Penghuni Sisi Lain Sekolah by Diosetta | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Satu per satu Arum mengumpulkan tulang tengkorak. Di sisi lain, Guntur masih berusaha mengadang sang dukun jahat. Kekuatan yang tidak seimbang, membuat situasi buruk bagi Guntur. Akankah kali ini Arum benar-benar kehilangan Guntur? Akankah Arum bisa menolong teman-temannya dan keluar dari situasi ini?
***
Sebuah penglihatan muncul di pikiranku, kejadian ini persis seperti saat berada di ruang kelas 11 D. Kali ini penglihatan itu menunjukan sebuah kejadian yang menimpa rumah mewah yang dihuni oleh sebuah keluarga besar. Warga desa berbondong-bondong mendatangi rumah itu dengan membawa berbagai senjata tajam. Ekspresi mereka dipenuhi kebencian. Entah apa yang sudah dilakukan oleh penghuni rumah mewah ini, hingga penduduk desa begitu marah.
“Keluar kau, Baroto! Akui semua perbuatanmu!” teriak salah satu dari warga desa.
Seseorang dari rumah itu keluar menghadapi mereka. Mungkin dialah yang bernama Baroto.
“Kau dukun biadab! Kembalikan semua anak kecil yang kau culik!” ucap warga desa yang lain.
Anehnya, seseorang yang dipanggil Baroto itu justru menghela napas dan mulai berbicara, “Bukan aku pelakunya, aku bahkan tidak mengerti apa yang kalian maksud!” Namun, sepertinya pria bernama Baroto itu juga sudah menebak apa yang akan terjadi setelah ini. Bahwa penduduk desa mustahil mempercayainya. “Kalian boleh melampiaskan amarah kalian kepadaku, tapi jangan sentuh keluargaku!”
Sayangnya reaksi warga tidak mereda. Salah seorang warga berteriak dan memaki, berusaha mengompori kemarahan warga, membuat situasi semakin ricuh.
“Bunuh! Dukun itu dan keturunanya tidak pantas hidup!”
Seketika seluruh warga menjadi beringas. Mereka menangkap Baroto dan menggantungnya di atas pohon beringin yang berdiri di halaman rumahnya. Tak hanya itu, penduduk desa juga memaksa seluruh keluarganya keluar dari rumahnya yang besar.
Pemandangan mengerikan terlihat di tempat itu. Warga yang kesetanan dan tak cukup puas dengan menggantung mereka hidup-hidup, juga memenggal tubuh mereka hingga hanya kepala masing-masing keluarga Baroto saja yang masih tergantung di pohon beringin. Terakhir, mereka membakar rumah kayu yang megah itu.
Tanpa disadari oleh penduduk desa, seorang warga yang tadi berteriak dan memprovokasi kemarahan warga tersenyum puas. Diam-diam, ia juga meninggalkan warga yang masih diliputi kemarahan. Semakin jauh dari keramaian, samar-sama matanya mulai menghitam, sama seperti mata Ki Bolowireng yang telah menjual jiwanya kepada setan.
Tepat setelah itu, seorang wanita berbaju kebaya berlari menerobos kerumunan warga dan tak bisa menahan tangisnya. Penampilanya persis seperti dengan hantu wanita yang ada di bawah pohon beringin. Dia datang bersama dengan beberapa anak kecil.
“Bagus!” teriak salah seorang warga desa kepada anak kecil bertubuh kurus. Rupanya anak itu adalah anaknya yang sudah hilang beberapa hari ini.
“Ratna!” kini giliran seorang perempuan yang masih menggenggam batu memanggil anak kecil yang tengah memegangi ujung kebaya si perempuan.
Rupanya wanita itu adalah anak sulung dari Baroto yang pagi ini memang sedang mendapat giliran untuk mencuci di sungai. Ia tanpa sengaja menemukan anak-anak itu yang ternyata disembunyikan oleh seseorang yang memang berniat memfitnah keluarga Baroto.
