Sara harus lembur di kantor.
Kekacauan dalam hubungan mereka disebabkan sikap kekanakan keduanya dan itulah yang menjadikan Rudi susah memaafkan Sagara. Akhirnya, setelah mencari-cari jalan keluar, baik dirinya dan Sara mencoba untuk menghadapi masalah restu ini secara dewasa. Minta maaf iya, sekarang adalah waktunya untuk menunjukkan keseriusan Sagara terhadap Sara.
Hampir setiap hari Sagara datang untuk mengantar Sara pulang. Kemudian, menyapa Rudi sambil membawakan sesuatu; makanan, barang yang pria itu butuhkan, atau sekadar basa-basi bisnis yang untungnya memiliki bidang yang sama. Meski sampai detik ini Rudi masih kukuh menjodohkan Sara dengan pria lain, mereka merasa sifat papa Sara mulai melunak.
Begitu pesannya pada Sara terkirim, Sagara bergegas turun. Diketuknya pintu rumah dan sesuai dugaan, Rudi yang menyambut. Pria itu mengernyitkan kening. “Mana Sara? Kok kamu sendirian?”
“Sara lagi lembur, Om, tapi nanti saya tetap jemput kok.” Sagara menyodorkan martabak telor pada Rudi. “Saya ke sini hanya mau mengantarkan martabak telor ini aja, Om. Kemarin Sara bilang kalau, Om, ingin makan ini. Jadi, saya bawakan dulu, setelahnya saya berangkat jemput Sara.”
“Terima kasih,” jawab Rudi seraya mengambil alih martabak telor yang Sagara sodorkan. “Sagara, saya tahu maksud kamu setiap harinya, tapi kamu tahu kan kalau saya sudah menjodohkan Sara dengan pria lain?”
“Saya tahu, Om, tapi saya nggak akan menyerah untuk mempertahankan Sara di sisi saya dan mendapatkan restu Om.”
Rudi membuka mulut, hendak bersuara. Namun, deringan ponsel yang berasal dari Sagara menghentikan obrolan keduanya.
Buru-buru Sagara meminta izin untuk mengangkat telepon. Kening pria itu berkerut saat menemukan nama Sara di sana. “Sara,” panggilnya. “Kamu tenang aja, aku—”
“Maaf, Mas, mbak yang punya ponsel ini barusan keserempet motor dan sekarang akan dilarikan ke rumah sakit terdekat.”
Informasi yang Sagara dengar seperti petir yang menyambarnya di tempat. Napas pria itu bahkan tertahan sesaat. Ketakutan dan kekhawatiran merambat merayapi dirinya. Sara.
Sayangnya, dia harus segera mengumpulkan kembali sisa kesadarannya. Suara Sagara sedikit bergetar saat menanyakan detail kecelakaan Sara, berikut informasi terkait ke mana dia bisa mendatangi kekasihnya itu.
“Om,” panggil Sagara setelah panggilan berakhir. “Om, harus ikut saya sekarang. Sara … masuk rumah sakit.”
***
Rasanya perjalanan menuju rumah sakit seperti mimpi buruk. Mobil yang berisi dua orang hanya diisi keheningan. Bahkan, saat sampai di rumah sakit pun, langkah Sagara seperti melayang. Otaknya kosong. Jiwanya juga seperti hilang karena tubuhnya bergerak tanpa kesadaran penuh darinya.
Sesampainya di UGD, ada beberapa bilik dengan ranjang kosong di sana. Sagara celingukan dengan kepanikan yang nyata dalam sorot matanya. Sampai akhirnya, di bilik paling sudut, Sara berhasil ditemukan. Kekasihnya itu tengah duduk bersandar di kepala ranjang. Tangan kirinya penuh perban, beberapa bekas luka di area bibir, dan juga pipi.
“Sara,” panggil Sagara.
Perlahan Sagara mendekat. Didudukinya sisi ranjang seraya meraih tangan Sara yang terlihat baik-baik saja untuk pria itu genggam. Suara pria itu bergetar saat berbicara, “Kamu bikin aku jantungan, Sar. Kok bisa keserempet sampai kayak gini sih?”
Sara meringis. “Tadi niatnya mau beli makan di warung seberang kantor, Sag. Terus waktu menyebrang, tiba-tiba ada motor yang nyerempet. Karena posisiku jatuhku nggak bagus, jadilah luka-luka di tangan dan wajah. Sag, aku jelek ya, banyak bekas lukanya?”
Buru-buru Sagara menggeleng. Diusapnya lambat-lambat wajah Sara, lalu berkata, “Kamu masih cantik banget, Sar, serius deh.”
“Bahkan kalau bekas luka ini bertambah dan wajahku penuh keriput, apa aku masih cantik?”
