Penghuni Sisi Lain Sekolah chapter 3 by Diosetta via www.hipwee.com
Setiap menjelang tengah hari, suara gamelan mengalun dari sekolah Arum. Puncaknya, saat hujan deras mengguyur, seorang siswi menari kesetanan mengikuti suara gamelan di tengah lapangan sekolah, hingga tulang-tulangnya patah. Teror apa lagi yang sedang dihadapi oleh Arum?
***
Gending suara gamelan mengalun ke seluruh penjuru desa sejak matahari terbenam. Sebagian warga menganggap itu hanyalah suara musik dari hajatan yang diadakan oleh seseorang. Namun beberapa warga yang penasaran mencoba mencari tahu asal suara itu.
Denting demi denting yang terdengar mengarahkan mereka ke sebuah sekolah juga yang berada di desa. Anehnya, tidak ada satu pun acara atau hajatan di tempat itu.Salah satu warga kemudian memberanikan diri untuk datang ke sana dan mengintip ke dalam sekolah. Awalnya hanya kegelapan yang menjawab rasa penasarannya. Hingga tatapannya berhenti pada salah satu jendela yang ada di ruangan lantai atas.
Entah apa yang ia lihat di sana, seketika wajah warga desa itu menjadi pucat dan berusaha berlari meninggalkan sekolah yang terlihat mengerikan di bawah gelapnya langit malam.
***
“Rum, kamu nggak mau ikut ekskul? Biar ada kegiatan gitu sepulang sekolah,” tanya Rindi yang sudah mulai akrab denganku setelah kejadian Santi kesurupan beberapa hari yang lalu. Sebenarnya tak hanya Rindi, Santi dan beberapa teman sekelasku juga mulai tidak canggung saat berbicara denganku.
“Nggak, Rin. Rumahku jauh. Kalau ikut ekskul bisa-bisa aku pulang malam terus,” jawabku pada Rindi.
“Yah … sayang, ya. Coba kamu bisa ikut ekskul paskibra sama aku pasti seru,” ucap Rindi dengan raut wajah yang kecewa.
Aku hanya tersenyum untuk menjawab rasa kecewa Rindi.
Bel tanda masuk kelas berbunyi, menandakan istirahat sudah selesai. Bu Ratna memasuki kelas dan bersiap mengajarkan mata pelajaran sejarah. Bagiku, pelajaran ini cukup menyenangkan. Rasanya aku seperti mendengar dongeng mengenai kisah-kisah yang terjadi di negeri ini pada zaman dahulu. Kali ini, Bu Ratna menceritakan kisah tentang kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa.Aku menyimak kisah sejarahnya,sambil sesekali menoleh kearah jendela luar menikmati warna langit yang terlihat jelas dari jendela kelas.
“Ssst… Arum, kamu dengar suara musik gamelan nggak?” Tiba-tiba Rindi yang duduk satu meja denganku, secara otomatis memecahkan lamunanku.
“Iya, Rin. Kenapa?”
“Kamu nggak sadar? Suara gamelan ini kan kedengeran setiap jam dua belas siang. Kamu nggak ngerasa ada yang aneh?” tanya Rindi.
“Aneh? Aneh kenapa? Paling ada warga desa yang bikin hajatan,” jawabku.
“Nggak ada, Arum. Nggak ada hajatan. Lagi pula suara ini juga sudah kedengaran sejak beberapa hari yang lalu,” lanjut Rindi yang masih penasaran. “Masa iya hajatan setiap hari?”
Aku berpikir sejenak. Memang benar kata Rindi, suara ini sudah beberapa hari terdengar di sekolah kami dan selalu di waktu yang sama. Namun, sebelumnya aku memang tidak merasa ada kejanggalan atas hal ini.
“Udah, Rin, nggak usah mikir yang aneh-aneh. Fokus tuh sama Bu Ratna,” balasku.
Kali ini waktu berjalan begitu cepat. Sesekali Rindi masih mengutarakan rasa penasarannya tentang suara gending gamelan yang mengalun di tengah hari. Sampai akhirnya, tanpa sadar bel tanda pulang sekolah berbunyi. Bu Ratna segera membubarkan kelas dan mempersilahkan kami untuk pulang.
“Mau ke mana, Rum? Belum mau pulang?” tanya Guntur yang berpapasan denganku di koridor depan kelas
“Iya, mau ke muter-muter dulu sebentar,” jawabku.
“Suara gamelan ini, ya?”
