Penghuni Sisi Lain Sekolah chapter 6 by Diosetta via www.hipwee.com
Sementara Eyang bilang tidak boleh ada orang di sekolah pada malam 1 Suro, Arum mendapati bahwa acara pensi dan promnight sekolahnya justru bertepatan pada malam 1 Suro. Saat mencari tahu siapa dalangnya, Guntur dan Arum diculik dan disekap bersama genderuwo pemakan manusia. Arum harus segera melakukan sesuatu, jika tidak ingin Guntur kehilangan nyawa.
***
Malam satu suro.
Bagi masyarakat Jawa, malam ini dianggap sebagai malam yang keramat. Hingga biasanya mereka dilarang keluar rumah setelah waktu maghrib tiba. Sebuah malam di mana mereka yang berada di alam lain bisa berhubungan dengan kita yang berada di alam manusia. Di malam inilah waktunya mereka yang masih berhubungan dengan mereka yang alam sana menjalankan tradisi mensucikan pusaka, melakukan sedekah, hingga melakukan puasa untuk menghormati keberadaan mereka. Namun, tak jarang, malam keramat ini digunakan sebagai kesempatan bagi mereka yang berniat jahat untuk memanfaatkan keberadaan makhluk alam lain, yang seharusnya tidak seharusnya ikut campur tangan di alam manusia.
***
Suara langkah kaki seseorang yang tengah berlari terdengar begitu terburu-buru menuju kelasku.
“Rum! Kamu sudah dengar kabarnya?” ucap Guntur mendatangi kelasku dengan panik di jam istirahat.
“Kabar apa, Guntur? Kok sampai panik begitu?” tanyaku.
Guntur memperhatikan kondisi sekitar yang ternyata masih ramai dengan teman sekelasku. Ia memutuskan untuk menarik tanganku untuk mengikutinya ke luar kelas. Kami pun berhenti di salah satu balkon dekat perpustakaan yang tidak terlalu ramai oleh siswa yang sedang istirahat.
“Ini lihat,” ucap Guntur yang menyerahkan sebuah pamflet yang ia cabut dari mading sekolah.
Aku melihat lembaran kertas itu. Ternyata itu adalah pengumuman pelaksanaan pentas seni sekaligus promnight yang sudah resmi diumumkan oleh panitia. Sekilas tidak ada yang aneh dengan pengumuman ini, sampai mataku tertuju pada tanggal pelaksanaan acara itu. Aku mencoba menghitung tanggal pelaksanaannya yang ternyata jatuh tepat pada malam satu suro.
“Nggak! Kita nggak bisa biarin, kita harus hentikan ini!” ucapku yang mulai ikut panik, mengingat kata-kata Eyang ketika kami menggunjunginya hari itu. Tidak boleh ada orang di sekolah saat malam satu suro.
“Entah mengapa aku merasa ini semua seperti sudah diatur.” Guntur terdiam sebentar. “Sebenarnya aku mulai curiga dengan seseorang, Rum, tapi aku tidak mau menuduh tanpa bukti,” jelasnya lebih lanjut.
“Coba lihat siapa nama guru penanggung jawab acara ini,” pinta Guntur.
Sekali lagi aku melihat ke arah pamflet itu hingga terhenti di nama seorang guru penanggung jawab.
Pak Fadil.
Seketika aku teringat kejadian saat Santi ke surupan di mata pelajaranya, lalu saat aku ingin menyelidiki hilangnya Pak Darno aku berpapasan dengan Pak Fadil di lorong yang tidak mengarah ke ruang guru.
“Pak Fadil sebelumnya ada di kelas 10 A bersama guru lainya saat murid-murid kesurupan, tapi saat kita datang ia menghilang entah ke mana,” ucap Guntur memperjelas kecurigaannya.
“Kalau gitu kita harus melaporkan hal ini!” ucapku yang ingin semua masalah ini cepat selesai.
“Nggak semudah itu, Rum. Kita harus punya bukti dulu. Mungkin sebaiknya, beberapa hari ini kita pantau pergerakan Pak Fadil terlebih dahulu.”
Aku setuju dengan pendapat Guntur. Bertindak gegabah bisa jadi malah akan mencelakai kami lagi pula kami masih memiliki waktu beberapa minggu sebelum promnight diadakan.
***
Beberapa hari berlalu sejak aku dan Guntur memperhatikan gerak-gerik Pak Fadil. Akhirnya, kami bisa menarik satu kesimpulan. Setiap sekolah mulai sepi, Pak Fadil kembali menyusup ke ruangan di belakang gudang olahraga, tempat pertama kali aku menemukan boneka Nini thowok itu.
“Ruangan itu harusnya sudah dibersihkan oleh Pak Rosyid. Apa masih ada yang terlewatkan, ya?” tanya Guntur yang terlihat berpikir keras.
