Penghuni Sisi Lain Sekolah chapter 8 by Diosetta | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Kekacauan dimulai, satu demi satu pengunjung pensi dirasuki makhluk halus. Di saat-saat seperti ini, sesuatu menghalangi para guru untuk hadir di sekolah. Arum dan Guntur harus berpikir cepat untuk menyelamatkan teman-temannya, sebelum dampaknya kian meluas.
***
Suara musik yang menggema terdengar hingga ke seluruh penjuru sekolah. Suasana meriah terpampang hampir di seluruh bagian sekolah ini. Seluruh siswa nampak sangat menikmati acara ini. Rindi berkumpul bersama Santi dan yang lain menikmati bazaar kuliner yang diadakan pengurus osis. Fatir bersama gengnya asyik di depan panggung melompat dan berjingkrakan menikmati musik dari band bintang tamu yang diundang untuk memeriahkan acara ini. Semakin sore, semakin ramai pula acara pentas seni dan promnight ini.
“Arum! Ke sini … jangan mojok terus!” teriak Santi dari bawah saat melihatku menatap seluruh keriuhan acara ini dari lantai atas.
Aku hanya tersenyum kecut dan menggeleng. Seandainya saja mereka tahu apa yang ada di tengah-tengah mereka.
Aku bisa saja menyelamatkan sebagian dari mereka dengan memaksanya untuk pulang dengan alasan-alasan tertentu, tetapi itu hanya bisa terjadi bila mereka percaya dengan ceritaku. Nampaknya, itu juga bukanlah pilihan yang baik.
Malam hari pun menjelang. Tepat setelah azan berhenti berkumandang dan langit semakin gelap, lampu-lampu penerangan yang sudah disediakan oleh panitia dinyalakan dan seketika membuat suasana di sekolah ini menjadi mengagumkan. Sayangnya, hal yang tidak kami harapkan akhirnya terjadi.
Salah seorang siswi yang sedang sendirian menikmati acara tiba-tiba tidak sadarkan diri. Teman-teman di sekitarnya segera meminta bantuan dari tim medis. Namun, aku dan Guntur tahu dengan jelas bahwa itu adalah perbuatan sesosok pocong yang berusaha merasuki tubuhnya hingga tubuh siswi itu tidak kuat bertahan dan tak sadarkan diri.
Aku dan Guntur segera berlari ke bawah untuk memeriksa siswi itu. Namun, lagi-lagi tepat ketika kami sudah sampai di bawah seorang pria yang sedang berkumpul bersama temannya tiba-tiba mengamuk tanpa alasan dan memukuli teman-temannya.
“Rum, kamu ke sana duluan!” pinta Guntur yang segera mencoba menghentikan siswa itu.
Dengan segera aku bersiap berlari, tetapi tepat saat aku tiba di pinggir lapangan, pemandangan yang mengerikan sudah terpampang di hadapanku.
“Tolong! Siapa saja tolong!” ucap Santi yang sedang berusaha menahan salah seorang siswa kelas 10 yang mengamuk.
Untung saja Nia muncul di sana. Dia dan teman-temannya sedang mengangkut tubuh seseorang yang juga tiba-tiba tak sadarkan diri.
“Keluar! Semua tinggalkan sekolah ini!” teriakku sekeras-kerasnya.
Dengan segera, semua siswa dan penonton acara pentas seni ini berlari menuju satu-satunya lorong sekolah yang menghubungkan ke pintu keluar. Sialnya, di sana sudah ada sesosok boneka kayu seukuran manusia yang didandani layaknya penari melayang dan berayun dengan mengerikan di hadapan mereka.
“I—itu! Boneka Nini Thowok?” teriak Fatir dengan panik bersamaan dengan teriakan semua siswa yang ketakutan untuk melangkah maju.
Salah seorang teman Fatir nekat berlari dan menerobos di antara celah lorong itu. Sayangnya, dengan seketika ia pingsan tak sadarkan diri. Tak cukup sampai di situ, boneka itu melayang dan menusukan bagian kayu runcing di bagian bawah tubuhnya ke tubuh anak itu hingga darah segar teman Fatir mengalir di lantai sekolah. Fatir memberanikan diri untuk menarik temannya itu sementara siswa yang lain berlarian kembali ke dalam sekolah.
“Fatir! Dia kenapa?” tanyaku saat melihat Fatir menggendong temannya yang dipenuhi darah.
“Ini perbuatan boneka Nini thowok itu, Rum! Tolong, Rum, cari cara buat menghentikan ini semua,” ucapnya dengan nada ketakutan dan nyaris menangis.
