Penghuni Sisi Lain Sekolah chapter 2 by Diosetta | ilustrasi: hipwee via www.hipwee.com
Setelah teman sekelasnya kesurupan, kini giliran penjaga sekolah Arum hilang! Ke mana Pak Darno pergi? Apakah ada hubungannya dengan bangunan tua itu, atau hal lain lagi?
***
Pagi ini tidak terasa seperti biasa. Aku berdiri cukup lama di gerbang sekolah menunggu Pak Darno yang membukakan pagar pintu sekolah. Namun, yang muncul kemudian bukanlah Pak Darno, melainkan Bu Ratna.
“Bu, Pak Darno nggak masuk, ya?” tanyaku pada Bu Ratna yang membuka kunci gerbang sekolah
“Iya, Rum. Dari kemarin Pak Darno nggak keliatan. Kemarin sore juga ibu yang terpaksa tutup pagar sekolah,” jelas Bu Ratna.
Mungkin Pak Darno sakit, pikirku saat mendengar penjelasan Bu Ratna.
Tanpa berpikir lebih jauh, aku berjalan menuju kelasku. Namun, begitu tiba di kelas dan melihat Fatir serta Santi yang saat ini terlihat baik-baik saja, sebuah ingatan masuk di pikiranku. Bukankah terakhir kali aku melihat Pak Darno adalah saat aku minta bantuannya untuk membuka gembok? Satu kecurigaan baru muncul dalam diriku. Alih-alih masuk ke kelas, kuputuskan untuk mengecek kembali ke bangunan tua itu. Namun, di sana tidak ada siapa pun, hanya sebuah bangunan kosong dengan kursi-kursi yang sudah reyot.
Rasa penasaranku mengenai keberadaan Pak Darno membuatku tidak dapat dapat mengikuti pelajaran dengan benar. Apa mungkin hilangnya Pak Darno ada hubungannya dengan kejadian kemarin?
Sebisa mungkin aku tidak ingin ikut campur dengan urusan penghuni sisi lain sekolah ini lagi. Namun, jika hilangnya Pak Darno berhubungan dengan kejadian kemarin ….
“Rum, es dawet lagi, yuk?” Tiba-tiba Guntur datang menghampiriku yang sedang melamun di kelas.
“Boleh, sekalian aku mau ngobrol,” jawabku. Mungkin saja aku bisa mendapat pencerahan setelah ngobrol dengan Guntur.
Aku dan Guntur meninggalkan kelas dan menuju tukang es dawet di depan sekolah. Kami sengaja memilih tempat ini dibandingkan kantin yang sudah pasti ramai dengan siswa lain.
“Kamu tahu Pak Darno, kan?” tanyaku pada Guntur.
“Penjaga sekolah kita? Ada apa, Rum?” tanya Guntur sambil mengambilkan dua gelas es dawet kesukaanku. Satu gelas ia serahkan kepadaku.
“Katanya dari kemarin Pak Darno nggak keliatan. Tadi pagi saja yang buka gerbang Bu Ratna. Yang aku ingat, aku ketemu pak Darno kemarin saat minta tolong membuka gembok bangunan di sebelah sekolah,” jelasku pada Guntur.
Guntur terlihat berpikir sejenak. Terlihat dari raut wajahnya, seolah dia mengetahui sesuatu, tapi sengaja menyembunyikannya dariku.
“Mungkin Pak Darno nggak enak badan. Tapi kalau sampai besok masih nggak masuk juga, kita samperin ke rumahnya,” ucap Guntur mencoba menghilangkan rasa khawatirku.
“Bisa jadi. Tapi sebenarnya ada sesuatu yang mengganggu pikiranku. Aku merasa … entah kenapa, belakangan roh-roh di sini, yang biasanya tenang, tiba-tiba bisa berpindah dan mengganggu. Seperti kejadian Santi kemarin itu,” ceritaku, mencoba mendiskusikan dengan Guntur. “Kamu merasa gitu juga nggak, Tur?”
Guntur tidak menjawab. Ia hanya asyik dengan gelas es dawetnya sendiri. Kurasa dia juga nggak mendengar kata-kataku.
“Guntur?”
“Eh! Kenapa, Rum?” Guntur terlihat terkejut.
“Nggak … nggak apa-apa, ” jawabku, enggan melanjutkan diskusi ini.
Entah dia tidak mendengar atau pura-pura tidak dengar. Aku hanya menghela napas dan kembali memikirkan sendiri tentang apa yang terjadi. Mungkin ada baiknya sepulang sekolah ini aku mencoba menyelidiki tentang masalah ini.
