Arum tidak punya banyak teman dan sering dianggap aneh oleh orang lain. Masalahnya, Arum memang bisa melihat hal-hal yang tidak bisa dilihat oleh orang lain, terutama di sekolah yang penuh dengan “penghuni sisi lain” ini.
***
Swastika Arum Niar.
Itu adalah namaku. Seorang siswi SMA biasa sama seperti teman-teman seumuranku pada umumnya. Seandainya saja aku bisa berkata seperti itu.
Sayangnya, aku terlahir di keturunan keluarga yang memang memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan mereka yang tidak kasat mata. Atau biasa kalian sebut dengan nama Indigo. Hal baik? Atau hal buruk? Terserah kalian mau menganggap apa. Yang pasti, sebisa mungkin aku tidak mau berurusan dengan mereka yang sebagian besar memiliki wujud tidak wajar.
Bukan… bukan karena wujudnya. Melainkan karena sejak aku kecil aku sering berurusan dengan mereka yang beberapa memiliki niat jahat. Bahkan saat dulu aku masih tinggal di pedalaman aku pernah hampir mati karena luka ghaib yang disebabkan oleh mereka yang tidak menyukai keberadaanku.
Untungnya seorang temanku berhasil menemukan orang yang mampu menyembuhkanku hingga akhirnya kami sekeluarga memutuskan untuk pindah ke kota ini untuk menjauh dari gangguan-gangguan itu. Hal inilah yang membuatku selalu mencoba menjauhi hal-hal yang membuatku harus berurusan dengan makhluk halus.
Sayangnya masalah tidak selesai semudah itu. Seumur hidup, aku harus membiasakan diri melihat wujud-wujud mengerikan makhluk tak kasat mata itu. Dan sialnya, kini aku menimba ilmu di sekolah yang dipenuhi oleh mereka.
“Arum, minggir dong, kami mau mojok di sana!” ucap Fatir yang tiba-tiba datang dengan beberapa temanya.
“Nggak. Nggak mau, Aku di sini duluan,” balasku yang tetap duduk di kursi lapuk di sebuah bangunan kecil bekas UKS yang sudah tua di samping sekolah.
“Yah ,Arum! Kamu kan sendirian, pindah aja sana! Kami kan rame-rame,” ucap Fatir yang sepertinya tidak mau menyerah.
Aku tetap kukuh pada pendirianku dan tidak membiarkan mereka masuk ke dalam bangunan tua ini sampai akhirnya mereka kesal dan meninggalkanku. Yah … hal seperti inilah yang membuatku semakin dijauhi oleh teman-teman sekolahku. Seandainya saja mereka tahu alasanku bersikap seperti ini.
Saat jam istirahat selesai, aku bersiap kembali ke kelas. Namun, sebelum pergi, aku menoleh ke arah dalam bangunan tua itu. Di sana masih terlihat sesosok makhluk berwujud anak kecil yang kurus hingga tulang rusuknya terlihat. Ia berjalan merangkak terbalik tanpa pakaian di tubuhnya dan sesekali memutar kepalanya hingga ke arah yang tidak wajar.
Aku hanya menggelengkan kepala dan meninggalkanya. Selama tidak saling mengganggu, kami bisa hidup berdampingan.
Seperti biasa, aku menjalani jam pembelajaran hampir tanpa berbicara dengan teman-teman kelasku. Namun, saat hendak pulang meninggalkan kelas, aku melihat Fatir menoleh ke arahku dengan wajah yang kesal.
***
“Pagi, Mbak Arum,” sapa Pak Darno sang penjaga sekolah yang tidak pernah absen menyapaku setiap memasuki gerbang sekolah.
“Pak Darno rajin banget jam segini udah datang,” ucapku balas menyapa Pak Darno.
“Heh … Mbak Arum aja yang kepagian. Mana ada anak sekolah datangnya lebih pagi dari yang buka gerbang,” protes Pak Darno.
“Iya, Pak. Sengaja, biar bisa ngobrol sama Pak Darno,” jawabku.
“Bisa aja Mbak Arum …,” balas Pak Darno.