Sayangnya, saat ini aku tidak mampu menjawab permintaan Fatir. Aku hanya bisa mengarahkan Fatir ke ruang medis.
“Dukun Brengsek! Di mana kamu?!” Terdengar suara teriakan Guntur yang penuh dengan emosi dari tengah lapangan. Kelihatannya, Guntur sudah menyerah setelah mencoba menangani semua murid yang kesurupan satu persatu. Bagaimanapun, jumlahnya memang terlalu banyak. Tak mungkin ia bisa mengatasi semuanya.
Aku segera menyusulnya ke tengah lapangan berusaha mencari tanda-tanda keberadaan dukun yang menyamar menyamar sebagai Pak Fadil itu. Namun, sama sekali tidak ada petunjuk.
“Mbak Arum, Mas Guntur kita harus gimana? Pak Darnonggak tahu lagi harus minta tolong ke siapa,” ucap Pak Darno yang menghampiri kami dengan wajah yang panik dan menahan tangis.
Aku dan Guntur berpikir keras, tetapi kericuhan semakin terjadi. Beberapa orang dewasa seperti tenaga medis pun bingung harus berbuat apa. Sepertinya mereka sudah menelepon pihak yang berwajib, tetapi entah apa yang bisa mereka lakukan untuk menolong kami. Apalagi semakin banyak saja makhluk halus yang berdatangan ke tempat ini.
Kakacauan sudah dimulai | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Seolah sedang memilih-milih mangsa, mereka menatap dari berbagai tempat sebelum memutuskan untuk memilih tumbalnya.
Tapi … ada sedikit kejanggalan yang kulihat.
Roh penari dari ruang seni budaya, roh anak-anak kelas 11A malam, dan hantu seorang ibu yang menggendong anaknya menatapku dari ruangannya masing-masing. Mata mereka yang biasa kosong, kini penuh ekspresi, seolah ingin menyampaikan sesuatu.
“Guntur! Coba kamu lihat ruang seni budaya, kelas 11 A, dan ruang kelasku,” pintaku pada Guntur.
Seketika Guntur menoleh ke setiap sudut tempat yang kuarahkan dan sepertinya ia juga tersadar.
“Tidak ada demit dan makhluk halus di tempat itu. Begitu juga di pohon beringin tempat Pak Darno diculik,” ucapnya yang juga menyadari kejanggalan tersebut.
“Jika dugaanku benar, makhluk-makhluk ini tidak melanggar wilayah kekuasaan penunggu lama sekolah ini.”
Pak Darno terlihat bingung mendengar arah perbincangan kami. Namun, kami tidak punya cukup banyak waktu untuk menjelaskannya.
“Pak Darno, kita bagi tugas. Ada empat, bukan… maksudku ada tiga tempat yang tidak diserang oleh makhluk itu,” ucapku yang tidak memasukan wilayah di pohon beringin sebagai itungan mengingat betapa mengerikannya makhluk yang berada di sana.
“Aku akan menggiring mereka ke ruang seni budaya, Pak Darno ke Ruang 11 A, dan Guntur ke ruang kelas 11 C.”
Pak Darno segera mengerti dan beliau pun segera membentuk tim dari siswa yang masih sadar untuk ke ruangan yang kami tunjuk.
“Rindi! Santi! Bantu aku ngumpulin semua orang ke ruang seni budaya,” pintu pada mereka.
Seolah membaca maksudku, mereka segera berpencar dan mengajak setiap siswa yang bisa dijangkau untuk bergegas ke ruangan Seni Budaya. Sementara itu, Guntur berinisiatif menaiki panggung dan mengumumkan strategi evakuasi ini melalui microphone. Cukup lama sampai akhirnya kami berhasil mengumpulkan mereka di tempat yang kami tunjukan. Benar, semua yang kesurupan kembali normal, dan tidak ada makhluk yang berani mendekat.
Seorang wanita berpakaian penari menatapku dari depan ruangan seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi mendadak ia menghilang.
“Hanya sampai tengah malam … Setelah itu, kekuatan mereka akan mampu menembus wilayah kami.”
Indah, seorang siswi yang pernah dirasuki makhluk ini dan menari di tengah lapangan, tiba-tiba maju ke depan dari tengah kerumunan dan bersuara seperti suara sinden. Kami sempat ketakutan, tetapi ternyata tak lama kemudian Indah sudah mendapatkan kesadarannya kembali. Rupanya roh penari meminjam tubuh Indah untuk mengatakan hal tersebut.
Aku mengangguk dan mengerti.