Sagara mengangguk menjawab pertanyaan Sara. “Tapi, aku berharap nggak ada bekas luka tambahan di wajah kamu, Sara. Aku nggak mau merasakan separuh jiwaku melayang kayak tadi gara-gara dengar kamu kecelakaan. Kalau keriput nggak apa-apa, bengkak juga nggak apa-apa. Lagi pula kamu tetap cantik, kok.”
“Gombalan lo basi!” Sara mendengkus geli. Kemudian, memamerkan senyum lebarnya. “Tapi, terima kasih, Sag.”
Suara dehaman keras mengembalikan mereka ke dunia. Keduanya sontak menoleh. Seketika Sagara meringis menemukan Rudi berdiri di dekat mereka. Jujur saja, kepanikan tadi membuatnya benar-benar lupa akan kehadiran papa Sara.
“Sagara, boleh kamu keluar dulu? Saya mau bicara sama Sara berdua.”
Sagara mengangguk. Diremasnya tangan Sara sesaat, sebelum beranjak dari bilik UGD. Pria itu meminta izin untuk menuju kafetaria dan membelikan sesuatu untuk Sara dan juga Rudi.
Saat kembali dari kafetaria, Sagara menenteng beberapa roti cokelat kesukaan Sara dan juga segelas teh untuk Rudi. Saat akan masuk UGD, langkah pria itu terhenti. Dia tertarik menemukan Rudi duduk di kursi tunggu depan UGD.
“Om,” panggil Sagara seraya menyerahkan tehnya. “Saya sengaja nggak beliin kopi karena sudah malam, jadi saya belikan teh hangat manis.”
Rudi mengangguk sambil menerima tehnya. “Terima kasih. Bisa kita bicara sebentar, Sagara?”
Sagara mengangguk lambat-lambat, lalu menduduki sisi Rudi yang kosong.
“Kamu benar-benar mencintai Sara?” todong Rudi.
Tanpa ragu Sagara menjawab, “Iya, Om.”
“Lalu, kenapa kamu nggak mau menikahi Sara?”
Pertanyaan Rudi sukses membuat Sagara terkejut. Buru-buru pria itu menggeleng untuk menjawab apa yang ada di kepalanya, “Saya bukan tidak mau menikahi Sara, Om, tapi sekarang belum saatnya kami menikah. Sara masih punya karier yang ingin dia bangun, sementara saya punya banyak target dalam pekerjaan. Kami memiliki impian yang ingin kami kejar. Itulah mengapa saya dan Sara memilih untuk berpacaran lebih dulu, memberi label lebih untuk hubungan kami sebelum melanjutkan ke jenjang yang lebih serius nantinya. Kami berdua sama-sama sadar bahwa menikah itu butuh lebih dari sekadar keinginan, tapi juga komitmen jangka panjang yang tidak bisa diganggu gugat. Jadi, kami memilih untuk nggak terburu-buru dan sama-sama menyiapkan diri sendiri menjadi versi terbaik sebelum melangkah ke altar pernikahan.”
“Terus, apa yang bisa kamu janjikan kepada saya agar kamu tidak meninggalkan anak saya di kemudian hari, Sagara?”
“Jujur untuk itu saya nggak bisa janji apa-apa ke, Om.” Sagara mencoba tetap tegas berkata, sekalipun jantungnya berdebar hebat. “Saya nggak bisa janji bukan karena saya berpikiran untuk mencari wanita lain, Om. Saya hanya mengkhawatirkan kematian. Bagaimanapun saya sudah berjanji untuk tinggal, tapi kalau sudah urusan dengan Tuhan, saya nggak bisa berbuat apa-apa. Jadi, saya hanya bisa memberi janji untuk tetap bersama dengan Sara seumur hidup saya dan cara saya membuktikan janji itu hanyalah meminta Om Rudi untuk memberi saya kesempatan satu kali lagi bersama Sara. Saya ingin membuktikan bahwa saya serius dengan Sara. Saya ingin kami berdua bersama saat berada di puncak keberhasilan kami nantinya.”
Rudi mendesah panjang. “Jawaban kamu memang tidak terlalu memuaskan, Sagara, tapi saya tahu kamu nggak mau memberi janji kosong. Baiklah, saya memberikan kalian restu dan kesempatan terakhir kali untuk kamu. Tolong jangan kecewakan Sara atau kamu akan berurusan dengan saya.”
Senyum di wajah Sagara mengembang lebar. Pria itu mengucapkan terima kasih sambil menganggukkan kepala berkali-kali.
Bergegas dia minta izin Rudi untuk bertemu Sara. Dia ingin mengatakan kabar bahagianya dengan sang kekasih. Namun, saat di sana, wanitanya itu juga sedang menatapnya dengan senyuman sama lebarnya. Perlahan Sagara mendekat, lalu meraih Sara ke dalam pelukannya.
