Penghuni Sisi Lain Sekolah chapter 4 by Diosetta | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Nia, teman satu kelas Arum, dengan bangga memamerkan foto pacarnya yang berasal dari kelas 11 D. Itu aneh, karena kelas 11 di sekolah Arum hanya sampai di angka C. Lantas, sebuah fakta tentang ruangan rahasia yang terkubur puluhan tahun pun mulai terkuak. Samar-samar, Arum mulai meraba benang merah.
***
“Iya bener, Rin, dia dari kelas 11D.” Suara Nia terdengar sedang meyakinkan teman-temanya di kelas.
“Tapi kelas 11 itu cuma ada tiga, kelas A, Kelas B, sama kelas kita kelas C. Nggak ada kelas 11 lain, Nia,” ucap Rindi menyanggah pernyataan Nia.
“Ada. Mungkin kita yang nggak tahu. Nggak mungkin ‘kan dia dari kelas gaib?” ucap Nia lagi.
“Eh bisa jadi, coba tanya Arum deh,” ucap Rindi yang segera menoleh kepadaku. “Rum, memangnya kamu tahu kelas 11 D?” tanya Rindi.
Aku hanya menggeleng menjawab sepengetahuanku. Setelahnya Rindi mendekat kepadaku dan berkata dengan suara yang lebih pelan, “Kalau dari penglihatan gaibmu gimana? Jangan-jangan ada kelas gaib yang nggak bisa kita lihat?” tanya Rindi.
Satu-satunya kelas gaib yang kutahu adalah siswa yang menempati kelas sebelas A di malam hari. Namun, untuk ruangan kelas sebelas D aku memang tidak pernah melihatnya sama sekali.
“Nggak, Rin, nggak ada,” jawabku pada Rindi.
Rindi hanya mengangguk dengan memangkukan tangannya di dagu layaknya seorang detektif yang sedang berpikir. “Tuh, Nia. Berarti kesimpulan yang bisa kita ambil Cuma satu. Kamu halu!” ucap Rindi dengan frontal, tetapi dengan nada bercanda.
“Dih … enak aja! Lihat besok aku ikut ke kelasnya, dan aku foto! Jangan iri kalian kalau liat pacarku!” balas Nia dengan yakin sambil menunjukan telepon genggam berkamera keluaran terbaru miliknya.
Sesekali aku tertawa mendengar perbincangan kelas ini yang semakin ramai. Rasanya ingin sekali aku bergabung bersama mereka, tapi aku masih malu mengingat kejadian kemarin saat aku menari di tengah lapangan.
Walaupun cukup banyak kejadian aneh di sekolah ini, entah mengapa aku merasa semakin nyaman berada di sini. Teman-temanku tidak lagi memandangku dengan aneh dan memaklumi kemampuan yang kumiliki.
Sepulang sekolah Guntur ternyata sudah menungguku di pos jaga Pak Darno.
Aku memelototkan mataku ke arah Guntur dan mengangkat kedua tanganku membentuk cakar. “Hantunya!” jawabku dan langsung melengos meninggalkan dia.
Guntur tertawa. “Kalau hantunya kayak kamu, aku mau dong digentayangin,” katanya balas meledek, sembari bergegas menyusulku.
“Lagian udah kenal seumur hidup masih pake basa-basi segala.”
Guntur hanya tersenyum sambil menggaruk kepalanya.
“Arum, kita duluan, ya!”
Terlihat Rindi dan Santi menaiki sepedanya melewati kami. Guntur melihat ke arah mereka seolah memikirkan sesuatu, lantas menatapku dengan ekspresi penuh arti.
“Wah, makin banyak nih temanmu, Rum,” komentar Guntur.
“Iya, aku pake ilmu pengasihan,” jawabku.
Mendadak Guntur menghentikan langkahnya dan memegang bahuku. “Yang bener kamu? Jangan main-main!” tanya Guntur yang terlihat marah.
Aku hanya tertawa melihat reaksinya.