Sontak langkahku terhenti. Rupanya Guntur juga sadar mengenai keanehan suara gamelan ini. Namun, sebelum mengambil kesimpulan, setidaknya aku harus mencoba mencari tahu mengenai sumber suara ini.
“Iya, aku penasaran, mumpung masih di sekolah sekalian mau nyari tahu.”
“Ya sudah, aku temenin.”
Aku setuju. Lantas kami mulai mendatangi tempat pertama, yaitu ruang seni di mana di sana tersusun lengkap alat musik gamelan mulai dari gong, bonang, siter, kethuk, dan berbagai jenis alat musik lain yang memang sekarang jarang digunakan. Aku memperhatikan seisi ruangan dari jendela luar, tetapi sama sekali tidak ada petunjuk mengenai suara gamelan ini di ruangan itu.
“Sudah, Rum. Nggak ada apa-apa, kita cek ruangan lain aja,” saran Guntur.
Aku setuju dengan Guntur dan meninggalkan ruangan besar yang terdapat di ujung lorong lantai paling atas itu.Tepat sebelum melewati batas pintu ruangan itu, seketika sesuatu memaksaku untuk menghentikan langkah.Entah, rasanya seperti ada sesuatu yang menatapku dengan tajam dari arah tak jauh dari tempatku berada saat ini. Aku mencoba menoleh ke segala arah mencari keberadaan sesuatu yang menggangguku, tetapi tidak bisa menemukan apa pun yang terlihat mencurigakan.
“Kenapa, Rum?” tanya Guntur yang penasaran dengan sikap anehku.
“Kamu nggak ngerasain? Kayak ada sesuatu yang menatap kita dari suatu tempat,” jawabku.
Guntur menggeleng. Ia juga memperhatikan sekitar kami dan sama-sama tidak menemukan apa pun. Sebelum pergi aku mengecek sekali lagi apa yang terlihat di sekitarku. Sesuatu yang paling mencolok adalah selendang hijau yang tergantung di antara kostum-kostum penari. Selebihnya, tidak ada yang aneh.
Cukup lama kami berkeliling sekolah, tetapi tidak menemukan apa pun yang bisa menjadi petunjuk.
“Gimana, Rum? Suara ini udah jelas bukan suara dari alam manusia, tapi kita juga nggak bisa nemuin asal suara ini?” tanya Guntur.
“Ya, sudah. Kita biarin aja. Toh, selain suara yang terdengar, nggak ada kejadian apa-apa, ‘kan?” jawabku. “Selama nggak mengganggu, kita nggak mengusik mereka juga.”
Guntur mengangguk. Kami segera meninggalkan sekolah dan berpamitan dengan Pak Darno yang masih setia menjaga gerbang sekolah sebelum memastikan tidak ada lagi siswa di sekolah.
“Tur gimana kalau kita tanya sama Eyang? Mungkin Eyang bisa tahu sesuatu,” ajakku pada Guntur.
“Eyang? Ng—nggak usah,” balas guntur yang segera menolak.
Sebenarnya aku tahu kenapa ia tidak mau diajak bertemu eyangku yang sebenarnya juga dekat dengan Guntur.
“Ayo, dong? Temenin aku, jalannya ‘kan jauh … Arum ‘kan capek kalau sendirian,” ucapku dengan nada genit, sengaja untuk menggoda Guntur dengan wajah yang manja.
Dengan segera telapak tangan Guntur yang besar menutup wajahku berusaha mengalihkan ekspresiku yang dibuat-buat itu.
“Nggak usah sok imut! Nggak mempan!” ucap Guntur. Dia memang berkata seperti itu, tapi sebenarnya wajahnya juga terlihat memerah melihat tingkahku barusan.
“Ya sudah, temenin aja … nanti aku bilang ke Eyang supaya jangan galak-galak,” ucapku.
Setelah berdebat cukup lama akhirnya Guntur setuju untuk menemaniku ke rumah Eyang sebelum pulang ke rumah.
Eyang tinggal di sebuah rumah di pinggir desa yang tidak jauh dari mulut hutan. Keluarga kami sudah pernah mengajaknya untuk tinggal bersama, tapi Eyang lebih memilih tinggal di sana karena lebih senang menyendiri.
“Kulonuwun …” (Permisi)
Aku mengetuk pintu rumah kayu yang terlihat cukup reyot di hadapanku. Perlahan suara langkah kaki mendekat ditemani dengan suara tongkat yang mengetuk lantai rumah itu. Tepat ketika suara pintu rumah terbuka sebuah sandal jepit melayang tepat ke wajah Guntur.