***
Waktu sudah menunjukan pukul tiga sore, tetapi aku masih berada di kelas. Aku memang sengaja menunggu semua murid pulang untuk mengelilingi sekolah, sekadar menjumpai “mereka” yang selama ini tidak aku hiraukan.
Lorong sekolah yang biasanya penuhi oleh siswa-siswa yang berlarian kini terlihat sepi. Hanya embusan angin yang terasa di sepanjang lorong ini.
“Arum? Kamu belum pulang?” tiba-tiba terlihat Pak Fadil muncul dari salah satu lorong.
“I—ini Arum mau pulang, Pak,” jawabku panik sambil mencari tempat untuk bersembunyi hingga Pak Fadil pergi menjauh. Aku enggan ditanya-tanya kenapa aku masih di sekolah hingga menjelang gelap seperti ini.
Setelah merasa aman aku kembali berjalan selangkah-demi selangkah dengan melihat menggunakan mata batinku. Satu demi satu makhluk tak kasat mata yang berada di sekolah ini mulai terlihat olehku. Mulai dari seorang anak perempuan yang duduk sendirian di meja paling belakang di kelas, sosok pocong yang berdiri di ujung lorong sekolah, hingga sebuah kepala berwajah pucat yang terlihat mengintip dari dalam kamar mandi.
“Dia … yang kamu cari … terjebak di alam kami …”
Tiba-tiba terdengar seperti suara seorang nenek dari belakangku. Aku menoleh dan hampir saja terjatuh saat melihat seorang nenek mengenakan kebaya hitam dengan wajah yang sudah sangat tua, yang begitu saja berdiri di belakangku.
Dengan kemunculan dan wujud yang seperti itu tidak perlu kemampuan khusus untuk memastikan nenek itu bukanlah manusia biasa. Namun, aku berusaha tetap bersikap sopan kepadanya.
“Maksud Nenek?” tanyaku dengan memberanikan diri.
“Setelah langit gelap, kamu bisa bertemu dengan temanmu bersama kemunculan mereka. Hanya di waktu itu kamu bisa membawanya kembali.”
Nenek itu berbalik dan meninggalkanku. Perlahan wujudnya menghilang seolah ia memang tidak pernah ada di tempat ini.
“Te—terima kasih, Nek!” ucapku yang sepertinya sudah terlambat untuk didengar olehnya.
Sudah ada sedikit petunjuk. Sepertinya aku harus menunggu lebih lama di sekolah untuk membuktikan apa yang dibilang oleh Nenek itu.
Aku menunggu di sudut kelasku, sambil melihat sosok roh ibu dan anak yang kemarin membuat kekacauan di sini. Ketika langit mulai memerah, aku mendengar suara gerbang yang sepertinya ditutup oleh Bu Ratna. Di tengah lamunanku, samar-samar terdengar suara seperti segerombolan orang yang memasuki kelas yang tidak jauh dari kelasku berada. Aku segera keluar untuk mengecek arah suara itu di tengah gelapnya suasana malam sekolah ini.
Layaknya anak sekolah yang bersiap memulai pelajaran, dari jauh terlihat segerombolan anak sekolah memasuki kelas 11A yang berada di sudut sekolah.Aku mencoba mendekat dengan hati-hati hingga akhirnya aku melihat sosok yang kukenal di antara mereka.
Pak Darno.
Ia masuk ke dalam kelas bersama siswa-siswa itu dengan raut wajah yang pucat.
Dengan segera, aku berlari menuju kelas itu dan mencari keberadaan Pak Darno di sana. Sayangnya, sebelum sempat masuk ke kelas, hawa dingin yang membuatku merinding berhembus dari belakang. Aku menoleh, dan tepat di belakangku sudah berdiri seorang siswi dengan seragam sekolah lama yang penuh darah dengan wajah yang hanya tinggal sebelah.
“Di sini bukan tempatmu …,” ucap makhluk itu dengan suara yang mengerikan.
Kakiku lemas, badanku hampir tidak kuat untuk berdiri, tetapi makhluk itu tetap berjalan menembus tubuhku dan memasuki kelas 11A di mana Pak Darno berada. Dengan mengumpulkan keberanian, aku menyusul ke kelas itu dan pemandangan yang lebih mengerikan terlihat di sana.