“Nggak mungkin lah, Tur. Kok percaya aja sih kamu? Kalau pake begituan kamu juga langsung sadar, kan?”
“Eh, iya juga sih. Gila ya, sekarang kamu sudah pintar bercanda.”
Aku tak henti-hentinya tertawa melihat tampang lucu Guntur.
***
“Rindi, Kamu tahu kenapa Nia nggak masuk?” tanya Bu Ratna yang mulai khawatir setelah dua hari ini Nia tidak masuk sekolah.
“Saya nggak tahu, Bu. Saya telepon juga tidak diangkat,” jawab Rindi.
“Kalau ada yang tahu kabarnya segera info ke saya atau ke guru siapa pun, ya. Barusan orang tuanya datang, dan ternyata kemarin Nia tidak pulang ke Rumah”
Seketika ucapan Bu ratna tadi menimbulkan kericuhan di kelas. Banyak yang berspekulasi dan beberapa ada yang menghubungkan dengan cerita Nia tentang kelas 11 D.
“Rum, apa Nia malu ya gara-gara ketahuan halu?” bisik Rindi.
“Nggak mungkin lah, Rin. Kalaupun iya, ‘kan malunya sama kita bukan sama orang tua mereka, harusnya dia tetap pulang ke rumah,” jawabku.
Hari berganti, Nia belum juga terlihat. Kali ini bukan hanya orangtua Nia yang datang. Beberapa polisi juga mendatangi sekolah untuk meminta keterangan. Hingga akhirnya, sekolah memutuskan untuk membentuk tim pencarian. Mereka mengajakku dan Guntur serta beberapa anak ekskul pecinta alam untuk menyusuri sekolah untuk mencari keberadaan Nia.
“Rum, Nia itu yang kemarin berpapasan sama kita setelah insiden penari itu kan?” tanya Guntur.
“Iya, tapi habis itu besoknya dia masih masuk kelas,” jawabku.
Sepulang sekolah kami mengadakan rapat singkat untuk membagi wilayah pencarian. Aku dan Guntur ditugaskan mencari di area sekolah bagian barat didampingi oleh Bu Ratna Sedangkan kelompok lain bersama Pak Darno di sebelah timur, dan sebagian ke warga sekitar sekolah.
Ada beberapa tempat yang kami curigai. Pertama, adalah bangunan gudang sekolah tempat bermain makhluk berwujud anak kecil beberapa waktu lalu. Kami memperhatikan seluruh ruangan hingga membolak balik kursi kayu yang menumpuk di sana. Sayangnya, Nia tidak ada di sana.
Berikutnya adalah tempat yang sangat aku hindari. Pohon beringin besar di pinggir lapangan tempat Pak Darno diculik. Aku sangat berhati-hati di tempat ini, mengingat pengalamanku malam itu kurang menyenangkan.
Dari jauh, aku sudah terlihat sosok hantu wanita dengan pakaian kebayanya mengawasi kami dengan wajah penuh amarah. Yang semakin membuatku merinding, di tangannya masih tergenggam sepotong kepala manusia dengan mata yang masih terbuka.
Kami mengelilingi pohon itu dari jauh, sengaja menjaga jarak agar tidak memasuki teritori hantu itu. Sayangnya kami sama sekali tidak menemukan sosok Nia ataupun manusia lain berada di akar-akar pohon beringin seperti Pak Darno dulu. Seolah sadar akan tingkah kami yang sedang mencari sesuatu, hantu wanita itu menatap Guntur dan memalingkan wajahnya ke arah timur sekolah. Sepertinya ada sesuatu yang mengganggunya dari arah itu.
“Bu Ratna, di timur bangunan sekolah itu tempat apa, ya?” tanya Guntur.
“Di sana cuma ada gang kecil dan selokan air. Memangnya kenapa?” tanya Bu Ratna.
“Nggak, Bu. Soalnya pertama kali saya melihat Nia, dia berlari dari arah sana. Ada Bu Ratna juga kan waktu itu?”