“Bocah gemblung! Ngapain kamu deket-deketin cucuku?!” ucap seorang Nenek yang menyambut kedatangan kami dengan tingkah lakunya yang tidak pernah bisa diduga.
Eyang menyambut kedatangan cucu-cucunya | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Dih, Eyang … Guntur nemenin Arum doang! Bener!“ jawab Guntur yang juga segera menjaga jarak menjauh dari Eyang.
Sayangnya Eyang malah mencopot sandal jepit yang tersisa di kakinya dan bersiap melemparkanya ke arah Guntur lagi. Memang begitulah mereka, tingkah laku mereka berdua selalu bisa membuatku tertawa.
“Sudah Eyang, sudah … Arum yang minta ditemenin sama Guntur,” ucapku sambil menggandeng lengan Eyang.
“Sing bener kowe?” (Yang benar kamu?) tanya Eyang yang tidak percaya.
Aku mengangguk sambil tersenyum.
“Tuh! Arum yang ngajak Guntur ke sini. Makanya Eyang jangan galak-galak!” ucap Guntur setengah meledek.
Spontan Eyang berbalik ingin melemparkan sesuatu lagi, tetapi aku menahanya dan mengajaknya masuk.
“Eyang sehat? sudah makan belum?” tanyaku yang mencoba memastikan kabar Eyang.
“Uwis, Nduk. Eyang habis panen singkong tadi, nanti kamu bawain juga buat Ibumu, ya,” ucap Eyang.
Aku mengobrol obrolan ringan sama Eyang sambil sedikit membereskan rumah yang selama ini ia urus sendiri.
“Eyang, itu cucu Eyang tersayang mau nanya,” ucap Guntur tiba-tiba, sembari masih sibuk dengan singkong goreng yang kusiapkan untuknya di ruang tamu.
“Kenapa harus Arum yang nanya? Bukan kamu?” tanya Eyang.
“Kalau aku yang nanya nanti dijawab pakai ilmu silat … males!” jawab Guntur dengan raut wajah seperti anak kecil.
Saat Eyang masih sehat dan kuat, Eyang jugalah yang mengajarkan ilmu bela diri pada Guntur. Sahabatku itu sudah berlatih ilmu bela diri sejak kecil. Makanya Eyang dan Guntur bisa seakrab ini. Sekarang walaupun Eyang sudah tua, beberapa pendekar dan orang sakti masih ada yang mengingat tentang masa jaya Eyang saat masih memiliki ilmu.
“Iya, Eyang, ada yang mau Arum tanyain. Eyang tahu tentang suara gamelan yang akhir-akhir ini sering kedengeran, nggak?” tanyaku
Mendengar pertanyaanku, Eyang segera menghampiri kami dan mencari posisi yang nyaman untuk duduk.
“Iya, Nduk. Eyang juga khawatir sama suara gamelan itu. Apalagi suaranya berasal dari sekolahmu,” ucap Eyang. “Sesuatu seperti memberi tahu Eyang bahwa suara Gamelan itu pertanda akan adanya suatu bencana. Mungkin ada kaitannya dengan demit-demit yang selalu berkumpul di sekolahmu setiap malam satu suro.”
Aku saling bertatapan dengan Guntur. Penjelasan Eyang membuat kami menjadi semakin gelisah. Kami tidak pernah menyangka bahwa suara gamelan itu adalah suatu pertanda yang tidak baik.
“Terus, Eyang, apa ada yang bisa kita lakukan?” tanya Guntur.
Eyang menggeleng.
“Tidak usah, selama tidak ada siswa di sekolah saat malam satu suro seharusnya tidak ada yang akan celaka,” jelas Eyang.
Sepertinya aku mengerti. Suara Gamelan itu seolah menandakan mulainya suatu pentas dengan puncak acara saat malam satu suro nanti. Semoga saja cerita dari Eyang benar, dan hal itu tidak akan mencelakai teman-temanku.
Setelah puas berbincang dengan Eyang, kami pun pamit. Masih seperti tadi, tingkah lucu Guntur dan Eyang hampir tidak bisa membuatku berhenti tertawa.
“Guntur.”
Tepat sebelum melangkah meninggalkan rumah kayu itu, Eyang memanggil Guntur dengan wajah serius.
“Ingat janjimu.”
Aku tidak mengerti janji apa yang mereka maksud. Yang kulihat, Guntur hanya mengangguk dan meninggalkan rumah Eyang tanpa berkata lebih lanjut.