Lantas, seolah baru terlepas dari pengaruh mantra sihir, penduduk desa menyadari bahwa tuduhan mereka salah. Mereka menjatuhkan semua benda yang mereka gunakan untuk menghabisi keluarga Baroto dan menangis menyesali apa yang mereka perbuat. Namun, nasi telah menjadi bubur. Segala upaya yang dilakukan warga untuk menebus perbuatannya tidak dihiraukan oleh wanita itu. Sebaliknya, ia membalas dengan sumpah serapah dan berlari ke arah rumah yang masih terbakar dengan api yang menyala-nyala dan mengakhiri hidupnya di sana.
warga desa membakar rumah Baroto | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
***
[POV ARUM]
Aku tersadar, tepat di bawah pohon beringin bersama sosok setan wanita berbaju kebaya yang sekarang melayang di hadapanku. Namun, pemandangan kali ini tak lagi sama. Kali ini aku melihat begitu banyak kepala yang tergantung di atas pohon beringin ini.
Blarrr!
Suara dentuman terjadi di lapangan tempat Guntur bertarung dengan Ki Bolowireng.
Aku tidak punya banyak waktu lagi. Dengan segera aku memberanikan diri mendekat ke pohon beringin menuju tanah yang dengan bekas galian itu. Tidak terima wilayahnya diganggu, roh wanita itu mulai mendekat ke arahku dan berusaha merasukiku.
“Seseorang yang bertanggung jawab atas kematian keluargamu sedang bertarung dengan temanku di sana! Aku harus mengeluarkan benda ini untuk menghentikanya!” ucapku.
Mendengar ucapanku, makhluk itu melayang ke arah suara dentuman tadi, seolah menyadari sesuatu. Sayangnya, ia terikat dengan pohon beringin ini hingga hanya bisa memendam emosinya menatap seseorang yang menjadi dalang atas kematian keluarganya.
Tak menyia-nyiakan kesempatan, aku menggali tanah di bawah pohon beringin dengan tanah kosong hingga cukup dalam. Ternyata dugaan Guntur benar, sebuah kepala tengkorak tertanam di sini. Kekuatan hitam terasa dari benda ini, mungkin saja ini yang membuat makhluk di sekitarnya menjadi beringas. Tepat setelah aku berhasil mengangkatnya, wajah dari hantu wanita itu berubah sedikit lebih tenang.
“Aku akan kembali ke sini setelah semua ini selesai! Akan kubantu untuk menenangkanmu!” janjiku yang dibalas olehnya dengan menunjukan sebuah arah yang kutahu bahwa itu adalah arah sebuah bangunan tua di sisi sekolah.
Mungkin di sanalah tengkorak kedua disimpan. Aku harus ke sana karena memang tidak ada petunjuk lain lagi yang kupunya.
***
[POV GUNTUR]
Setelah Arum pergi, aku menarik pusaka keris milik Eyang yang diwariskan kepadaku. Sebuah keris pusaka yang dapat menembus berbagai macam sosok makhluk halus dengan mudahnya.
“Keris itu … aku tahu keris itu!” ucap Ki Bolowireng terkejut. “Keris itu milik seseorang yang sama hitamnya sepertiku, tidak mungkin keris itu ada padamu.”
Benar, rupanya sosok eyang Arum memang terkenal di masanya. Untungnya, Eyang tidak pernah menyembunyikan dosanya. Ia pernah haus akan ilmu dan mendalami ilmu hitam hingga menghabisi dukun-dukun lainya sebelum akhirnya membuang ilmunya dan mengasingkan diri di pinggir hutan untuk membantu orang lain.
“Aku tidak peduli dengan masa lalu Eyang, yang terpenting sekarang aku harus menghentikanmu,” jawabku.
“Bocah ingusan tidak pantas memegang pusaka itu!” ucapnya yang segera memerintahkan roh ular pengikutnya menyerangku dan dapat kuhindari dengan mudah.