Seperti biasa, jam istirahat kuhabiskan waktuku di bangunan tua yang ada di sebelah sekolah. Kupikir hari ini Fatir akan datang mencoba mengusirku lagi, tetapi sepertinya ia sudah menyerah.
Sebentar lagi jam istirahat selesai, aku segera meninggalkan bangunan itu lagi dan bersiap kembali ke kelas. Semoga saja besok makhluk yang tiba-tiba muncul di bangunan ini sudah pergi dan tidak membahayakan anak-anak lain.
Belum sempat memasuki lorong sekolah, tiba-tiba dari sebuah tempat, seseorang menyiramkan seember air ke tubuhku. Suara gelak tawa puas terdengar dari sekelilingku.
“Rasain tuh!”
Terlihat Fatir dan teman-temanya tertawa puas setelah membasahi tubuhku dengan seember air.
“Fatir! Apa-apaan ini! Rese kamu!” ucapku kesal dan mencoba melawan, tetapi teman-temanya malah menahanku dan memegangi kedua tanganku.
“Cewek aneh nggak pantes sekolah di sini!” ucap Fatir sambil melemparkan sebuah telur yang langsung pecah saat mencapai kepalaku.
Daripada sakit, aku lebih merasa kesal. Namun, aku berusaha untuk tidak menangis. Tak cukup sekali, Fatir melemparkanku dengan telur terus menerus, hingga saat telur yang ia bawa sudah habis ia mengambil batu dan bersiap melemparkan ke arahku.
“Fatir! Jangan, Fatir! Yang bener aja kamu!” Aku berteriak berusaha menghentikan Fatir yang mengayunkan tangannya untuk melempar ke arahku.
“Berisik!”
Aku tidak habis pikir mengapa Fatir bisa sebegitu jahatnya terhadapku. Ia tidak memedulikanku dan tetap berniat melemparkan batu itu ke arahku. Aku sudah membayangkan luka sebesar apa yang ada di kepalaku saat batu itu mengenaiku. Pasrah. Aku menunggu sesaat sambil melindungi kepalaku, tetapi batu itu tidak juga sampai ke arahku.
Saat kubuka mata, ternyata dihadapanku sudah berdiri seseorang yang sangat kukenal sedang menggenggam batu yang dilempar oleh Fatir.
“Empat cowok nge-bully satu cewek. Malu-maluin!” ucap orang itu dengan nada geram.
Dia Guntur, satu-satunya temanku sejak kecil. Dia jugalah yang dulu menolongku saat sakit karena luka yang disebabkan oleh makhluk gaib.
“Kamu ngapain ikut campur! Mau babak belur?” ancam Fatir.
Sayangnya Guntur bergeming. Ia tetap berdiri di hadapanku seolah memang berniat melindungiku.
“Minggir!” ucap Fatir
“Nggak!”
Dengan tegas Guntur menolak untuk pergi dan dibalas dengan sebuah batu yang dilempar ke arahnya, tetapi lagi-lagi Guntur berhasil menepisnya. Teman-teman Fatir yang merasa kesal juga ikut melemparkan batu pada Guntur. Hebatnya, Guntur bisa menahannya meski tetap ada beberapa yang melukainya.
Merasa semakin kesal, Fatir menghampiri Guntur dan mengayunkan pukulan yang telak mengenai wajah Guntur. Seketika Darah mengalir dari ujung bibirnya.
“Bales gua kalau berani!” teriak Fatir yang kembali mengayunkan pukulan ke arah Guntur. “Nggak berani, kan? Dasar pengecut!”
Guntur hanya diam dengan tatapan yang terus menantang Fatir. Hal itu malah membuat Fatir semakin emosi dan bersiap menyerang Guntur lagi. Beruntung teman-teman Fatir masih bisa berpikir dengan akal sehat dan menahannya.
“Udah, Tir! Kalau lebih dari ini bisa jadi urusan serius!” teriak temannya dan segera menarik Fatir.
Seolah puas dengan perbuatannya terhadapku dan Guntur, mereka pergi dan kembali ke kelas meninggalkan kami di sini.