“Nggak ada gunanya kita menebak-nebak, kita harus menyelidiki sendiri saat Pak Fadil ke sana,” saranku.
Akhirnya, tepat setelah bel tanda pulang sekolah berbunyi, aku dan Guntur janjian untuk menunggu hingga keadaan sekolah mulai sepi. Persis sesuai dugaan kami, terlihat Pak Fadil berjalan dengan hati-hati menuju ruang tersembunyi di belakang gudang peralatan yang sebenarnya sudah dikunci. Entah ia bisa mendapat kunci ruangan itu dari mana.
Aku memastikan keadaan sudah aman dan perlahan mendekati ruangan itu. Kami mencoba mengintip ke dalam ruangan melalui lubang angin yang terhubung dari ruang peralatan olahraga.
Benar. Itu benar-benar Pak Fadil.
Guru yang sudah terlihat sepuh itu membentangkan sebuah lipatan kertas dan menunjuk sesuatu seolah mengurutkan langkah-langkah ritual yang akan ia lakukan. Tiba-tiba saat ingin mengambil sesuatu, Pak Fadil menoleh ke arah lubang angin tempat kami mengintip. Beruntung kami sempat merunduk dan menghindari tatapannya. Jantungku berdebar keras. Kututup mulutku dengan telapak tangan, agar aku tidak mengeluarkan suara apa pun.
Saat keadaan kembali aman, kami kembali mengintip dan kali ini melihat Pak Fadil tengah menyimpan semua benda-benda itu di sebuah kotak tua di ujung ruangan yang ditumpuk dengan peralatan lain. Mungkin untuk mengecoh siapa pun yang memeriksanya.
“Kita harus mengecek kotak itu,” bisikku pada Guntur, tetapi Guntur malah menutup mulutku dan memaksaku untuk berjongkok di antara lemari dan kumpulan bola basket.
Aku cukup kaget. Rupanya, setelah itu suara pintu ruangan terbuka. Pak Fadil bergegas keluar ruangan dan menguncinya. Sebelum meninggalkan ruangan itu ia menoleh ke segala arah. Untung saja posisiku dan Guntur saat ini tidak terlihat olehnya. Setelah Pak Fadil meninggalkan tempat ini, Guntur masih terlihat tegang. Wajar saja, hampir saja kami ketahuan karena kebodohanku.
Aku juga tegang. Jantungku rasanya tak karuan. Bukan hanya karena takut ketahuan Pak Fadil, melainkan juga dengan posisi Guntur yang sedekat ini denganku. Entah kenapa, degup jantungku semakin kencang.
“Sudah aman… Maaf, ya, hampir aja tadi,” ucap Guntur setelah melepas bekapan tangannya dan beringsut menjauh. Sepertinya ia juga merasa canggung.
“I—iya nggak apa-apa, Guntur. Bikin kaget aja,” jawabku yang bingung harus membalas apa.
“Maaf, darurat soalnya.”
Aku membalikan badan dan sedikit merapikan rambutku.
“Nggak darurat juga nggak apa-apa kok,” ucapku dengan berbisik sambil menahan perasaan senangku yang muncul saat aku bisa sedekat itu dengan Guntur.
“Apa, Rum?”
“Ng—nggak! Nggak apa-apa,“ ucapku yang segera berjalan keluar mendahului Guntur. “Kita harus ketemu seseorang yang bisa membantu kita.”
***
“Eh, Arum, Guntur belum pulang?” tanya Bu Ratna yang melewati pos jaga Pak Darno dan melihat kami di sini.
“Iya, Bu. Mau ngedawet dulu. Sini, Bu, ikutan … Ikutan bayarin kalau bisa,” ucap Guntur seenaknya.
Dengan spontan aku meraih buku tulis di meja Pak Darno, dan memukulkannya ke kepala Guntur.
“Ngaco kamu! Maaf, ya, Bu. Guntur memang kayak begini kalo lagi mabuk dawet,” ucapku pada Bu Ratna.
Bu Ratna hanya tertawa dan menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah kami sebelum akhirnya meninggalkan sekolah.
Setelah Bu Ratna pergi, kami menceritakan tentang kejadian yang kami lihat tadi kepada Pak Darno. Aku dan Guntur sepakat untuk minta tolong Pak Darno untuk membukakan pintu ruangan tersembunyi tersebut. Wajah Pak Darno terlihat setengah tidak percaya, tetapi karena tahu kami tidak pernah berbohong, beliau pun memutuskan untuk mengantarkan kami ke ruangan itu dengan membawa rencengan kunci yang menjadi tanggung jawabnya.