Aku mundur sejenak membacakan sebuah mantra yang diajarkan Eyang dan menghunuskan keris ini ke salah satu kepala ular itu, hingga muncul bara api dari tempat tusukan itu dan membakarnya. Sayangnya, tepat sebelum makhluk itu mati, Ki Bolowireng segera membacakan mantra yang membuat roh ular itu merasuk ke tubuhnya. Seolah takut dengan kesaktian pusaka ini, Ki Bolowireng lantas tak menyia-nyiakan kesempatan untuk menyerangku dengan keris hitamnya.
Beberapa kali kedua pusaka ini saling beradu bersama sengitnya pertempuran di antara kami. Ini pertama kalinya aku menggunakan seluruh ilmu bela diri yang diajarkan Eyang. Ada gunanya juga aku berlatih sangat keras selama ini. Rupanya, kemampuan ini cukup mampu menandingi kesaktian si dukun hitam.
Dentuman-dentuman keras muncul setiap kedua keris ini beradu hingga sesekali menyibakkan tetesan hujan yang membasahi kami. Mungkin jika terus seperti ini aku bisa mengulur waktu sampai Arum menemukan semua tengkorak kepala manusia itu. Namun, ternyata dugaanku salah, Dukun itu tidak berniat bertarung dengan adil. Di tengah-tengah seranganya ia mengeluarkan sosok roh ular yang mengincar titik butaku dan menggigit tepat di pinggangku.
Seketika aku terjatuh dan segera berusaha untuk mundur.
Racun? Tidak, Roh ular tidak bisa mengantarkan racun melainkan sebuah luka kutukan yang menjalar ke tubuhku.
Aku setengah mati menahan luka ini. Rasa perih yang amat sangat terasa dari bekas luka gigitan itu yang membuatku sulit untuk berkonsentrasi. Aku bahkan mulai sulit untuk bergerak. Namun, aku harus terus bertahan sembari menghindari serangan dukun itu.
“Terlalu cepat seratus tahun untuk mengalahkanku!” ucap Ki Bolowireng yang segera membacakan mantra pada kerisnya hingga kekuatan hitam muncul dari keris itu.
Ki Bolowireng bergerak cepat dan menghujamkan keris itu padaku. Namun, dengan sisa tenaga yang kupunya, aku berhasil menghindar serta membalasnya dengan menolehkan keris pusakaku di kulitnya serta menusuknya di pinggang.
Ki Bolowireng terkejut. “Tidak mungkin! Tidak mungkin kamu bisa bergerak setelah menerima gigitan ular itu!”
Aku tertawa. “Gigitan itu belum seberapa dibandingkan gigitan gigi ompongnya Eyang,” ucapku yang segera berdiri dengan kondisi yang telah pulih.
Yah.. untung saja itu bukan racun. Kalau hanya kutukan seperti ini, Eyang sudah sering mengajarkan cara menangkalnya.
“Berengsek!” umpat dukun itu. “Kalau begitu, kau harus menghadapi mereka dulu!”
Mendadak, mata Ki Bolowireng menyala. Tak lama setelahnya, beberapa siswa datang menghampirinya dan membentuk formasi untuk menjaga Ki Bolowireng. Mereka adalah siswa panitia acara ini yang sudah berada dalam kendali Ki Bolowireng.
Ini gawat! Aku sama sekali tidak memperhitungkan kejadian ini.
Tidak, tidak mungkin bila aku harus bertarung melawan mereka.
***
[POV ARUM]
Ini adalah bangunan tua yang kujaga saat awal kejadian-kejadian mulai muncul di sekolah ini. Sangat masuk akal apabila tengkorak kepala manusia itu berada di tempat ini.
Perlahan aku membuka pintu gudang tua yang sudah tidak terkunci itu. Aku berpikir dari mana aku harus mencari keberadan tengkorak kepala manusia itu. Namun tepat saat memasuki bangunan itu, terlihat sosok hantu anak kecil sedang memainkan tubuhnya dengan memutarkan kepalanya, menggigit kakinya dan terlihat sangat mengerikan.
