Perfectly (Un)Matched chapter 2 by Desy Miladiana | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Misi berhasil dijalankan, perjodohan pun dibatalkan. Kini Sara dan Saga sama-sama merayakan kebebasan. Namun, sebenarnya apa sih alasan keduanya begitu keras menolak rencana perjodohan, padahal keduanya cocok satu sama lain?
***
“Cheers.”
Sara dan Sagara mengangkat kedua gelas mereka tinggi-tinggi, lalu mendentingkannya di udara. Mereka melempar senyum lebar penuh makna di wajah masing-masing. Tak lama, tawa keduanya pecah.
Perjodohan mereka baru saja dibatalkan, bukannya sedih, keduanya malah membuat perayaan. Bahkan, keduanya dengan sengaja cuti di hari Senin agar bisa menikmati pesta kecil mereka di kafe secara bebas dan tanpa keributan pelanggan lain.
“Sar, lo utang cerita mengenai siang itu, waktu ke rumah gue buat ketemu nyokap gue secara pribadi.”
Ucapan Sagara membuat Sara terdiam sejenak. Tak lama, tawa wanita itu berkumandang. Kisah siang itu berputar pelan dari mulut Sara di sela-sela tawanya yang mati-matian dia hentikan.
[Jakarta, rumah Sagara beberapa minggu sebelumnya]
From: Sagara Feeling gue nggak enak. Kenapa lo tanya makanan yang nggak disukai yyokap gue, Sara?
Sara mengabaikan pesan Sagara. Kemudian ia menaruh ponsel itu dalam-dalam ke tas tangannya. Untuk seorang calon menantu, lumrahnya dia bertanya makanan kesukaan calon mertuanya, tetapi Sara justru bertanya sebaliknya. Alasannya, karena memang makanan itu yang sengaja Sara bawa demi membuat calon mertua membencinya.
Begitu mobil terparkir di semi carport rumah Sagara, bergegas wanita itu turun. Tidak lupa menenteng sebuah paper bag berisikan bom, karena sekali dibuka, maka akan ada seseorang yang berteriak atau paling tidak memasang ekspresi jijik yang sangat Sara ingin lihat.
Dengan penuh keyakinan dan kepala terangkat tinggi, Sara berjalan menuju pintu masuk. Menekan bel rumah beberapa kali, sebelum pintu akhirnya terbuka. Ketika menemukan sang calon suami yang menyambut, Sara menyunggingkan senyum miring.
“Oh, halo, calon suami,” goda Sara sambil melambaikan tangan. “Calon mama mertua ada?”
Mata Sagara menyipit. “Perasaan gue nggak enak, Sar. Jangan bikin nyokap gue jantungan lho, ya!”
“Siap, Bos!” balas Sara sambil bersikap layaknya tentara yang hormat pada atasannya.
Tanpa basa-basi, Sagara langsung membawa Sara masuk ke rumah. Berjalan lambat-lambat menuju dapur, tempat terakhir kali pria itu melihat sang mama. Dan benar saja, Lidya tampak sedang memanggang sesuatu di oven.
“Ma, Sara,” teriak Sagara yang hanya dibalas iya oleh Lidya. Perhatian pria itu kembali pada Sara. Suaranya pelan agar hanya mereka yang bisa mendengarkan. “Gue tinggal kerja di atas dan lo janji nggak akan bikin nyokap gue kenapa-kenapa, oke?”
“Berisik, Sag, iya iya.” Sara memutar badan Sagara hingga menghadap tangga, kemudian mendorong tubuh tinggi dan atletis pria itu.
Baru beberapa anak tangga Sagara naik, suara Lidya terdengar. Masih mengenakan apron-nya, mama Sagara mendekat. Ada senyum lebar di wajahnya. Sejujurnya, Sara jadi sedikit segan dan tidak enak, tapi sangat teringat bahwa kebebasannya akan terenggut paksa, wanita itu menguatkan diri untuk melanjutkan misinya.
“Tiba-tiba banget ke rumah, Sar, ada apa?”
“Ini, Tan.” Sara memamerkan paper bag bawaannya. “Sara tadi habis belajar masak, Tan. Terus Sara ingat kalau sekarang sudah punya calon mertua, jadi Sara mau tunjukin ke Tante sekalian minta pendapatnya juga.”
Lidya semakin memamerkan senyumnya. Terlihat bangga, padahal Sara siap menariknya memasuki lubang perangkap.
Segera saja Sara mengikuti Lidya yang menuntunnya ke meja makan. Sementara, calon ibu mertuanya mengambil beberapa piring dari rak dan juga peralatan makan lainnya, Sara memilih menunggu di sisi meja makan. Dia menunggu dipersilakan.
“Duduk, duduk, Sara,” ajak Lidya. “Buka makanannya, Tante jadi penasaran ingin coba masakan kamu.”