Setelah pintu ruangan dibuka, dengan sigap kami menghampiri sudut ruangan tempat pak Fadil menyembunyikan peralatan ritualnya. Di sebuah peti kayu tua kami menyingkirkan beberapa spanduk-spanduk lama hingga menemukan benda yang kami cari. Sebuah lipatan kertas yang sepertinya terbuat dari kulit. Ada tulisan yang tertera di sana. Aku membacanya lebih dulu.
Tiga buah tengkorak manusia… Benda itu harus ditanamkan di tiga tempat berbeda hingga membentuk segitiga yang akan menjadi batas penanda. Seluruh manusia yang ada di dalam batas segitiga yang dibuat oleh kepala tengkorak itu akan menjadi tumbal… Tumbal yang akan menjadi bayaran atas kesaktian orang yang melakukan ritual ini.
Kertas itu terjatuh dari tanganku yang mendadak gemetaran. Aku tak mampu membayangkan apabila ritual ini berhasil dijalankan. Guntur juga membaca lembaran itu dan reaksi yang sama terlihat di wajahnya.
“Kita harus bilang ke Eyang. Kita cari tahu maksud ritual ini,” ucapku dengan tegas dan segera meninggalkan ruangan setelah meletakan lembaran itu di posisinya.
“Terima kasih, Pak Darno, maaf ngerepotin,” ucap Guntur yang segera menyusulku pergi.
Aku segera bergegas meninggalkan sekolah dan berniat langsung ke rumah eyangku di pinggir hutan. Guntur ada bersamaku, tapi tidak banyak perbincangan di antara kami berdua. Rasa khawatir akan tujuan akhir dari ritual itu memenuhi isi kepalaku.
Kami tengah berdiri di halte sekolah menunggu angkutan umum yang akan membawa kami ke rumah Eyang saat Guntur yang berdiri di sebelahku tiba-tiba jatuh terkapar. Darah menetes dari kepalanya. Saat aku mencoba memeriksanya, sebuah pukulan keras juga mendarat di kepalaku hingga semua pandanganku berubah menjadi hitam.
“Ini hukumanmu karena sudah ikut campur ….” Samar-samar terdengar suara seseorang di tengah hilangnya kesadaranku.
***
Aku membuka mata di sebuah bangunan yang asing. Bangunan ini nampak tua dan berornamen serbakayu. Hanya lampu teplok dengan api kecil yang menyala yang menerangi ruangan ini.
Sepertinya ini sudah malam.
Rasa sakit terasa dari belakang kepalaku seperti bekas pukulan benda tumpul.
Aku mencoba memeriksa sekeliling dengan cahaya yang seadanya dan terlihat seseorang terbaring tak jauh dari tempatku berada. Itu Guntur. Dengan segera aku menahan rasa sakitku dan berlari ke arahnya. Terlihat dari belakang kepalanya masih ada bekas darah yang mengalir. Kuambil sapu tangan dari saku rok dan menggunakanya untuk menutup lukanya.
“Guntur! Bangun, Guntur!” ucapku sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya. Namun, sama sekali tidak ada reaksi darinya.
Denyut nadi dari lengan Guntur masih terasa saat jariku mengeceknya. Namun, dengan luka di kepala seperti ini, aku tidak tahu apakah Guntur bisa bertahan.
“Gun—tur …”
Tepat saat aku mencoba menyadarkan Guntur, tiba-tiba sekilas ruangan menjadi gelap. Gelap ini aneh dan tak biasa, seolah-olah ada sosok besar yang menutupi lampu teplok di ruangan ini. Saat itu juga bulu kudukku merinding dan sesuatu mengganggu inderaku.
Aku mencoba mundur ke arah tembok kayu yang sudah lapuk, bermaksud memastikan keadaan ruangan ini, saat tiba-tiba tanganku terasa menyentuh suatu benda yang lembut dan terasa basah. Sontak aku berhenti.
Darah. Itu yang kusadari pertama kali saat merasakan tanganku menyentuh benda itu. Aku menoleh memastikan dan menemukan sekumpulan potongan tubuh manusia berserakan di sekitar dinding bangunan ini. Rasa mual muncul di perutku. Sayangnya, sebelum aku sempat berpikir selarik cahaya muncul sekilas, seolah ada sesuatu yang bergerak. Sepertinya memang ada sesuatu yang lain yang juga hadir di ruangan ini.
Dengan berhati hati, aku segera memfokuskan penglihatan pada mata batinku. Yang kukhawatirkan benar benar terjadi. Rupanya, bukan hanya aku dan Guntur yang ada di bangunan ini. Sosok makhluk hitam besar dengan wajah yang penuh luka mengerikan sedang menggenggam bagian tubuh manusia yang telah tercabik-cabik dengan tangannya yang dipenuhi cakar.