Dia adalah hantu bocah yang seharusnya ada bersama ibunya di kelasku.
“Kamu mau memberitahu di mana posisi benda itu?” Tanyaku.
Ia tidak menjawab dan hanya bergerak menuju ke lemari yang ditumpuk dengan asal-asalan. Aku menggeser lemari itu dan menemukan sebuah tumpukan tanah yang baru saja digali. Aku menghela napas dan sedikit tersenyum ke arah hantu anak kecil itu. Wujudnya memang sangat mengerikan, tetapi aku tahu sebenarnya ia hanya bermain dan menyenangkan dirinya sendiri.
Tengkorak kedua sudah Arum temukan | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Tengkorak kedua sudah berada di tanganku. Namun, aku tidak tahu letak tengkorak ketiga. Akhirnya kuputuskan untuk mencari ke ruang tempat dulu dukun itu melakukan ritual. Aku berlari secepat mungkin dan sesekali menoleh ke arah pertarungan Guntur dan dukun itu. Sayangnya hari semakin larut.
Semua barang posisi benda yang berada di ruangan itu sudah kupindah, tetapi sama sekali tidak ada apa pun di sana hingga terdengar suara seseorang memanggilku.
“Arum!”
Aku menoleh ke arahnya. Itu adalah Nia.
“Kita ke ruang 11 D mungkin yang kamu cari ada di sana,” ucapnya sambil menunjukan rencengan kunci yang sepertinya ia pinjam dari Pak Darno.
“Kamu seharusnya tidak keluar dari ruangan itu Nia! Terlalu berbahaya …”
“Salah satu roh di kelas itu mengatakan bahwa beberapa dari kami sudah bisa pergi, sepertinya usaha yang kamu lakukan berhasil.”
Akhirnya, aku menyetujui usul Nia. Tak butuh lama untuk mencapai ruang kelas 11 D yang sudah tertutup dan dikunci atas perintah kepala sekolah. Dengan segera kami membukanya menggunakan kunci yang dibawa Nia. Sama seperti sebelumnya, ruangan itu gelap dan lembap karena digenangi air hujan melalui selokan di bawahnya.
“Kalau ada sesuatu yang mencurigakan, benda itu mungkin ada di tumpukan kursi itu,” ucapnya sambil mengarahkan senter ke tumpukan kursi itu.
Sayangnya dari arah cahaya itu muncul sebuah bayangan yang bergoyang dengan wujud yang sangat kukenal.
“I—itu apa Arum?”
“Itu boneka Nini Thowok! Boneka pemanggil roh, dan kali ini roh jahat yang merasukinya.”
Nia ketakutan, tetapi aku melihatnya berusaha untuk tetap tenang. Mungkin serangkaian kejadian malam ini membuat hal-hal seperti ini mulai terlihat biasa di matanya.
Makhluk itu melayang dan mencoba menusukan bagian kayu runcing ke arahku. Dengan cepat aku menghindarinya. Sayangnya, kekuatan hitam yang terpancar dari boneka itu membuat Nia mendadak berteriak kesakitan hingga hampir tidak mampu mempertahankan kesadarannya. Aku mencoba menaburkan garam yang telah diisi oleh doa, tetapi sebenarnya metode ini tidak berguna dengan roh yang memiliki katalis.
Kami menghindar sekuat tenaga sembari sesekali membacakan doa agar Nia tetap bisa mempertahankan kesadarannya. Aku berpikir sekuat tenaga bagaimana caraku untuk mengalahkan makhluk ini. Satu-satunya cara adalah mengurung roh ini ke tubuhku seperti dulu aku mengurung genderuwo hitam itu. Namun, dengan roh sekuat ini aku pasti tidak akan mempertahankan kesadaran untuk waktu yang lama.