“Terima kasih, aku titip mereka,” ucapku pada sosok itu. “Indah, beri tahu aku bila terjadi apa-apa. Hanya kamu yang bisa berkomunikasi dengan penari penunggu ruangan ini.”
Indah merasa ragu, tetapi ia mengerti dengan keadaan ini. “I—Iya hati-hati, Rum!” ucapnya.
Dengan segera aku berlari meninggalkan ruang seni budaya dan bertemu dengan Guntur di ruang kelas 11A, tempat Pak Darno berada.
“Mbah Arum, Mas Guntur, ternyata benar, mereka masih di sini. Anak-anak kelas 11A yang kecelakaan itu,” ucap Pak Darno dengan air mata yang menetes. Sepertinya kejadian ini membuat Pak Darno bisa melihat mereka.
“Sudah, Pak, tenang saja. Mereka murid-murid yang hebat bahkan kali ini mereka mencoba menyelamatkan kita,” ucapku.
Pak Darno mengangguk sambil mengusap matanya.
“Pak, Kami titip mereka, ya, hanya Pak Darno yang bisa berkomunikasi dengan roh anak-anak itu. Mungkin sedikit sempit dengan jumlah orang sebanyak ini, tapi coba tolong bertahan,” ucap Guntur sungguh-sungguh.
Pak Darno setuju sambil sesekali menatap roh anak-anak yang menjaga di belakangnya.
“Ruang 11C, kelasku gimana?”
“Santi. Dia bisa melihat roh perempuan itu. Dia akan mengabari kita bila roh itu tidak bisa menahan serangan ini lagi.”
Ketika semua sudah mulai tenang tiba-tiba hujan deras turun dan bersahutan dengan petir yang menyambar. Tak lama semua aliran listrik di seluruh sisi sekolah padam. Sekeliling kami gelap gulita. Kami menunggu di ruang kelas dengan menyalakan penerangan melalui telepon genggam kami, yang entah bagaimana, tidak bisa digunakan untuk menghubungi siapa pun.
Kami hanya menunggu.
Setelah ini apa yang harus kami lakukan?
Sudah cukup lama sejak tim medis menghubungi pertolongan, tetapi sama sekali tidak ada tanda-tanda sirine mobil polisi ataupun sesuatu yang mendekat. Atau mungkin dukun itu juga sudah mempersiapkan akan hal ini?
“Arum, apa kamu ingat isi lembaran yang kamu baca di ruang ritual sebelumnya?” tanya Guntur.
“I—Iya, kenapa?”
“Kalau nggak salah dukun itu harus menanam tiga tengkorak kepala manusia untuk menjalankan ritual ini, ‘kan? Kalau kita bisa menemukan ketiga tengkorak itu apa kita bisa menghentikan ini?”
Aku mencoba mengingat kembali isi lembaran itu dan teringat tentang yang diceritakan Guntur.
“Mungkin Bisa! Tapi bagaimana kita bisa menemukan tempat dukun itu menanam kepala tengkorak itu?” tanyaku ragu.
Guntur mengajakku keluar dari ruang kelas 11 A dan menunjuk ke arah pohon beringin.
“Kamu sadar nggak kalau sebelumnya roh di pohon beringin itu tidak seagresif ini? Pasti ada sesuatu yang memicunya. Jika analisaku benar, ada satu di sana,” ucapnya.
Benar juga, aku tidak sempat berpikir sampai ke sana. Saat itu juga aku dan Guntur sepakat untuk mencari tahu ke sana dengan menerobos hujan yang semakin deras. Sayangnya tepat sebelum kami mencapai pohon beringin itu seseorang sudah menunggu di tengah derasnya hujan. Itu dukun yang menggunakan nama Pak Fadil. Kali ini ia tidak lagi mengenakan seragam safarinya dan telah berganti dengan baju serba hitam dengan ikat kepala layaknya seorang dukun yang bersiap melakukan ritual.
“Bocah-bocah brengsek! Aku tidak akan membiarkan kalian ikut campur lebih dari ini!” ucapnya dengan penuh amarah yang saling bersahutan dengan suara petir yang menggelegar.
Aku cukup gentar, terlebih dengan keris yang ada di genggamanya dan sosok makhluk halus berwujud ular berkepala dua samar-samar terlihat mengelilingi tubuhnya.
Dukun penyaru Pak Fadil muncul | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Sudah cukup! Siapa kamu sebenarnya? Kami tidak mungkin membiarkanmu melakukan hal ini pada teman-teman kami!” ucap Guntur yang aku tahu juga sekuat tenaga memberanikan dirinya.