Ucapan Guntur ada benarnya. Arah ke mana hantu itu memandang adalah arah yang sama dengan saat Nia berpapasan dengan kami setelah kejadian penari itu.
“Tim satunya sudah mencari ke sana, apa kita perlu ke sana juga?” tanya Bu Ratna.
“I—Iya Bu, Arum penasaran.”
Bu Ratna mendukung keputusan kami dan mengantar kami ke sisi timur sekolah. Terlihat sebuah gang kecil yang berbatasan dengan tembok sekolah. Di sana hanya terdapat selokan dan rumput yang tak terawat.
Kami menelusuri itu dan tidak menemukan apa pun. Dari depan kami terlihat regu yang ditemani oleh Pak Darno berjalan. Sepertinya mereka telah selesai memeriksa tempat ini.
“Bagaimana? Ada petunjuk?” tanya Bu Ratna.
“Nggak ada, Bu, kami sudah menyusuri rumput dan selokan sekitar sini tapi tidak ada apa pun,” jawab salah seorang dari kelompok itu.
“Beneran, Pak, nggak ada apa-apa?” tanyaku pada Pak Darno.
“Nggak ada, Mbak Arum, kami sudah menelusuri dengan teliti. Kita agak buru-buru juga soalnya dari arah saluran air sana juga bau amis,” terang Pak Darno.
“Ya sudah kalau begitu, Pak,” balasku.
Aku merasa kecewa tidak mendapat petunjuk di tempat ini. Namun, sebelum meninggalkan tempat ini, aku mencoba untuk memperhatikan sekeliling bangunan itu sekali lagi. Lantas aku baru tersadar bahwa lokasi toilet dan tempat pembuangan sampah cukup jauh dari tempat ini.
“Pak Darno, bau amisnya seperti apa?” Aku menghentikan pak darno dan memastikan sekali lagi.
“Amis … nggak bisa dijelasin, Mbak. Yang jelas, nggak seperti bau sampah atau bau kamar mandi, lebih ke bau hewan mati.”
Aku berpikir sejenak, mendadak aku juga mengingat kata-kata Rindi bahwa dia mencoba menelepon Nia, tetapi tidak ada yang mengangkat.
“Arum, jangan-jangan maksud kamu—”
Aku mengangguk sebelum Guntur mengucapkan kata itu. Bau amis dari satu tempat tanpa ada sumbernya, kemungkinan itu pertanda bahwa tempat itu dikuasai oleh sosok makhluk makhluk halus yang sangat kukenal. Wujudnya sangat ikonik, liurnya bisa membuat rasa gatal yang tak tertahankan, dan kemunculannya selalu ditandai dengan bau amis.
Pocong.
“Guntur, coba telepon ke nomor Nia!” perintahku sambil kembali menyusuri jalur yang tadi sudah ditelusuri Pak Darno dan yang lain sebelumnya.
Sampai di tengah gang, bau amis yang diceritakan Pak Darno mulai tercium dengan sangat kuat. Bau yang sangat kukenal. Bau makhluk yang dulu sering menghantuiku semasa kecil dan tetesan liurnya menyebabkan luka pada tubuhku. Saat mengamati sekitar bangunan, aku melihat ada selokan air yang membelah bangunan sekolah. Ini aneh. Seingatku, bangunan sekolah ini merupakan bangunan utuh. Kenapa sekarang jadi terbagi?
Bu Ratna menggeleng mengisyaratkan bahwa beliau juga tidak tahu menahu soal selokan ini.
“Arum, hape Nia masih aktif!” ucap Guntur.
Di saat yang sama, aku seperti mendengar getaran rendah di sekitar tempat ini. Kutempelkan telingaku pada dinding sekolah dan suara getaran itu semakin jelas, berasal dari ujung tempat itu.
Dengan segera aku mencopot sepatuku dan melangkah melalui saluran air menuju ujung selokan air di celah antarbangunan itu.
“Tunggu, Rum! Aku ikut!”
Guntur menyusulku, begitu juga dengan Pak Darno. Namun, mereka meminta Bu Ratna dan yang lain untuk tinggal dan berjaga di sana.