“Nia, setelah aku selesai membaca mantra segera gali tanah itu dan ambil tengkorak ketiga.”
Nia terlihat bingung, “Maksud kamu apa Arum?”
“Aku nggak bisa menjelaskan sekarang, lakukan saja apa yang kuminta. Setelahnya, kamu harus mengunciku di dalam ruangan ini, dan bawa ketiga tengkorak itu pada Guntur.”
***
[POV GUNTUR]
Tidak, tidak mungkin aku melawan manusia dengan ilmu yang kupunya. Aku sudah berjanji kepada Eyang.
Layaknya seseorang yang kehilangan kesadaran, semua panitia pensi menggunakan semua benda yang bisa mereka raih untuk menyerangku. Batu, balok kayu, pipa besi menghujam tubuhku dengan brutal. Aku berusaha menangkis dan menghindarinya, tetapi ini tidak akan bertahan lama. Hingga akhirnya sebuah pukulan sudah siap mendarat di kepalaku.
Brakk!!
Sebuah suara benda saling berhantaman terdengar. Itu bukan suara dari kepalaku melainkan suara balok kayu yang saling beradu. Terlihat dari arah belakangku, Fatir berusaha menghalau panitia yang kesurupan dengan balok di tangannya. Ia tidak sendiri, teman-temanya juga membantu untuk mengusir mereka.
“Nggak mungkin aku diam saja dan berharap dilindungin sama anak cupu,” ucapnya.
“Tapi, makhluk-makhluk itu?” tanyaku bingung.
“Roh di ruangan tadi mengatakan beberapa dari kami sudah bisa pergi, sepertinya usahamu dan Arum membuahkan hasil.”
Aku sedikit tersenyum. Sepertinya setelah ini aku dan Arum tidak akan kesepian lagi.
“Tolong tahan mereka, biar aku menghentikan dukun brengsek ini.”
Wajah Ki Bolowireng berubah murka. Sebelum ia sempat berpikir untuk menyerang Fatir dan kawan-kawan aku harus segera menghentikannya.
“Kita selesaikan ini, Ki Bolowireng!”
“Bukan kita. Kalianlah yang akan selesai!”
Aku mempersiapkan serangan terakhirku, sebuah mantra yang diajarkan oleh Eyang untuk membangkitkan kekuatan pusaka ini. Tidak mau kalah, dukun itu juga membacakan ajian untuk pusakanya sebelum akhirnya kami berlari mengadu serangan. Sialnya, lengan dukun itu tidak terlihat dan kembali muncul saat keris hitamnya sudah menusuk bahuku.
“Guntur!” teriak Fatir yang khawatir melihat darahku mengalir dari bekas luka ini.
Namun, aku membalas teriakan Fatir dengan senyuman. Aku tersenyum karena kerisku juga sudah menusuk tepat di dada dukun itu. Kali ini aku yakin ia tidak akan selamat.
Ki Bolowireng terjatuh dengan darah yang bermuncratan dari mulutnya.
“Walau aku mati, sebentar lagi lewat tengah malam. Tidak ada lagi yang menghalangi ratusan dari makhluk ini untuk mengambil tumbal dari nyawa kalian dan membangkitkanku lagi! Khekhekeh ….”
Itu adalah ucapan terakhir Ki Bolowireng yang masih membuatku khawatir. Sayangnya aku sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Luka dari keris Ki Bolowireng menghilangkan kesadaranku dengan banyaknya darah yang mengalir di tengah rintikan hujan ini.
***
[POV ARUM]
Pelan-pelan, kubacakan mantra persis saat menghadapi genderuwo hitam dulu.
“Jangan, Arum! Hentikan!” ucap Nia memohon.
Namun, tidak ada pilihan lain. Yang kami pertaruhkan saat ini bukan hanya nyawa Guntur seperti dulu, melainkan juga nyawa seluruh siswa sekolah.
Brakkk!!