Seluruh siswa yang berada di kelas itu menduduki kursinya masing masing dengan bentuk tubuh yang penuh darah dan wajah yang hampir tidak lengkap.
Melihat kehadiranku serentak mereka menoleh, memamerkan wajahnya yang mengerikan ke arahku.
“Pak Darno! Ini Arum, Pak Darno!” teriakku berusaha menyadarkan Pak Darno yang berada di tengah-tengah mereka.
Sayangnya Pak Darno tetap terdiam di sana dengan tatapannya yang kosong. Aku mencoba untuk masuk ke kelas itu, tetapi sebuah tangan menahan kakiku dari bawah dan membuatku terjatuh.
“Dia tidak bisa pergi dari sini!” ucap sesosok makhluk yang menggenggam kakiku. Dia juga salah satu dari mereka, hanya saja dia sudah tidak lagi memiliki tubuh bagian bawah.
Sesosok tubuh menahan kaki Arum | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Mengabaikan makhluk itu, aku nekat menghampiri Pak Darno dan berusaha menyadarkannya.
“Pak Darno, ini Arum, Pak! Ayo kita pergi!” ucapku sambil berteriak.
Pak Darno dengan wajah pucatnya akhirnya menyadari keberadaanku. Namun, ia hanya menoleh perlahan dan berkata, “Aku tidak bisa pergi …”
Seketika seluruh makhluk di kelas itu meninggalkan mejanya dan berkerumun menghampiriku. Aku tidak pernah menyangka akan melihat pemandangan semengerikan ini di hidupku. Seluruh tubuhku bergetar, dan kakiku terasa lemas. Sesaat, tubuhku bahkan tidak bisa bergerak.
Di tengah-tengah kengerian ini, tiba-tiba tangan seseorang menarikku dan membawaku keluar kelas.
“Kamu bodoh apa sinting nekat ke sekolah ini malam-malam!” Terdengar suara seseorang yang kukenal, tiba-tiba memarahiku.
Itu Guntur. Kenapa dia bisa ada di sekolah ini juga malam-malam begini?
“Pak Darno … dia ditahan makhluk-makhluk di kelas itu!” ucapku protes.
Guntur memegang kepalaku dan memaksaku menoleh ke arah Pak Darno.
“Kamu lihat itu! Lihat ke Pak Darno! Belum sadar juga?” ucap Guntur.
Aku tidak mengerti dengan yang dimaksud oleh Guntur. Namun, samar-samar terlihat tubuh Pak Darno seolah tembus pandang tidak seperti manusia pada umumnya.
“Ma—maksud kamu, itu hanya rohnya Pak Darno?” tanyaku.
Guntur mengangguk. “Tubuh Pak Darno ditahan oleh sosok makhluk yang lebih berbahaya. Mereka menjaga roh Pak Darno agar tidak dibawa oleh makhluk itu juga!” ucap Guntur dengan kesal dengan kenekatanku. “Udah, Rum. Kamu pulang aja, biar aku yang urus.”
Tepat di depan Guntur aku merasa bodoh telah gagal mencari tahu apa yang terjadi. Bagaimanapun, sepertinya aku sedikit senang melihat kedatangan Guntur di sini, yang menandakan bahwa ia peduli dengan Pak Darno.
“Nggak, aku ikut. Ilmu batin kamu memang kuat, tapi kamu belum tentu bisa mengembalikan roh Pak Darno ke tubuhnya tanpa bantuanku,” ucapku dengan percaya diri.
“Bahaya, Arum. Yang kita temui nanti sepertinya bukan roh biasa.”
Aku tetap kukuh pada pendirianku. Bukannya aku tidak percaya dengan Guntur. Dia memang memiliki kemampuan ilmu batin dan bela diri yang tinggi, tetapi dalam hal berkomunikasi dengan makhluk itu, aku lebih bisa diandalkan.
Dengan segera aku menutup kupingku agar tidak mendengarkan ceramah dari Guntur sampai setelah beberapa lama akhirnya ia memilih untuk menyerah.
“Terserah kamu lah … aku masih ada urusan sama anak-anak kelas itu, harusnya dia tahu di mana tubuh Pak Darno.”
Seolah mengerti maksud Guntur, siswi perempuan yang pertama kali menghampiriku tadi. Menunjuk ke arah pohon beringin besar di pinggir lapangan sekolah.
Aku dan Guntur saling menatap dan segera bergegas menuju pohon itu dengan berbekal senter yang dibawa Guntur.
