Perfectly (Un)matched chapter 5 by Desy Miladiana | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Menyadari telah membuat onar di masa lalu, Sara dan Sagara sepakat untuk menemui orangtua masing-masing dan meminta maaf serta restu. Akankah mereka mendapatkannya, setelah sebelumnya mereka mempermalukan keluarga?
***
Berkat telepon Sara pagi itu, Sagara langsung bergerak cepat. Pria itu berinisiatif untuk mendatangi orangtua masing-masing untuk kemudian meminta maaf. Terakhir, tentu saja mengumumkan hubungan mereka sekaligus meminta restu untuk berpacaran lebih dulu, bukan langsung menikah.
Karena Rudi sudah menolak di awal, Sagara memutuskan untuk menemui orangtua pria itu lebih dulu. Ketika Sara sudah mendapatkan restu papa dan terutama mama Sagara, barulah mereka berhadapan dengan Rudi.
“Sag, Sag, kita … tunda aja, ya?” Tahu-tahu Sara menyentuh lengan Sagara, meminta pria itu menghentikan mobil. Karena jujur saja, dia tidak siap berhadapan dengan Lidya. Kelakuannya beberapa bulan yang lalu pasti membuat mama Sagara jijik padanya.
“Sara, kita udah sepakat, kan?”
“Takut, Sag,” aku Sara. Ekspresinya berubah sedih. “Sikapku dulu ke Mama kamu pasti membekas. Gimana kalau aku datang dan langsung diusir atau Mama kamu merasa alergi sama aku, berpikir aku jorok dan membawa kuman, bakteri, atau bahkan virus?”
Tangan Sagara dengan segera meraih tangan Sara, lalu meremasnya kuat. Sebelum akhirnya, memberi kecupan di punggung tangan Sara. “Ada aku, Sarayu. Aku selalu bisa jadi tamengmu di mana pun dan kapan pun. Terpenting kamu datang menemui Mama dengan niat tulus, pasti beliau paham kelakuan ajaib kita dulu. Lagi pula aku pasti akan belain kamu mati-matian, Sara. Jangan takut, ya.”
Cara Sagara menenangkannya sukses mengembalikan kepercayaan dirinya. Pada akhirnya, wanita itu mengangguk lambat-lambat.
Mobil pun melaju semakin kencang. Tahu-tahu saja mereka sampai di rumah Sagara. Masih dengan kekhawatiran yang kental, Sara memasuki rumah Sagara. Untungnya pria itu terus menggenggam tangannya sambil membawanya menuju ke sisi belakang rumah.
Saat pintu belakang terbuka, sebuah taman luas dengan kolam renang membentang. Di sisi kanan sebuah area santai semi outdoor terlihat. Ada Lidya di sana. Sendirian membaca sebuah buku di tangan sambil menikmati segelas es jeruk serta ditemani angin sepoi-sepoi.
“Ma,” panggil Sagara.
Lidya mendongak. Tatapan wanita itu langsung bersirobok pandang dengan Sara. Senyum kaku terpasang di wajah mama Sagara. “Sara?”
“Tante, siang,” sapa Sara. Wanita itu meringis seraya menduduki sofa di seberang Lidya dengan Sagara di sampingnya. “Maaf saya datang tanpa memberi kabar lebih dulu.”
Lidya mengangguk. Perhatiannya beralih pada tangan Sagara yang terus menggenggam tangan Sara. Ada ekspresi penasaran, tapi beliau memilih menahan diri untuk tidak menanyakan hal berbeda, “Sara, ada apa ke sini siang-siang?”
“Tante, saya mau minta maaf.” Sara menarik tangannya, lalu menyatukannya dengan tangannya yang lain. Kepalanya menunduk dalam-dalam, sebelum kembali melanjutkan ucapannya sambil menatap Lidya. “Beberapa bulan yang lalu saat saya dan Sagara masih dijodohkan, saya tahu kelakuan saya buruk dan jahat sekali sama Tante. Maaf karena saya membuat Tante jijik dengan sikap jorok saya ataupun kesal karena saya membawa makanan yang paling Tante benci di dunia. Jujur, Tante, waktu itu saya nggak tahu bagaimana lagi bikin kalian membatalkan perjodohan kami, jadi sikap buruk itu yang muncul di kepala saya. Sekali lagi saya minta maaf.”
Sekali lagi Sara menundukkan badan dalam-dalam. Jantungnya berdebar bukan main. Dia berharap dimaafkan dan kalau bisa diberi restu sesuai keinginannya dan Sagara.