Meskipun ini baru awal mula hubungan mereka, Sagara benar-benar yakin bahwa wanita dalam dekapannya ini adalah kekasih selamanya.
***
Suara pintu terbuka mengembalikan Sara ke dunia. Senyumnya kembali terpasang, kali ini gugup mulai ikut serta. Perlahan dia berjalan memasuki ballroom yang sudah disulap secantik mungkin. Semua serba putih, sesuai dengan keinginannya.
Rudi mendekat. Diraihnya tangan Sara untuk dililitkan ke lengan pria itu. Begitu dentingan piano canon in D mayor terdengar, perlahan keduanya berjalan di lorong menuju altar di ujung.
“Bahagia dengan pilihanmu, Sayang,” bisik Rudi sebelum akhirnya menyerahkan tangan Sara pada pria yang akan wanita itu nikahi. Papanya kembali bersuara, “Sagara, jaga putri saya satu-satunya.”
Benar, Sara akhirnya menikah dengan Sagara. Pria yang diajak kerja sama untuk mengacaukan perjodohan, kemudian malah berakhir berusaha keras mengembalikan perjodohan mereka seperti sedia kala. Jelas hal itu tidak mudah, karena saat itu Sara telah dijodohkan dengan Alaska.
Rudi yang telah merestui hubungannya dengan Sagara, segera membatalkan perjodohannya dengan Alaska. Awalnya, kedua orangtua Alaska marah besar, bahkan kecewa dengan sikap plinplan papanya itu. Namun, Alaska malah dengan ikhlas menerima pembatalan perjodohannya dengan Sara. Bahkan, pria itu sudah menikah lebih dulu beberapa bulan yang lalu.
“Sara,” bisik Sagara seraya meraih tangan Sara dalam genggamannya. Perlahan pria itu menuntunnya berdiri berhadapan di altar. “Kamu cantik sekali hari ini.”
Jawaban Sara hanyalah senyuman.
Pastur mulai berbicara, kemudian meminta keduanya membacakan sumpah mereka masing-masing. Sara dan Sagara berdiri berhadapan. Mata keduanya bersirobok di udara.
“Sara,” panggil Sagara, memulai sumpahnya lebih dulu di depan Tuhan dan semua orang di sekitar. “Jujur, aku sudah menyiapkan semua kata-kata di kepala, tapi saat melihat kamu–mata kamu, semuanya seperti hilang begitu saja. Selama dua tahun bersama kamu, segala hal selayaknya sihir. Terlalu banyak kebahagiaan karena saat kesedihan datang dan ada kamu di sampingku, kesedihan itu cepat pergi. Aku pernah berkata targetku menikah masih sangat lama, 10 tahun lagi, tapi ternyata kamu bikin aku yakin begitu cepat. Di sini aku, Sagara Adhitama, memilihmu Sarayu Wijaya sebagai istriku, sahabatku dalam suka dan duka, sehat dan sakit, kaya ataupun miskin, hingga maut memisahkan.”
Air mata Sara menitik. Bahkan suara wanita itu bergetar saat menyampaikan sumpahnya sendiri. “Aku merasakan hal yang sama saat bersama kamu, Sagara. Bersama kamu adalah definisi bahagiaku. Kamu tidak pernah mengeluh dengan segala sifat kekanakanku yang kadang menyebalkan. Sedang menarik tanganku untuk bangkit saat aku merasa jatuh. Dan tanpa kamu, aku nggak bisa membayangkan aku akan bisa sehebat sekarang. Tanpa kamu, aku nggak bisa membayangkan bagaimana caraku menghadapi hidup. Jadi, aku, Sarayu Wijaya, memilihmu Sagara Adhitama, untuk menjadi suamiku, sahabatku dalam suka dan duka, sehat dan sakit, kaya ataupun miskin, hingga maut memisahkan.”
Begitu Pastur menyatakan bahwa Sara dan Sagara telah resmi menjadi suami istri di mata Tuhan, keduanya langsung berpelukan erat. Sebelum akhirnya, Sagara mencium Sara.
“Aku mencintaimu,” bisik keduanya lirih. Dengan senyuman di wajah masing-masing setelah ciuman pertama mereka pasca menikah.
Sara dan Sagara di depan altar | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Keduanya tidak pernah menyangka mereka akan berakhir bersama. Bagaimana tidak, mereka pernah bekerja sama untuk mengacaukan perjodohan mereka dulu. Namun ternyata, waktu yang mereka lalui bersama mampu menghilangkan perasaan ragu dan akhirnya keduanya percaya bahwa mereka adalah jodoh yang sempurna.