“Pak Darno yakin mau ikut?” tanya guntur.
“Ya masak bapak masrahin masalah begini sama kalian, kan ini tugas Bapak juga,” jawab Pak Darno.
“Lah, emang Bapak tahu ada apa di sana?” lanjut guntur
“M—memangnya ada apa, Mas Guntur?”
“Pocong.”
Seketika Pak Darno yang berjalan di depan Guntur berhenti dan menoleh ke arah pemuda yang terlihat santai itu.
“Kok baru ngasih tahu sekarang sih, Mas Guntur …,” ucapnya dengan wajah yang memelas.
Bukanya kasihan, Guntur malah tertawa melihat reaksi Pak Darno.
“Lah, ‘kan Bapak yang inisiatif mau ikut. Udah tenang aja, ada Mas Guntur di sini,” balasnya dengan raut wajah mengesalkan yang ingin sekali kucubit.
Tidak jauh, tidak sampai dua puluh meter dari bagian timur sekolah, kami dikejutkan dengan adanya sebuah ruangan gelap yang penuh dengan bau amis.
“Ini ruangan apa, Rum?” tanya Guntur.
Aku tidak bisa menjawab, karena aku juga tidak tahu. Sebenarnya, aku berharap Pak Darno yang akan menjawab, tetapi beliau juga terlihat kaget melihat ruangan ini.
Tersadar dengan keanehan ini, Pak Darno mengeluarkan senternya dan menerangi ruangan ini tanpa melewati celah sedikit pun. Hingga akhirnya, cahaya itu mencapai ke salah satu sosok perempuan yang terduduk di antara kursi-kursi lapuk yang bertumpuk berantakan.
“Nia! Itu Nia!” teriak Pak Darno.
Namun, sebelum Pak Darno berlari ke sana, aku segera menahanya.
“Kenapa, Mbak Arum? Itu Nia—”
“Sabar dulu, Pak. Pak Darno nggak ingat yang Guntur bilang tadi?”
Mendengar ucapanku, sontak Pak Darno kembali mundur dan bersembunyi di belakang kami.
“Ada dua ya, Rum?” tanya Guntur.
“Ada Tiga. Satu di belakang kita di sebelah kanan pintu masuk,” jawabku.
Mengabaikan Guntur dan Pak Darno, aku berusaha memfokuskan pikiran dan mencoba berkomunikasi dengan penghuni tempat ini.
Tepat setelah pertanyaanku itu kepalaku merasa sakit seolah ada sesuatu yang memasuki pikiranku.
“Arum, kamu nggak apa-apa?” tanya Guntur yang menahan tubuhku.
Perlahan sebuah penglihatan memasuki pikiranku.
***
Tiga orang pemuda dengan pakaian yang terkesan kuno terkurung di lubang tanah yang mereka gali sendiri. Di atasnya, terlihat beberapa orang yang hanya memandang kosong ke arah mereka. Tak lama, sebuah truk keruk bego mendekat dan menumpahkan tanah. Satu demi satu, tak peduli teriakan ketiga pemuda di bawah sana yang akhirnya terkubur hidup-hidup. Keesokan harinya, lubang itu kembali digali, dan mayat ketiga pemuda dikuburkan dengan kafan yang tidak dilepas ikatan talinga. Rupanya, ketiga pemuda itu dijebak dan dijadikan tumbal. Mandor dan kontraktor percaya bahwa mereka harus mengorbankan ketiga pekerjanya yang paling muda, agar proyek itu berjalan lancar, dan bangunan itu akan tetap kokoh selama roh tiga pemuda itu menjaganya.
Adegan lantas berubah. Situasi terlihat lebih modern dan ramai. Rupanya bangunan itu digunakan sebagai sekolah menengah atas. Banyak siswa dan siswi berseragam yang beraktivitas. Sayangnya, satu demi satu kejadian mengerikan mulai terputar. Banyak siswa yang celaka dan mengalami kejadian tak wajar. Mulai dari kecelakaan tragis, hingga siswa bunuh diri. Semua baru berhenti ketika kelas dan bangunan itu ditutup dan dibiarkan terbengkalai hingga bertahun-tahun.