Sebenarnya saat siang hari pohon ini terlihat biasa saja. Namun, entah mengapa sekarang terlihat begitu mengerikan. Kami berjalan dengan berhati hati karena memang kami sudah merasakan keberadaan sosok yang berbahaya.
“Hihihihii ….”
Suara tawa seorang wanita terdengar dari salah satu dahan di pohon ini.
Kami mencari asal suara itu, tetapi tak ada apa pun yang kami lihat. Sampai akhirnya, tiba-tiba sebuah benda terjatuh dari atas pohon beringin.
Aku tidak dapat memastikan benda itu sampai Guntur mengarahkan senternya ke sana.
Itu adalah kepala.
Sialnya itu hanya bulatan kepala manusia tanpa ada badan yang menempel di lehernya. Aku ingin menjerit, tetapi tenggorokanku rasanya seperti tersumpal sesuatu. Yang membuatku lebih merasa ngeri, terlihat matanya masih bergerak dan mencoba menoleh ke arah kami.
“Hihihihi …”
Kali ini suara tawa itu terdengar semakin kencang seolah merespons ketakutan kami. Samar-samar dari salah satu sisi gelap pohon beringin, aku melihat sesuatu terlilit akar pohon beringin yang menggantung. Itu seperti sosok manusia.
“Guntur, i—itu …?”
Aku memberi Isyarat pada Guntur.
“Iya, itu tubuh Pak Darno.”
Perlahan kami berjalan mengarah ke pohon tersebut, tetapi sepertinya makhluk yang mengganggu kami menyadari rencana itu. Seketika muncul sosok wanita berambut panjang dan berwajah pucat berdiri di hadapan kami dengan membawa beberapa kepala dengan mata yang masih bergerak-gerak.
“Pergi!”
Kuntilanak penunggu pohon beringin | ilustrasi: hipwee via www.hipwee.com
Terlihat raut wajah marah dari makhluk itu mencoba mengusir kami. Namun, aku dan Guntur bergeming.
“Tidak bisa! Kami harus melepaskan Pak Darno!” ucapku mencoba bernegosiasi dengan makhluk itu, sembari menahan rasa ngeri.
Sayangnya, negosiasi itu sepertinya tidak berhasil. Sebaliknya tiba-tiba tubuhku terasa panas dingin seiring dengan menghilangnya makhluk itu. Perlahan sesuatu mulai mencoba mengambil kesadaranku.
“Arum! Sadar, Arum!”
Suara Guntur terdengar mencoba membuatku tetap tersadar. Namun, sosok wajah makhluk perempuan tadi terus muncul di pikiranku dengan wajahnya yang menyeramkan. Di tengah pergulatan dalam diriku, sebuah siasat muncul dalam pikiranku.
“Tur, ambil tubuh Pak Darno. Aku coba menahan makhluk ini di tubuhku sekuat mungkin.”
“Kamu gila! Nggak! Aku nggak mungkin ninggalin kamu sama makhluk itu!” jawab Guntur dengan spontan.
“Udah, cepetan! Sebelum makhluk ini semakin mengamuk!” perintahku.
Dengan ragu, tetapi tak punya pilihan lain, Guntur meninggalkanku dan mulai menyelamatkan tubuh Pak Darno secepat mungkin. Sayangnya aku terlalu sombong. Tubuhku mulai dikendalikan oleh setan itu. Di luar kendaliku, aku mulai membenturkan kepalaku ke sebuah batu di dekat pohon.
Sakit … Darahku menetes di antara batu.
Aku tidak boleh menyerah. Kubacakan doa-doa yang diajarkan oleh orang tuaku untuk menahan niat jahat dari makhluk ini.
“Mati ….”
Suara itu terdengar berkali-kali di bawah alam sadarku dan memaksa tubuhku untuk terus membenturkan kepalaku batu. Sialnya tetesan darahku juga mengundang kemunculan makhluk-makhluk kerdil penunggu pohon beringin ini. Dalam sekejap, kami sudah dikelilingi oleh makhluk-makhluk dengan wujud mengerikan.
Guntur terlihat panik, tetapi aku cukup lega saat melihat ia telah membopong tubuh Pak Darno. Dengan segera aku merogoh kantong rok seragamku dan mengambil sekantung garam yang selalu kubawa. Benda ini selalu berhasil membantu menjauhkanku dari makhluk gaib sejak aku kecil. Garam itu juga sudah dibekali kekuatan dengan bacaan-bacaan doa dari Eyangku.