Sara menemui mama Sagara | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Sara, saya tahu kamu sengaja melakukan itu dulu.” Lidya mendengkus geli. “Sebenarnya saya sempat kesal karena sikap kamu sukses bikin saya ilfeel, tapi Mama kamu secara khusus meminta maaf setelah makan malam kacau itu. Setelahnya, Tante paham bahwa kamu sengaja melakukan itu karena ya … itu cara kamu memberontak. Lagi pula gara-gara kamu, Tante jadi sadar bahwa dijodohkan itu nggak enak, ya? Coba kamu mencintai calon pasanganmu, pasti kamu akan bersikap sebaik mungkin dan juga tersenyum bahagia di acara pertemuan keluarga.”
“Tan, terima kasih,” ucap Sara. Terharu dengan ucapan Lidya yang di luar ekspektasinya. “Tapi, saya tetap meminta maaf.”
Sara mengangguk cepat. Air matanya sampai menitik haru karena kebaikan Lidya.
“Ma.” Panggilan Sagara memecahkan keheningan. Lidya beralih pada sang putra, memasang tatapan bertanya. “Keberadaanku di sini sama Sara juga mau kasih kabar kalau kami sedang berpacaran sekarang.”
Mata Lidya melebar. “Bukannya kalian nggak suka satu sama lain, makanya bikin onar waktu itu?”
“Ma, bukan nggak suka satu sama lain, tapi kami bikin onar biar nggak dijodohkan dan diburu-buru menikah sama orang yang nggak dikenal,” jelas Sagara. Pria itu kembali menggenggam tangan Sara, lalu meremasnya kuat. “Kedekatan kami sekarang juga tahu-tahu saja terjadi. Setelah saling benar-benar mengenal satu sama lain ternyata kami berdua cocok sebagai pasangan. Kalaupun kami dijodohkan kembali, baik aku dan Sara belum ingin menikah dulu dalam waktu dekat. Jadi, kami minta restu Mama.”
“Sara,” panggil Lidya yang dibalas gumaman Sara. “Kamu nggak akan bawain saya pete dan jengkol lagi kan kalau saya merestui kalian?”
Sara buru-buru menggeleng.
“Nggak akan kentut sembarangan ataupun makan dengan tangan, kecuali memang makanan itu diharuskan menggunakan tangan?”
“Tante, saya berjanji untuk tidak melakukan hal gila lagi di depan Tante. Karena jujur saja, saya … nggak segila itu.”
Lidya termenung sesaat, sampai akhirnya wanita itu mengangguk dengan senyum kecil di wajahnya. “Kalau begitu Tante merestui kalian. Pada akhirnya yang terpenting adalah kebahagiaan anak-anak, kan? Jadi, kalau kalian bahagia dengan hubungan kalian ini, maka Tante juga ikut berbahagia.”
Sekali lagi Sara menitikan air mata. Gumaman terima kasih terus dia rapalkan pada Lidya. Kemudian, kepalanya menoleh pada Sagara. Pria itu memamerkan senyumnya, menjadikan wanita itu ikut tersenyum sama lebarnya.
Hingga remasan pelan Sagara seolah menyentak Sara. Tugas pertama mereka baru saja selesai, tapi masih ada tugas kedua yang wajib dia selesaikan, restu Rudi.
***
Tanpa menunggu nanti apalagi keesokan hari, Sara dan Sagara langsung berangkat menuju rumah Sara. Tujuan mereka meminta restu Rudi harus segera tercapai, bagaimanapun caranya.
“Sar, gimana kalau Papa kamu serius jodohin kamu sama orang lain?”
Pertanyaan barusan membuat Sara menoleh. Tangan wanita itu mengusap jari-jari Sagara yang mencengkeram kuat kemudi. “Papa hanya menggertak, Sag. Jadi, kamu tenang aja, ya.”
“Tapi kalau yang terburuk itu terjadi gimana, Sar?” Sagara mendesah panjang. “Firasatku jelek banget.”
Untuk sesaat Sara termenung mendengar ucapan Sagara. Sejujurnya, dia memiliki pikirannya sendiri apabila hal terburuk itu terjadi. Namun, wanita itu malah balik bertanya untuk mencari tahu pandangan sang kekasih. “Kalau kamu sendiri, kira-kira apa yang akan kamu lakukan kalau Papa benar-benar menjodohkanku dengan pria lain?”
Bukannya langsung menjawab, Sagara malah diam seribu bahasa selama perjalanan. Hingga mobil yang mereka kendarai berhenti di carport rumah Sara, pria itu mulai bersuara, “Kita pernah menggagalkan perjodohan kita, Sar. Kalau kamu dijodohkan dengan orang lain, maka aku bersedia menghancurkan perjodohanmu sekali lagi.”
Seketika senyum geli Sara mengembang lebar. Pikirannya dan Sagara sama persis. Refleks, wanita itu memeluk Sagara. Berkata lirih bahwa dia akan memperjuangkan apa yang mereka miliki saat ini. Keduanya pernah berpisah, lalu ketika sekarang bersama, mereka tak mau berpisah untuk kedua kalinya.