“Cih… Bocah-bocah sombong! Kalian bocah bau kencur tidak akan mengenalku! Ki Bolowireng!” balasnya.
Ki Bolowireng? Samar-samar aku mencoba mengingat nama itu.
Aku pernah mendengar cerita itu dari Eyang. Ki Bolowireng adalah nama seorang dukun yang hidup hampir ratusan tahun yang lalu di desa ini, saat negeri ini masih berjibaku melawan kekuasaan penjajah. Dulu warga mengusirnya karena ia melakukan praktek ilmu hitam yang memakan tumbal dari warga desa.
“Tidak mungkin! Ki Bolowireng, itu cerita dari jauh dari jaman Eyang. Tidak mungkin kamu Ki Bolowireng! Dan tidak mungkin Ki Bolowireng masih semuda ini!” ucapku.
“Arum, itu memang dia,” bisik Guntur kepadaku. “Kamu lupa? Dia menjual jiwanya ke setan dan menukarkan nyawa manusia untuk memperpanjang umurnya sekaligus memperkuat ilmu hitamnya.” tambah Guntur yang lebih dahulu menyadari tentang dukun itu. “Perhatikan matanya dengan mata batinmu, itu adalah mata dari manusia yang sudah menjual jiwanya kepada setan.”
Aku mengikuti ucapan Guntur. Saat melihat dengan mata batin, mata Ki Bolowireng terlihat hitam sepenuhnya seolah sudah ditutup untuk melihat hal yang baik.
“Pak Fadil? Di mana Pak Fadil yang sebenarnya?” tanyaku yang khawatir dengan seseorang yang fotonya ada di berkas yang kutemukan.
“Khekhekhe… Orang itu sudah lama mati! Seharusnya kalian pun sudah melihat sisa-sisa tubuhnya di ruangan penumbalan,” jawabnya.
Mendadak aku mengingat begitu banyak tulang belulang di ruangan tempat kami di sekap dan seketika merasa lemas ketika mengetahui salah satunya adalah bagian tubuh Pak Fadil yang asli.
“Sudah! Cukup! Aku tidak harus melayani perbincangan konyol ini!” ucapnya disusul dengan kemunculan ular berkepala dua yang bersiap menyerang kami dari belakang.
Beruntung Guntur sadar akan itu dan menarik tubuhku, sehingga kami berhasil menghindarkan dari serangannya.
“Arum, sepertinya kamu harus mencari tengkorak itu sendiri. Biar aku yang menahan dukun ini,” ucap Guntur.
“Nggak, terlalu berbahaya! Kita lawan sama-sama!” balasku.
“Jangan bodoh! Kamu tahu kita tidak punya banyak waktu. Lagi pula aku tidak harus mengalahkanya, aku hanya harus menahannya sampai kamu menemukan ketiga tengkorak itu. Makanya, kamu harus mencari cepat!”
Ucapan Guntur sangat benar, tetapi rasa khawatirku belum mengizinkanku untuk meninggalkan tempat ini. Sampai seketika Guntur mengeluarkan sesuatu dari tas kecilnya.
Sebuah keris dengan ukiran huruf jawa kuno, persis seperti yang digunakan Eyang saat melawan demit yang merasuk ke tubuhku.
Guntur mengeluarkan keris | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“I—itu keris Eyang?” tanyaku.
“Makanya sudah kubilang jangan khawatir. Cepat pergi! waktu kita tidak panjang!”
Aku mengangguk dan segera pergi ke arah pohon beringin.
***
Masih seperti sebelumnya, Pohon beringin ini dijaga oleh sosok wanita berbaju kebaya lusuh yang membawa sebuah kepala manusia. Kekuatan besar mengalir dari sekitar pohon ini. Sepertinya, dendam makhluk ini selama hidupnya terlalu besar, sehingga membuat pohon beringin yang besar ini diselimuti kekuatan hitam.
Aku mencari cara untuk mendekat, tetapi mata mengerikan dari makhluk itu terus mengikutiku tanpa celah. Seandainya aku mendekat, aku yakin bahwa sesuatu yang mengerikan pasti akan terjadi. Namun, untung saja aku segera melihatnya. Salah satu sisi tanah yang tertutup akar pohon beringin besar itu tidak ditumbuhi rumput. Penampakannya seperti baru saja digali. Mungkinkah dukun itu menguburkan tengkorak kepala di situ?
Terlalu fokus memperhatikan tanah yang janggal tersebut membuatku kurang awas. Tiba-tiba saja, wajah bengis makhluk itu muncul tepat di depan wajahku. Tak ada jarak satu jengkal. Terkejut, aku terjengkang, lalu segalanya gelap.