Adegan lain menunjukkan beberapa pekerja bangunan dan kontraktor berusaha merubuhkan bangunan tersebut untuk direnovasi. Sayangnya, upaya itu tidak pernah berhasil tanpa alasan yang jelas. Padahal mereka sudah menggunakan alat-alat berat. Kepala sekolah saat itu lantas menemui seorang sesepuh dari desa, dan meminta saran. Sayangnya, jawaban sesepuh desa membuatnya dilema.
“Sama seperti cara pembangunannya dulu, menghancurkan bangunan itu juga membutuhkan tumbal nyawa.”
Adegan berubah lagi. Kini terlihat pekerja bangunan membangun banyak gedung di sekitarnya. Nampaknya, kepala sekolah memilih untuk menyembunyikan ruangan itu di sela-sela bangunan sekolah. Waktu demi waktu berlalu, ruangan itu mulai tertutupi, dan kisah tragis ruangan itu pun mula terlupakan.
Hingga suatu hari, seorang laki-laki dengan baju safari dan raut wajah tak begitu jelas mendatangi tempat itu, dan mengatakan bahwa roh ketiga pemuda itu bisa bebas bila mereka bisa mencari korban pengganti. Salah satu pocong itu kemudian mengubah diri menjadi manusia biasa dan mulai mencari korban. Terakhir, pocong yang mengubah diri menjadi manusia itu membawa seorang remaja berpenampilan persis Nia masuk ke dalam bangunan.
Tepat setelah penglihatan itu menghilang aku seperti tersengal-sengal. Bersusah payah, kutarik napas sedalam-dalamnya dengan wajah yang panik.
“Kenapa? Apa yang terjadi, Rum?!” tanya Guntur.
Aku segera berdiri dan menatap ke arah ketiga makhluk yang terbungkus kain kafan itu.
“Nggak! Kalian tidak akan bisa bebas dengan mengorbankan orang lain! Itu hanya akan menambah dosa kalian di akhir zaman nanti!” teriakku.
Mendengar teriakanku ketiga makhluk itu semakin terusik dan perlahan mendekati kami.
“Pak Darno, kami akan berusaha menenangkan mereka. Selama kami melakukan itu, Pak Darno tolong bawa Nia ke tempat yang aman!” perintah Guntur yang sepertinya bisa membaca situasi ini.
Seketika kami berdua membacakan doa untuk ketiga makhluk itu dan membuat mereka terhenti. Namun, sepertinya itu tidak cukup. Ketika perhatianku sedikit lengah karena sibuk memperhatikan Pak Darno yang tengah membopong tubuh Nia yang masih tak sadarkan diri, salah satu makhluk itu tiba-tiba sudah ada di depan mataku.Wajahnya sudah membusuk dengan belatung yang keluar dari semua lubang yang ada di wajahnya.
Terkejut, aku jatuh terduduk di tengah ruangan yang selalu basah dengan air dari selokan di depannya. Jantungku berdebar keras, dan sendi-sendi tulangku terasa lemas.
“Tenangkan dirimu, Arum. Kita pernah menghadapi mereka waktu kecil, harusnya sekarang juga bukan masalah.”
Mendengar ucapan Guntur, mau tak mau aku teringat saat kecil dulu Ibu dan Guntur meminta bantuan seseorang untuk menghadapi pocong yang mencelakaiku. Saat itu, tanpa kami ketahui ternyata rumah kutinggali bersama ibu berada di atas tanah tempat di mana jasad tak bertuan dikuburkan. Banyak roh yang masih menyimpan dendam berbentuk pocong yang berniat mencelakaiku. Pocong itu selalu mengambil tempat di sisi gelap rumah dan terkadang meneteskan liurnya yang menyebabkan luka gaib bila tersentuh oleh manusia.