Itu adalah kata pertama yang ada di pikiranku saat ini. Namun, setelah kulihat lebih jauh, sepertinya makhluk ini bukan Genderuwo biasa, dia dikuasai oleh ilmu hitam yang dirapalkan oleh seseorang. Tangan besar makhluk itu mengambil kembali sebuah lengan manusia yang berserakan di tanah dan menggigitnya hingga darah bermuncratan di wajahnya. Sebuah pikiran ngeri muncul di benakku. Bagaimana jika setelah ini adalah giliran kami?
Dengan sekuat tenaga aku mencoba membangunkan Guntur, tetapi gagal. Aku mencari pintu di sekitar rumah ini, tetapi ternyata tidak ada. Hanya sebuah jendela yang cukup tinggi berada tak jauh dari makhluk itu berada. Mungkin hanya jendela itulah satu-satunya jalan keluar dari tempat ini.
Sayangnya saat ini makhluk itu sudah memalingkan wajahnya ke arahku, sudah menyadari keberadaanku. Merasa mendapat buruan baru, makhluk itu berjalan mendekatiku perlahan di tengah cahaya remang-remang lampu teplok di ruangan ini.
Aku berjalan mundur menjauhinya, tetapi aku tahu aku tidak bisa berlari ke mana-mana. Sebuah doa dan ayat suci kubaca untuk melindungi diriku dari niat makhluk ini, tetapi semua itu tidak berpengaruh banyak. Makhluk itu tetap berjalan ke arahku. Lengannya yang besar mengayun ke arahku dan aku menghindar semampuku hingga terjatuh. Makhluk itu tidak menyerah, iaa mendekatkan wajah hitamnya yang penuh borok bekas luka ke arahku dan kembali mengayunkan lengannya untuk menangkapku. Sekali lagi ia tidak berhasil. Sayangnya, kali ini kukunya berhasil melukai bahuku. Sekuat tenaga aku pergi menjauh lagi berharap aku bisa mengulur waktu hingga pertolongan datang atau saat matahari terbit. Anehnya, makhluk itu tidak mengejarku. Ia melihat ke arah Guntur yang terbaring tak sadar karena pukulan keras di belakang kepalanya.
“Guntur! Bangun! I—itu demit” teriakku, tetapi Guntur tetap tidak bereaksi.
Sebaliknya, genderuwo itu mendekati Guntur meletakan kedua tangan besarnya di sisi Guntur dan menjulurkan lidahnya bersiap menelan kepala Guntur.
TIDAK! Guntur bisa mati oleh makhluk itu! Rasa panik menjadi-jadi dalam diriku. Aku harus berbuat sesuatu. Ayolah, otak, berpikirlah!
Tangan makhluk itu mulai mencengkeram bahu Guntur dan menimbulkan luka baru di tempat itu hingga sekali lagi darah mengalir dari tubuh teman masa kecilku itu. Aku menangis sejadi-jadinya atas ketidakmampuanku. Bagaimana caranya aku menyelamatkan Guntur? Padahal dia sudah begitu sering menyelamatkanku. Aku merasa tidak berdaya. Seandainya saja ada sesuatu yang bisa kulakukan.
Tiba-tiba di tengah kebingunganku, aku teringat sebuah ritual yang pernah dilakukan anggota keluargaku. Sebuah ritual mediasi yang menjadikan manusia menjadi wadah untuk makhluk halus. Eyang pernah melakukanya untuk mengurung demit alas dan membawanya meninggalkan desa.
Getih anget panghubung dunyo … Rogo menungso pangiket nyowo … Sukmo lelembut kekurung ning batin … Jiwo aksoro nggandulke mayit …
Aku mengucap mantera yang kupelajari dari Eyang dengan perlahan. Sementara itu, kuambil beberapa tetes darah dari bekas lukaku, dan kubalurkan di telapak tangan. Tepat sebelum makhluk berwujud Genderuwo itu menghabisi Guntur, aku menerjangnya. Kusentuh wajah hitamnya dengan tanganku yang berlumuran darah hingga genderuwo itu berubah menjadi wujud roh dan merasuk ke dalam tubuhku.
Seketika tubuhku menjadi kaku. Mataku melotot seolah ingin meninggalkan tempatnya. Saat ini tubuhku sedang berjuang menerima keberadaan makhluk itu.
Ya. Saat ini makhluk mengerikan itu ada di tubuhku. Sekarang pun aku merasa ada sesuatu yang mencoba mengambil alih pikiranku ini, rasa panas yang ada di dadaku menandakan makhluk ini masih meronta berusaha untuk keluar dari tubuhku. Aku akan berusaha sekuat mungkin agar kesadaranku tidak kalah dari makhluk ini walaupun dengan resiko yang cukup besar. Setidaknya, inilah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Guntur.