Tiba tiba sebuah suara pintu didobrak terdengar dengan keras.
“Hentikan Arum!”
Suara itu! Itu suara Pak Rosyid! Kali ini aku menghentikan mantra yang kubaca.
“Makhluk itu dipanggil dengan ritual, kita bisa mengembalikannya dengan ritual. Beri bapak waktu,” perintah Pak Rosyid.
Pak Rosyid yang dibantu oleh beberapa anak didiknya mulai menyiapkan sebuah tempat yang disusun dari peralatan di ruangan ini. Mereka menggelar beberapa benda persis seperti yang ia temukan d ruangan tempat Pak Fadil melakukan ritual. Kemenyan, kembang, air di dalam wadah. Dengan segera Pak Rosyid membacakan sesuatu yang tidak terdengar seperti mantra, melainkan doa dan ayat suci. Jelas makhluk itu memberontak dan bersiap menyerang Pak Rosyid, tetapi aku dan Nia segera menangkapnya menahan setiap lengan boneka makhluk itu sekuat tenaga.
Beberapa kali tubuhku hampir terlempar oleh tenaga makhluk in. Hingga akhirnya, boneka Nini Thowok terjatuh di genangan air setelah roh jahat yang mengisinya pergi.
“Tidak ada waktu! Temukan apa yang kamu cari!” perintah Pak Rosyid.
Dengan bantuan Nia dan anak didik Pak Rosyid, aku bisa menemukan dengan mudah tengkorak kepala manusia yang terkubur di sana.
“Pak, bantu kami untuk mendoakan dan membakar benda ini,” pintaku yang sudah kelelahan dan menyerahkan tengkorak itu pada Pak Rosyid.
Dengan segera, persis di tempat ia melakukan ritual tadi, Pak Rosyid membacakan doa dan membakar tengkorak itu. Aku menghela napas lega dan jatuh terduduk diantara genangan air di ruangan itu.
“Lebih baik kamu menghampiri temanmu itu, sepertinya ia dalam keadaan kritis,” ucap Pak Rosyid.
Aku terkejut setengah mati. “Maksud Pak Rosyid, Guntur?!”
Beliau mengangguk. Lantas segala keletihanku seolah lenyap. Aku bergegas berlari kembali ke lapangan yang masih diguyur hujan deras. Di sana terlihat Guntur tergeletak dan bersiap diangkat oleh Fatir dan kawan-kawanya.
“Guntur!” panggilku mencoba menyadarkanmu. “Guntur!”
Tak ada respons apa pun.
“Lukanya parah, Rum. Serangan dari dukun itu membuatnya kehilangan banyak darah,” jelas fatir.
Aku menangis sambil terus mencoba membangunkan Guntur, tetapi cowok itu tetap bergeming. Nia memanggil tim medis dan mulai memeriksa Guntur.
“Rum ….” Nia memandangku dengan wajah pucat pasi. “Denyut nadinya nggak ada ….”
“Guntur! Guntur! Bukan ini rencana kita!” teriakku dengan deraian air mata yang tidak berhenti ke tubuhnya.
Kondisi Guntur sangat buruk | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Tim medis berusaha mengangkat tubuh Guntur, tetapi tiba-tiba mereka dihardik oleh seseorang yang kukenal.
“Baringkan dia lagi!” ucap orang yang sangat kukenal itu.
“Eyang?”
“Napas dan detak jantungnya hilang bukan karena kehabisan darah,” ucap Eyang, sambil menempelkan ramuan-ramuan buatannya dan membacakan beberapa mantra. Samar-samar terlihat kekuatan hitam mengalir dari bekas luka Guntur. “Kutukan dari keris hitam dukun itu yang membuatnya tak sadarkan diri,” jelas Eyang.
“Detak jantungnya kembali!” ucap salah satu tenaga medis.
Setelah memastikan tidak ada lagi kekuatan hitam di tubuh Guntur, Eyang melepaskan tangannya dan menampar wajah guntur.