Sekali lagi aku membacakan doa-doa sambil menaburkan garam itu ke tubuhku sendiri. Seketika rasa panas menyelimuti tubuhku. Namun, sepertinya rasa yang lebih panas dirasakan oleh hantu perempuan yang mencoba merasukiku. Hingga perlahan-lahan, kurasakan roh itu mulai meninggalkan tubuhku.
Dengan sigap, Guntur menarik tanganku dan membawaku menjauh dari pohon beringin yang menjadi wilayah kekuasaan makhluk itu. Beruntung, saat kami sampai ke lapangan, makhluk itu tidak lagi mengikuti kami. Ia hanya menatap kami dari bawah pohon beringin dengan wajah yang penuh amarah.
“Rum, untuk sementara kita jangan menghampiri pohon beringin itu dulu,” ucap Guntur yang juga merasa khawatir.
Merasa keadaan sudah mulai tenang, aku dan Guntur kembali ke kelas 11A di mana roh Pak Darno dijaga oleh penghuni kelas itu. Saat melihat kami membawa tubuh Pak Darno salah seorang hantu siswa itu menggandeng roh Pak Darno dan membawa kepada kami.
“Terima kasih,” ucapku yang sebelumnya telah salah paham dengan mereka.
“Pak Darno orang baik… bahkan sejak kami masih hidup,” ucap hantu yang menggandeng roh Pak Darno. Sepertinya penghuni kelas ini juga memiliki kenangan yang baik dengan Pak Darno saat mereka masih hidup.
“Aku tahan tubuh Pak Darno, ya,” ucap Guntur.
Aku mengangguk, sambil memandang punggung Pak Darno. Aku berusaha mengingat titik-titik tubuh manusia yang bisa menyatukan kembali roh dan tubuh yang terpisah. Dulu eyang pernah mengajarkan ini kepadaku.
Aku menekan tiga titik itu. Seketika roh Pak Darno tertarik dengan sendirinya ke dalam tubuhnya dan perlahan mulai tersadar.
“Arum? Guntur?” tanya Pak Darno sedikit kebingungan. Beliau berusaha mengingat apa yang terjadi. “Kenapa Bapak bisa ada di sini?”
Sepertinya, kejadian yang dialami roh Pak Darno belum sepenuhnya mengisi ingatannya. Namun, kami menceritakan tentang semua yang terjadi berharap Pak Darno juga bisa membantu kami menjauhkan anak-anak dari pohon beringin yang dijaga oleh roh wanita itu.
Saat sudah mulai pulih, kami bersiap pergi meninggalkan kelas itu. Namun, rasa penasaran membuatku ingin bertanya pada Pak Darno.
“Pak, memangnya zaman dulu ada kejadian apa sih sama Murid-murid di kelas 11A?”
Ketiganya meninggalkan kelas 11A | ilustrasi: hipwee via www.hipwee.com
Pak Darno menoleh ke arahku. Ekspresinya sedikit terkejut, tetapi Pak Darno segera tahu bahwa aku memang mampu mengetahui sesuatu yang tidak orang lain ketahui. Lantas, Pak Darno menceritakan tentang murid-murid yang menempati kelas 11A lima tahun yang lalu, yang kebetulan cukup akrab dengannya. Bahkan tak jarang mereka menjadikan pos jaga Pak Darno sebagai tempat tongkrongan mereka. Sampai suatu ketika berita mengerikan terdengar. Saat study tour, bus yang membawa kelas 11A terhenti mendadak di tengah rel kereta. Siswa di dalam bus tidak sempat menyelamatkan diri dan tewas seketika oleh hantaman kereta cepat.
Terlihat wajah sedih Pak Darno saat menceritakan kisah ini.
“Maaf, ya, Pak. Arum nanya yang aneh-aneh,” ucapku, merasa bersalah.
“Nggak apa-apa, Rum. Mereka masih di sini, ya?” tanya Pak Darno mencoba memastikan kepadaku.
Aku mengangguk. “Kata mereka, Bapak orang baik,” ucapku sambil tersenyum. “Arum juga sepakat, kok, sama mereka.”
Seketika air mata menetes di pipi Pak Darno. Sepertinya sampai sekarang Pak Darno pun belum bisa melupakan kebersamaanya dengan siswa-siswa kelas 11A itu.
Guntur mencoba menghibur Pak Darno sambil meninggalkan lorong kelas itu. Sebuah kelas yang setiap malam selalu dihuni oleh mereka yang masih memiliki kenangan indah di sekolah ini.