“Kenapa nggak kamu bales, sih, Guntur? Kamu kan bisa bela diri! Kalau mereka sampe kelewatan gimana?” ucapku yang khawatir.
“Halah! Kamu kaya nggak kenal aku aja. Aku kan kuat, pukulan cemen kayak gitu nggak ada rasanya,” ucap Guntur dengan sombong.
Segera kuangkat tanganku dan menyentuh sisi bibit Guntur yang mengeluarkan darah.
“Ini nggak ada rasanya?” tanyaku.
“Aduh!” Dengan segera wajah Guntur menghindar. Ekspresi meringisnya jelas-helas menunjukkan luka itu sakit dan perih. “Udahlah, nggak usah urusin lukaku. Itu badan kamu bau amis. Sana ke kamar mandi!” perintah Guntur padaku. “Kamu nggak mau masuk kelas basah-basahan gitu, kan?”
Aku mengangguk dan segera mengikuti sarannya untuk membersihkan diri dan bajuku yang sudah basah di kamar mandi.
“Kita udah ngelewatin satu jam pelajaran nih, masih mau masuk kelas apa cabut aja?” tanya Guntur yang juga sudah selesai membersihkan luka-lukanya dan ternyata menungguku di luar kamar mandi.
Aku menggeleng. “Nggak tahu, bajuku aja masih basah gini,” balasku.
Mendengar alasanku, Guntur melepas seragamnya dan melemparnya kepadaku.
“Nih, pake! Daripada masuk angin,” ucap Guntur yang kini hanya menggunakan kaos polos, yang sebelumnya menjadi dalaman baju seragamnya.
“Kamu nggak balik ke kelas?” tanyaku memastikan tingkah guntur itu.
“Nggak mungkin aku balik ke kelas dengan muka seperti ini. Bisa-bisa aku diinterogasi.”
Benar juga ucapannya. Aku segera kembali ke kamar mandi untuk mengganti seragamku yang basah dengan seragam Guntur yang pastinya kebesaran di badanku. Saat keluar dari kamar mandi, belum sempat aku berterima kasih kepada Guntur, tiba-tiba terdengar suara berisik dari arah kelasku.
“Ada apa di kelasmu, Rum?” tanya Guntur.
“Nggak tahu. Harusnya ini kelasnya Pak Fadli,” jawabku yang segera bergegas menuju kelas.
Sebelum aku sempat masuk, anak-anak kelasku sudah berhamburan keluar dan berlari meninggalkan kelas dengan panik dan terburu-buru.
“Rin, ada apaan di kelas?” tanyaku pada Rindi yang kebetulan berlari ke arahku.
“I.. itu, Rum! Santi! Santi kesurupan!” jawab Rindi dengan panik.
“Lah … Pak Fadli ke mana?” Aku lanjut meminta penjelasan pada Rindi.
“Nggak tahu. Dari tadi kelas kosong, terus si Fatir malah … ah, nggak tahulah tuh orang!” jawab Rindi yang segera meninggalkanku dan berlari ke arah ruang guru.
Aku bergegas memasuki kelas untuk mencari tahu apa yang terjadi, tetapi yang kulihat hanya sisa sisa murid yang masih ketakutan di setiap sudut tembok.
Santi! Aku mencari keberadaan Santi, tetapi aku tidak bisa menemukannya di seluruh sudut ruangan. Sampai tiba-tiba salah seorang teman sekelasku menunjuk ke arahku.
“Rum! Sa—Santi, Rum!” ucapnya dengan wajah ketakutan dan tangan yang menunjuk ke arahku … bukan. Ke belakangku.
Dengan segera aku berbalik ke belakang dan menatap ke atas pintu kelas. Di sana, terlihat Santi dengan rambutnya yang acak-acakkan merayap terbalik di sudut atas dinding memamerkan senyumnya yang mengerikan dengan wajah pucatnya. Aku tahu dengan jelas tentang keadaan Santi. Ucapan mereka semua benar, ada sesuatu sudah merasuki Santi.
Santi yang kesurupan seperti bersiap untuk turun, ia merayap seolah ingin menghampiri salah seorang di antara kami.