***
Hari berlanjut semakin siang. Mata pelajaran fisika yang kelas kami dapati barusan membuatku cukup penat dan ingin segera meninggalkan kelas. Untung saja lonceng tanda istirahat segera berbunyi. Seluruh siswa berhamburan berusaha mencari udara segar untuk melepaskan penatnya.
Tepat pukul dua belas siang, awan hitam menyelimuti langit di atas sekolah. Tak lama kemudian hujan deras datang disusul dengan gemuruh petir.
Kembali suara gamelan terdengar mengalun di tengah hujan deras ini. Kali ini berbeda dengan sebelumnya, suara ini dimulai dengan sebuah pukulan gong yang sangat keras. Entah bagaimana aku menggambarkannya, gending yang terdengar saat ini membuat kami yang mendengarnya merasa merinding. Bersamaan dengan itu terlihat salah seorang siswi sekolah berdiri dengan wajah yang menunduk di tengah lapangan sekolah dibasahi dengan derasnya rintikan hujan. Hal itu terlihat sangat tidak wajar sehingga semua siswa berkumpul menyaksikanya.
Seiring dengan banyaknya siswa datang, perlahan siswi itu mengangkat kepalanya dan memamerkan wajahnya yang pucat dengan tatapan dan senyum yang mengerikan.
“Indah, ‘kan? Itu indah anak kelas 10, ‘kan?” tanya salah seorang siswa yang sepertinya mengenal siswa itu.
Seiring dengan semakin kerasnya gending gamelan yang terdengar, tiba-tiba siswi bernama indah itu meliukkan tangannya dan menggerakan tubuhnya menyerupai sebuah tarian.
“Indah? Kamu ngapain?”
Salah seorang temannya mencoba mendekat ke tengah lapangan dan menghampiri Indah. Namun, Indah balas menatapnya dengan raut wajah yang dipenuhi dengan amarah seolah menolak kehadiran temannya itu. Tak cukup sampai di situ, seolah tidak terima didekati. Indah meliukkan tubuhnya hingga batas putaran sendinya. Terdengar suara patah mengerikan dari salah satu tulang Indah
Indah menari di tengah hujan | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Melihat kejadian itu seluruh siswa segera menyadari bahwa ada sesuatu yang merasuki tubuh Indah. Kali ini aku tidak bisa menghindar, anak bernama Indah itu bisa mati bila tidak segera ditolong.
Saat mencoba menuju lapangan, aku berpapasan dengan Guntur yang juga bergegas turun dan berniat menolong siswi itu.
“Sepertinya yang Eyang maksud sudah mulai, Rum,” ucap Guntur padaku.
Aku mengangguk dan kami bersama-sama menerobos segerombolan siswa yang menyaksikan pertunjukan tari yang mengerikan itu.
“Biar aku aja. “
Guntur melepas jaket yang ia gunakan untuk menutupi kepalanya dan menyusul ke tengah lapangan.
Makhluk itu tidak terima dan mencoba menyakiti tubuh Indah lagi. Untungnya, Guntur sudah mengantisipasi hal tersebut dan segera membacakan doa-doa yang menghalangi pergerakan roh di tubuh Indah. Saat berhasil meraih Indah, Guntur mencoba menahan tubuhnya dan mencoba menariknya ke lorong sekolah.
Sayangnya sebelum itu berhasil suara gong kembali terdengar di tengah derasnya hujan. Tubuh indah kembali tersentak dan kembali menari dengan penuh emosi. Kali ini seperti tak terkendali ia semakin memaksa sendi-sendinya untuk bergerak melebihi batas wajar, sementara senyum yang mengerikan dan mata yang melotot terus ia pamerkan.
Aku mencoba membantu Guntur, tapi makhluk itu seolah mengancam akan semakin menyiksa Indah ketika kami mendekat.
“Gimana, Mas Guntur? Bisa bantu nolongin Indah?” tanya Pak Darno yang sudah tiba di lokasi saat mengetahui tentang kericuhan ini.
Guntur menggeleng. Ia benar-benar tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan.
“Mbak Arum, masa beneran nggak bisa ditolong? Kasihan, Mbak,” lanjut Pak Darno.
Aku berpikir sekeras mungkin dan memperhatikan setiap tarian mengerikan yang ada di hadapanku. Entah mengapa beberapa liukan tarian itu mengingatkanku pada sebuah tarian sakral yang dulu diajarkan di keluargaku saat kecil.