Seseorang yang membantu Guntur saat itu membacakan doa pada air sebagai medianya dan menyiramkanya ke tubuhku yang terluka dan ke seluruh tempat yang di kuasai pocong itu. Kini aku dan Guntur sudah mempelajari doa-doa itu. Aku menggunakan garam laut yang selalu kubawa sementara Guntur mengeluarkan sebotol air dari tasnya. Kami membacakan doa tanpa henti hingga ketiga makhluk itu merasa terusik.
Agar mereka tidak semakin mendekat, aku melemparkan garam yang sudah kubawa untuk mengusir mereka. Sementara itu, Guntur juga masih menyelesaikan ritualnya. Ia menyiramkan air itu ke sekeliling ruangan ini dengan maksud membersihkan semua kutukan yang mengikat ketiga makhluk itu.
Saat Guntur sudah selesai, aku segera menjaga jarak dari mereka.
“Sudah! Kalian bisa pergi!” teriakku sebelum sosok makhluk itu kembali mendekat kepadaku.
Seolah merasakan sesuatu, tiba-tiba ketiga makhluk itu mulai memudar dari pandangan kami. Semoga saja mereka memang benar bisa tenang setelah semua yang kami lakukan.
Aku membacakan doa lelayu untuk menghantarkan kepergian mereka dan berharap mereka bisa pergi dan tidak mengganggu siapa pun yang ada di sekolah ini.
***
“Pak Darno, bagaimana kabar Nia?” tanyaku yang sudah berganti baju dan segera menyusul ke UKS.
Pak Darno hanya bergeser dari posisinya dan menunjukan wajah Nia yang lemas kepadaku.
“Arum, kamu yang nolongin aku ya?” tanya Nia dengan suara lirih.
“Eh, E—enggak. Banyak yang nolongin kamu, udah kamu istirahat aja, ya. Nanti kalau sudah sehat baru masuk sekolah lagi,” ucapku.
“Iya bener, Nia. Bu Ratna sudah manggil ambulans dan orangtuamu. Mudah-mudahan kamu bisa cepet pulih,” lanjut Pak Darno.
Nia hanya tersenyum sambil mengatur napasnya.
“Terima kasih, ya, Rum. Nanti kalau udah sehat aku traktir mi ayam, ya! Kamu nggak boleh nolak, lho.”
Aku mengangguk dan melemparkan senyumku padanya dan segera meninggalkan ruang uks.
“Udah pamitannya?” tanya Guntur yang sudah menunggu di depan ruang UKS.
Aku mengangguk sambil merenggangkan badanku yang tegang setelah kejadian tadi.
“Langsung pulang apa es dawet dulu?” tawar Guntur.
“Daweeet!!!” teriakku dengan manja sambil mendorong punggung Guntur menuju depan sekolah di mana tukang es dawet selalu setia menunggu pembelinya.
Tepat sebelum kami meninggalkan sekolah, tiba-tiba seperti ada angin yang berhembus meniup tengkukku. Sesuatu yang menimbulkan rasa yang tidak nyaman kembali datang dari salah satu sisi sekolah. Aku menoleh ke lantai balkon lantai tiga di mana asal sesuatu yang mengganggu inderaku. Sekilas terlihat benda yang bergoyang berbentuk boneka kayu seukuran manusia dengan kepala dari batok kelapa yang di rias seperti manusia.
“Kenapa, Rum?” tanya Guntur yang bingung dengan tingkahku yang tiba-tiba berhenti.
“I—itu …” ucapku sambil menoleh ke arah benda itu, tetapi benda itu sudah tidak ada di sana.
“Itu apa? Ada apa di sana?” tanya Guntur, sepertinya ia juga tidak melihat apa yang kulihat.
Ah, sudahlah. Mungkin aku yang terlalu lelah. Segera aku menarik tangan Guntur dan membawanya ke tempat langganan kami di depan sekolah. Saat tengah menikmati es dawet, ingatanku kembali ke ruangan terbengkalai itu. Siapa laki-laki bersafari yang memprovokasi ketiga roh pemuda itu?