“Kenapa Santi bisa begini?” Aku bertanya pada siapa pun yang mau menjawab. Namun, tidak ada seorang pun yang menjawab. Entah tidak tahu, entah tidak berani.
Aku melangkah mundur menjauhinya, tetapi sesuatu mengganggu pijakanku dengan bentuknya yang sedikit aneh. Saat aku menoleh ke arah benda itu, terjawab sudah mengapa hal ini bisa terjadi.
Itu adalah boneka Jelangkung.
“Kalian gila?! Kalian main Jelangkung di kelas ini?” ucapku dengan emosi sambil terus melangkah menjauh dari Santi yang kini sudah berdiri di lantai dan menatap ke seseorang.
Fatir.
“Fa—Fatir yang ngajak main jelangkung, Rum!“
Akhirnya salah satu anak di kelas berani berbicara.
“Berisik!” ucap Fatir yang mencari kesempatan meninggalkan kelas, tetapi Santi yang kerasukan mengangkat kursi kelas dan melemparkan ke arah Fatir yang hendak melarikan diri.
“Kamu yang sudah manggil aku …” ucap Santi dengan suara lirih yang jelas berbeda dengan suara dirinya.
Melihat Fatir menerima ganjaran atas hasil perbuatanya sendiri aku memilih untuk menjauh. Setahuku roh yang dipanggil dengan permainan Jelangkung tidak akan bertahan lama di tubuh manusia.
“Rum! Jangan pergi, Rum! Bantuin kami … cuma kamu yang mengerti masalah beginian.” Salah seorang teman Fatir mencoba meminta pertolonganku. Sayangnya, aku sudah memutuskan untuk tidak mau terlalu ikut campur untuk masalah seperti ini.
Hanya saja, perasaanku sedikit aneh tentang kejadian ini. Kekuatan roh yang merasuki tubuh Santi terlalu besar dan bahkan bisa mengempaskan teman-teman yang mencoba menahan Santi. Saat ini, sekali lagi Santi mengangkat sebuah meja yang ada di kelas dan bersiap melemparkan ke arah Fatir yang sudah terpojok, tapi … ah, sudahlah. Biar Fatir menuai ganjaran atas perbuatannya. Aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama dengan coba-coba ikut campur urusan “mereka”.
“Ja—jangan, Santi … maafin aku!” teriak Fatir. Namun, sama sekali tidak dihiraukan oleh setan di tubuh Santi yang melemparkan sebuah meja ke arah Fatir.
Braakkk!
Belum sempat meja itu mengenai Fatir tiba-tiba meja itu hancur dengan sebuah pukulan seorang anak laki-laki yang tidak mengenakan seragam.
Itu Guntur.
“Gu—Guntur!” ucap Fatir yang merasa kaget saat melihat Guntur yang baru saja menyelamatkan dirinya.
“Arum, kamu tahu kan apa yang ngerasukin temanmu itu?” ucap Guntur tanpa mempedulikan Fatir yang masih meringkuk di pojok kelas.
Aku memperhatikan Santi dan melihat dengan mata batinku. Samar-samar terlihat hantu wanita yang sedang marah. Namun, samar-samar juga aku melihat wajah hantu itu mirip seperti makhluk lain yang rasanya sedikit familier di mataku.
“Kembalikan anakku …” Suara berbisik terdengar dari roh yang merasuki tubuh Santi.
Anak? Maksudnya apa?
Tunggu … jangan-jangan yang dimaksud hantu ini …
“Fatir! Kamu masuk ke bangunan tua itu?!” tanyaku pada Fatir.
Fatir terlihat ketakutan di ujung kelas dan tak mampu menjawab. Ia hanya mengangguk memberi isyarat sebisanya. Sebuah pemahaman baru muncul di kepalaku.
“Guntur! Bukan Jelangkung itu masalah utamanya! Tolong tahan Santi! Aku tahu cara nolong dia!” ucapku yang segera berlari keluar kelas.
ADVERTISEMENTS
Kamu sedang membaca konten eksklusif
Dapatkan free access untuk pengguna baru!