Seketika perasaan yang kurasakan ketika berada di ruang seni kemarin kembali terulang. Hal itu langsung mengingatkanku akan selendang hijau yang ada di sana
“Guntur, tolong pastikan Indah tidak menyakiti dirinya lebih jauh lagi!” perintahku pada Guntur dan segera pergi ke lantai atas tepatnya di ruang seni tempat selendang itu berada.
***
Suara gong saling beradu dengan petir yang menyambar. Suaranya semakin menambah kelam suasana. Di tengah kejadian mencekam itu, aku turun kembali menuju lapangan mengenakan selendang hijau dan riasan khas penari seperti yang pernah diajarkan padaku dulu.
Sebenarnya aku selalu tahu ada kekuatan mistis di tarian yang kupelajari sejak kecil ini. Katanya tarian ini memiliki makna menyelaraskan kedua hubungan antara manusia dan mereka yang hidup berdampingan dengan kita di alam yang berbeda. Itulah sebabnya seluruh keluargaku memaksaku untuk melatih tarian ini.
Aku sudah tidak peduli dengan tatapan seluruh siswa yang mungkin menganggapku aneh. Nyawa seseorang sedang dipertaruhkan di sini. Selangkah demi selangkah aku memasuki rintikan hujan di tengah lapangan. Suara gong yang semakin terdengar seolah mengiringi langkahku memulai tarian di tengah derasnya hujan.
Indah yang semula menolak keberadaanku terhenti menatap gemulainya tarian yang kulakukan. Aku mengingat tarian yang Indah lakukan dan mengulanginya dengan ritme yang sama.
Tatapan matanya yang penuh emosi kini mulai mereda dan memulai tariannya kembali. Tidak seperti sebelumnya, kali ini tarianya terlihat lebih teratur saling bersahutan dengan setiap gerakan yang kulakukan.
Ini berhasil, pikirku.
Kami berdua menari dengan gemulai di tengah derasnya hujan layaknya sepasang penari yang memulai sebuah pertunjukan. Sesekali aku menoleh ke arah Guntur. Wajahnya terlihat aneh dan tidak melepaskan pandangannya sedikit pun dariku. Perlahan aku melihat Indah mulai mendapatkan kesadarannya. Seharusnya tak lama lagi makhluk di tubuh indah bisa tenang dan meninggalkan tubuh Indah.
Mungkin di mata mereka yang menatap ke tengah lapangan, mereka sedang menyaksikan sepasang perempuan yang menari di tengah rintikan hujan. Seandainya saja mereka tahu, semenjak kami menari sudah ada puluhan demit dan makhluk halus memenuhi lapangan ini menikmati setiap gerakan dari tarian yang kami sajikan.
Arum menari bersama Indah | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
***
Tubuh Indah terjatuh terkulai bersamaan dengan hilangnya suara gamelan yang mengiringi tarian kami. Beberapa guru segera menghampirinya dan membawanya ke ruang UKS.
“Nih! Keringkan dulu badan kamu,” ucap Guntur yang melemparkan handuk ke kepalaku yang basah kuyup.
Sambil mengeringkan rambutku aku melihat Guntur yang tak berhenti menatapku.
“Heh! Ada apaan?” tanyaku yang mengira ada sesuatu yang aneh di wajahku.
“Nggak!Nggak ada apa-apa,” jawab Guntur buru-buru dengan wajah yang terlihat aneh. “Kamu cantik.”
Aku berhenti mengeringkan rambutku dan melihat Guntur. Entah mengapa ucapannya barusan membuatku bingung harus merespons apa. Guntur meledekku itu hal yang biasa, tetapi mengatakan aku cantik?
***
“Arum, terima kasih, ya? Ini ada baju sisa event kemarin. Cepetan ganti, daripada masuk angin.”
Tepat setelah murid-murid kembali ke kelas Bu Ratna mengantarkan pakaian untuk kami. Namun, sebelum kami sempat berganti pakaian, aku berpapasan dengan Nia yang terlihat buru-buru kembali dari arah yang jarang didatangi oleh murid lainya.
“Nia, kamu dari mana?” tanya Bu Ratna.
“Eh.. Ibu. Itu, Bu, tadi habis ngobrol sama teman anak kelas 11D,” jawabnya.
Bu Ratna ber-oh panjang, lantas segera menyuruh Nia untuk bergegas masuk kelas. Bu Ratna sendiri segera pamit untuk kembali ke kantor guru.
Sepeninggal Nia dan Bu Ratna, aku dan Guntur saling berpandangan. Sepertinya kami memikirkan hal yang sama.
“Kelas 11 D? Bukanya kelas 11 di sekolah kita cuma sampai kelas 11C aja ya, Rum?”