Setelahnya, Sara dan Sagara turun dari mobil. Wanita itu berdiri paling depan sambil memegang erat tangan sang kekasih saat memasuki rumah. Namun, pintu baru terbuka, Sara terkejut menemukan Rudi duduk di ruang tamu ditemani tabletnya. Biasanya papanya itu lebih suka menghabiskan hari di kamar atau ruang kerjanya, bukan di sini.
“Pa,” panggil Sara sedikit berbisik.
“Sara,” balas Rudi dengan kening berkerut. Perhatiannya tak lama beralih pada Sagara, kemudian tangan Sara dan Sagara yang saling bertaut. “Sagara.”
“Om, sore.” Sagara menyunggingkan senyum. “Maaf saya mampir tanpa mengabari lebih dulu.”
Rudi mengangguk lambat-lambat. Kemudian, mempersilakan Sagara untuk duduk dengan Sara di sampingnya. Kini gilirannya yang menjadi tameng untuk sang kekasih di depan papanya.
“Nak Sagara, kalau saya boleh menebak, kedatangan kamu sore ini karena ada maksud tertentu?”
Sagara menemui papa Sara | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Sagara mengangguk. Pria itu menunduk dalam-dalam, lalu berkata dengan sangat hormat, “Om Rudi, saya ingin minta maaf yang sebesar-besarnya atas kelakuan saya beberapa bulan yang lalu. Sikap saya yang tidak sopan di rumah, apalagi di restoran. Om, saya tidak seperti yang Om pikirkan selama ini, saya berani bersumpah?”
Rudi mendengkus. “Memang apa yang saya pikirkan tentang kamu, Sagara?”
“Saya bukan seorang playboy apalagi Raja Minyak, Om.” Sagara menggeleng kuat-kuat. Tatapannya lurus pada Rudi dengan suara tegasnya. “Saya orang setia, Om. Hanya pernah berkencan sekali saat kuliah dan sudah berakhir lama sekali. Sekarang di sekeliling saya hanya teman-teman laki-laki dan Sara saja. Sikap saya waktu itu murni karena saya ingin lepas dari perjodohan, tidak bermaksud apa-apa selain itu.”
Terdengar helaan napas panjang dari Rudi. Entah mengapa firasat buruk Sagara semakin menjadi-jadi. “Sagara, saya sangat bersyukur kalau kamu memang sebenarnya lelaki setia. Hanya saja saya tetap kecewa. Sikap kamu terlalu kekanakan untuk seorang calon penerus perusahaan besar dan juga seorang pria 25 tahun. Kelakuan kamu dan Sara malam itu membuat malu dua keluarga.”
“Tolong, Om, saya minta satu lagi kesempatan. Saya janji tidak akan bersikap sembarangan seperti malam itu,” pinta Sagara. Ada kepanikan dalam nada suaranya.
“Sagara, saya bisa beri kamu maaf, lagi pula saya juga sudah memaafkan sikap kamu malam itu.” Rudi menggelengkan kepala. “Tapi kenapa saya harus kasih kamu kesempatan lagi? Kan keinginan kalian terpenuhi, perjodohan kamu dan Sara sudah berakhir.”
Tiba-tiba saja Sagara meraih tangan Sara. Menautkan jari-jari mereka di udara, kemudian berkata dengan tegas, “Saya dan Sara sedang menjalin hubungan serius, Om. Mungkin belum ke pernikahan, tapi kami berdua tidak berniat untuk kembali mencari orang lain. Di sini, saya minta kesempatan lagi kepada Om Rudi bahwa saya bisa mencintai Sara sebaik-baiknya dan juga setia.”
Rudi sudah siap membuka mulut, tapi suara bel pintu yang bergema mengalihkan semua orang. Papa Sara itu langsung beranjak dari duduknya, kemudian membuka pintu. Seorang pria bertubuh tinggi dengan rambut cepak berdiri di ambang pintu. Pakaiannya rapi dengan senyum canggung yang dipamerkan.
“Sagara, Sara,” panggil Rudi seraya merangkul pria itu. “Perkenalkan ini Alaska, pria yang Om jodohkan dengan Sara.”
Papa Sara memperkenalkan pria lain | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Sagara sontak menggenggam tangan Sara begitu erat, begitu pula sebaliknya. Wanita itu semakin marah dan kesal sekarang. Omelannya pagi tadi seperti diabaikan oleh sang Papa. Pernikahan wanita itu seperti sebuah permainan simulasi dengan Rudi yang merancangnya.
Namun yang paling menyedihkan, dia dan Sagara belum genap 24 jam bersama, tapi mereka harus kembali dipaksa berpisah. Sara tidak mau!