Sara langsung memasang senyum penuh arti. Dia mengangguk lambat-lambat. Lalu, pelan-pelan diambilnya kotak makan dari dalam paperbag-nya. Makanan ini tentu bukan dia yang masak, tapi asisten rumah tangannya. Untungnya apa yang Lidya tidak sukai, cukup Sara sukai walau bukan favoritnya.
“Tada!” Sara membuka tutupnya. Berbeda dengan Lidya yang langsung memundurkan badan. Matanya memelotot. Napasnya seolah tertahan. “Semur jengkol dan sambal pete serta lele goreng, Tan. Ini kesukaan Sara banget!”
Wajah Lidya sudah pucat. Terlebih saat Sara dengan seenaknya menuangkan semua makanan yang calon mertuanya itu benci ke piring-piring yang wanita itu siapkan. Kemudian, memakannya dengan tangan tanpa cuci tangan lebih dulu. Lidya sukses seperti zombie hidup yang kaku selama beberapa menit setelahnya.
***
“Dan ekspresi nyokap lo akan gue ingat selamanya dalam kepala, Sag, abisnya lucu banget,” ungkap Sara.
Sagara mendengkus. Kepalanya geleng-geleng dengan ekspresi geli. “Sayangnya, gue nggak ada di sana buat ikut melihat momen nyokap gue kehabisan kata-kata, Sar. Dia pengin ngusir lo, tapi calon mantu.”
Tiba-tiba saja Sara memajukan duduknya. Menepuk lengan Sagara dua kali, lalu berkata, “Sekarang giliran lo cerita, alasan kenapa bokap gue yang awalnya memuja-muja, jadi ragu sama lo, Sag.”
Untuk sesaat Sagara menghela napas panjang, lalu cerita pun bergulir. Namun, seorang serius seperti Sagara, bercerita dengan kakunya dan kali ini tak ada tawa, hanya ada Sara yang mendengarkan dengan saksama.
[Masih di Jakarta, beberapa minggu sebelumnya. Rumah Sara]
Sagara melirik jam tangan. Tepat waktu, pukul 7 malam dia datang ke kediaman Sara. Berpakaian rapi; kemeja hitam, celana jeans dengan sneaker putih. Rambutnya juga tertata rapi nan klimis. Serta yang terpenting adalah ponsel yang selalu diaktifkan dengan mode getar, kini menjadi mode dering.
Jika Sara bertingkah selayaknya wanita non-higienis dan sedikit seenaknya, maka Sagara wajib melakukan sebaliknya.
“Malam, Om,” sapa Sagara begitu menemukan pintu rumah Sara terbuka dan Rudi yang menyambut. Segera pria itu menyodorkan martabak manis yang sengaja dia beli di tempat terbaik. “Saya bawakan martabak manis buat Om, Tante, dan Sara.”
Rudi manggut-manggut. Gumaman pelan penuh pujian terdengar saat pria itu memiringkan badannya, memberi akses Sagara masuk ke rumah. Baru beberapa langkah masuk, tiba-tiba saja Sara muncul dari lantai atas. Penampilannya acak-acakan dengan kaus kebesaran warna merah muda dan celana pendek yang saking pendeknya sampai tertutupi oleh kausnya. Rambutnya dicepol tinggi.
“Sag!” sapa Sara. “Lo datang!”
“Kalian ngobrol saja di ruang tamu, Om mau santai di ruang keluarga.”
“Eh, Papa, Papa!” Sara menahan gerakan Rudi. “Sara masih ada urusan di atas, boleh temani Sagara ngobrol dulu nggak, Pa?”
Rudi langsung menganggukkan kepala, menjadikan putri tunggal itu langsung berteriak berterima kasih.
Begitu Sara kembali ke atas, Sagara tanpa sadar menelan banyak-banyak ludah. Dia mendadak berdebar. Padahal dia sengaja datang untuk memberi impresi buruk, tapi malah ada rasa takut yang menghampiri.
Buru-buru Sagara duduk di salah satu sofa di ruang keluarga. Kepalanya menggeleng. Diteguhkan hatinya untuk tetap memilih apa yang paling dia inginkan, lepas dari perjodohan di umurnya yang masih 25 tahun.
Getaran di ponsel membuat Sagara merogoh saku celananya. Ada sebuah pesan dari Sara.
From: Sara Siap-siap, Sag! Gue mau telepon lo berkali-kali dan bicara sesuai instruksi gue di telepon. Ok?
Sagara hanya membalas dengan Oke singkat. Jujur saja, ketika Sara menyuruhnya bersikap selayaknya playboy, pria itu langsung menolak mentah-mentah. Selain dia tidak mau membuat image diri rusak, Sagara memang tidak punya teman perempuan yang cukup dekat untuk bisa dimintai tolong.