“Tangi! Ojo males-malesan!” (Bangun Jangan males-malesan) ucap Eyang dengan reaksi yang tidak kuduga sama sekali.
Seketika mata Guntur terbuka, dan wajahnya masih terlihat pucat.
“Wis tak kandani! Nek kowe wani-wanine nggawe cucuku khawatir, siap-siap tak santet,” (sudah tak bilangin! Kalau kamu berani beraninya membuat cucuku khawatir, siap-siap aku santet) ancam Eyang.
Aku tersenyum lega. Hubungan yang aneh antara Eyang dan Guntur sudah kembali. Itu artinya aku tidak kehilangan Guntur.
“I—iya Eyang, Arum. Maafin ak–”
Aku memeluk Guntur sekuat tenaga sebelum ia sempat menyelesaikan kata-katanya. Aku tersenyum tetapi air mataku terus menetes tidak ada kata-kata lagi dari semua orang yang ada d sini.
“Kalau begini lagi, aku bakal marah,” ucapku yang dibalas dengan usapan tangan Guntur di atas kepalaku.
“Khekehkhe… dasar anak muda!” ucap Eyang yang berjalan melangkah meninggalkan sekolah kami.
***
Setelah semua kembali normal, polisi dan tenaga medis mulai berdatangan mengevakuasi kami. Rupanya sedari tadi Eyang dan Pak Rosyid berusaha menembus pagar gaib yang dibuat Ki Bolowireng dengan penjagaan berbagai makhluk halus.
Pagar itu membuat keberadaan sekolah ini tidak bisa dicapai oleh siapa pun dan selalu mengarah ke tempat lain.
Ah.. sudah , aku tidak dapat berpikir apa-apa lagi. Aku hanya ingin kembali ke rumah dan menikmati es dawet lagi berdua bersama Guntur.
***
Sudah satu minggu semenjak kejadian malam satu suro. Guntur juga sudah mulai masuk sekolah dua hari yang lalu. Dan apakah kalian percaya? Satu sekolah mengajakku untuk membuat acara penyambutan untuk kedatangannya. Kalian harus tahu wajah kagetnya saat itu benar-benar lucu!
Sesuai janjiku sebelumnya, aku kembali ke pohon beringin dan membantu menenangkan roh anak dari keluarga Baroto itu dengan membacakan doa dan menceritakan tentang kematian dukun yang menjadi akar masalah dibantainya keluarga Baroto saat itu.
Sementara itu, ruang 11 D sudah dihancurkan dan akan segera dibangun ulang dengan dana bantuan pemerintah daerah setelah sekolah ini menjadi sorotan karena kejadian kemarin.
“Kamu bener udah sehat?” tanyaku pada Guntur.
“Dih … meragukan kekuatan Guntur sang Pendekar Pembasmi Dukun Jahat!” ucapnya dengan wajah yang angkuh.
“Dih … gaya banget! Absen yuk, ke tukang dawet!” ajakku pada Guntur.
“Nggak… nggak nolak!” jawabnya singkat.
Siang yang panas di sekolah kami akhiri dengan menikmati segelas es dawet yang selalu bisa memberi rasa manis untuk setiap permasalahan yang ada di sekolah ini.
“Mas Es Dawet dua! Yang spesial, ya!” ucap seseorang yang sudah lebih dulu berada di tukang es dawet di depan sekolah.
Oh iya, saat ini kami tidak bisa lagi menikmati es dawet ini berduaan. Rindi, Santi, Fatir, dan teman-teman lain juga sering menemani kami ngobrol di tempat ini mereka pun semakin akrab dengan Pak Darno.
Tapi yah.. tidak apalah. Hal ini cukup menyenangkan. Mungkin aku masa-masa sekolahku di sini tidak akan pernah aku lupakan hingga memiliki anak dan cucu nanti dan menceritakannya pada mereka. Semoga saja saat itu Guntur yang ada di sebelahku.