Sambil menunggu kelanjutan Sara, Sagara mencoba untuk mengobrol dengan Rudi. Obrolan mereka cukup nyambung, mengingat keduanya bergelut di bidang yang sama, properti.
Namun, saat di tengah-tengah obrolan, ponsel pria itu berdering. Ketika menemukan nama Sara di layar, Sagara mau tak mau mengangkatnya seraya memberi kode pada Rudi untuk menghentikan bahasan mereka.
“Halo,” sapa Sagara.
“Sebut satu nama cewek yang muncul di kepala lo! Terus tanya kenapa gue telepon,” perintah Sara di ujung sana.
“Catrine, ada apa?” tanya Sagara agak ragu. Nama Catrine muncul begitu saja saat tanpa sengaja membaca tulisan acak di salah satu majalah di atas meja.
“Lo ketawa seolah-olah obrolan gue lucu, terus ajak gue ketemu di kelab nanti malam. Oh iya, tawarin jemputan juga.”
Segera saja Sagara tertawa kaku dan mengikuti instruksi Sara. “Catrine, iya, nanti gue jemput elo ya. Kita ke … club malam ini. Gue traktir.”
“Good!” Sara terdengar senang. “Gue tutup!”
Panggilan ditutup dan Sagara kembali kepada Rudi. Pria itu meminta maaf, kemudian kembali mengajak bicara. Hanya saja dia tahu, suasana hati Rudi mulai tidak sebaik sebelum telepon itu terjadi.
Sekali lagi ponsel Sagara berdering. Mau tak mau pria itu menghentikan obrolan. Masih nama yang sama, Sara. Wanita itu memulai instruksinya, “Sebut nama cewek selain Catrine! Terus tambahin janji manis buat ajak ke Bali entah kapan.”
“Michelle,” panggil Sagara asal. Nama itu adalah nama salah satu temannya di sekolah dulu. “Weekend ini kita ke Bali, ya?”
“Janjiin juga buat beliin perhiasan, baju, parfum, atau benda apa pun yang mahal. Terus tambahin kata sayang sebelum menutup panggilan.”
Perintah Sara membuat Sagara menarik napas dalam-dalam. Namun, pria itu tetap melakukan yang apa yang diminta. “Iya, Michelle, lo tenang aja. Perhiasan yang kemarin lo suka ambil aja, nanti biar gue aja yang bayar. Gue tutup dulu teleponnya ya, masih ada urusan. Malam ini kita teleponan ya, Sayang.”
Dan ketika Sagara berbalik, pria itu menemukan kedua tangan Rudi mengepal kuat. Ekspresi papa Sara terlihat menyeramkan. Namun, Sagara tahu ini risiko yang dia dapatkan dalam permainan ini.
***
Sekali lagi keduanya memenuhi sekitaran dengan tawa kencang. Mereka benar-benar terhibur oleh cerita masing-masing saat menjalankan misi bye-bye, Calon Mertua!
“Gue kira pembatalan perjodohan ini akan sulit sekali berakhir. Baru dua kali ketemu, ternyata udah cukup bikin mereka ilfeel sama kita. Happy!” aku Sara dengan senyum lebar.
Sagara kembali mengangkat gelasnya dan Sara langsung mendentingkan gelas mereka. Pria itu bersuara, “Jujur, Sar, gue salut karena lo bisa kasih ide-ide gila yang luar biasa efisien dan cepat untuk menghentikan kegilaan ini. Tapi gue penasaran, kenapa lo nggak mau terima perjodohan ini? I mean, selain lo punya pasangan, lo tahu benar gue bisa menanggung kebutuhan hidup lo dan setia selamanya.”
Sara dan Saga merayakan kemenangan | Ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Gue juga bisa menanggung kebutuhan gue secara mandiri kali.” Sara memutar bola matanya, terlihat kesal. “Alasan pertama, umur 25 bagi gue terlalu muda untuk married. Terpenting, gue nggak mau menikah sama seseorang demi bisnis semata. Gue hanya mau nikah sama orang yang gue cintai dan tentu gue percaya bisa hidup bersama bertahun-tahun ke depan. Sag, gue hanya mau married sekali, jadi nggak mau pilih pasangan coba-coba, apalagi kita baru kenal beberapa hari. Lo sendiri kenapa rela kehilangan citra lo di depan umum demi membatalkan perjodohan ini?”
“Alasannya sederhana, Sar. Target gue menikah itu umur 35, bukan 25 tahun. 10 tahun di antara umur itu, gue sudah menyiapkan banyak hal demi masa depan gue dan menikah akan mengacak-acak rencana jangka panjang gue. Nggak mau!”
Sara mengangguk, memahami juga bahwa target hidup setiap orang berbeda-beda. Paling penting tetap, dia dan Sagara gagal berjodoh. Sebuah kemenangan yang berhasil diperoleh dari satu tim yang sama.