Nyuwun Pesugihan chapter 6 bu Ari Keling via www.hipwee.com
Kegelapan terlihat makin pekat. Bulan yang terus menerangi dan mengikuti di ketinggian kini seperti memberi tahu kepada Setan Celeng Ireng ke mana pun aku pergi. Aku berhenti sejenak dan bersandar pada pohon pinus karena kelelahan. Kubungkukkan badan dengan napas tersengal-sengal dan kedalaman dada yang agak nyeri. Letih, lapar, dan haus menggerogoti tenagaku. Suhu panas tubuh berangsur-angsur kalah oleh dingin yang menguasai hutan ini. Sementara itu, cahaya bulan seakan-akan hendak menyibakkan tempat persembunyianku.
“Ngok! Ngok! Ngok!”
Spontan kutegakkan tubuhku. Karena suara babi itu terdengar semakin dekat, aku terpaksa melawan rasa lelah. Aku kembali bergerak menjauhi Setan Celeng Ireng itu. Aku berlari secepat yang aku mampu, sampai aku terhuyung-huyung. Beberapa kali aku menabrak pohon pinus, sehingga aku terjatuh. Namun, tak ada waktu untuk bersakit-sakit. Saking takutnya, aku bangkit lagi dan kembali berlari. Apalagi, suara babi setan itu kembali terdengar dan kian membuat seisi dadaku bergetar.
Semburan api dari mulut Setan Celeng Ireng hampir mengenai kepalaku. Aku lantas berbelok ke kiri untuk menghindarinya. Aku bahkan tak berani menoleh ke belakang barang sejenak. Aku tidak mau tiba-tiba saja mukaku terkena semburan api dari mulutnya itu.
Beberapa meter di depanku ada semak belukar. Aku lantas berlari ke sana. Tumbuhan perdu itu mampu menyembunyikan tubuhku. Aku berdiri dengan lunglai dan ngos-ngosan. Kedua kakiku gemetar karena kelelahan. Aku mengintip ke arah setan tadi mengejar. Aku mengembuskan napas lega karena tidak mendapatinya. Aku berhasil menjauhinya. Namun, ketika aku menoleh ke arah lain, rupanya Setan Celeng Ireng berdiri beberapa meter di depanku. Refleks aku menelan ludah karena resah. Aku makin gentar dengan tubuh gemetar.
Ya, Tuhan! Bagaimana aku bisa keluar dari tempat ini?
Mulut Setan Celeng Ireng seketika menganga, lalu semburan api dengan cepat menuju ke arahku. Aku spontan menunduk, sehingga semburan api itu mengenai tumbuhan perdu yang lantas terbakar.
Aku berlari ke arah kanan. Aku melewati beberapa pohon pinus yang berdiri zig-zag. Aku juga menembus semak belukar agar setan itu tidak bisa menemukanku. Aku tidak peduli dengan tubuhku yang semakin terluka karena tergesek batang pohon pinus yang kasar dan kayu-kayuan kecil di tumbuhan perdu. Alih-alih bisa kembali menjauh, ternyata setan itu berdiri di depanku. Aku berhenti dengan degup jantung yang makin tak keruan. Dadaku sangat nyeri. Aku sesak. Setan itu kembali menyemburkan api dari mulutnya sambil berteriak yang membuat kupingku sakit. Aku seketika mundur dan tumitku tersandung batu, sehingga aku terjengkang ke belakang.
Doni berusaha melepaskan diri dari setan celeng Ireng | ilustrasi: hipwee via www.hipwee.com
Aku berupaya berdiri, tapi tubuhku lemas sekali. Ketika aku berhasil duduk, teriakan setan itu memekakkan telinga. Aku pun berseru karena takut dan terkejut. Aku menutup telinga. Sementara itu, semburan api dari mulutnya mengenai badanku. Dadaku begitu panas. Aku buru-buru memadamkan api yang membakar bajuku. Sejenak kuperhatikan sekitar. Meski terasa sudah sangat jauh aku berlari, nampaknya aku hanya memutari daerah yang sama. Dengan sosok pemburu di belakangku yang sama juga.
Apakah sebentar lagi aku akan mati? Pertanyaan itu menghantam batinku. Sementara wajah Risa dan Rini yang terbayang-bayang membuatku sedih. Apakah aku bisa bertemu dengan istri dan anakku lagi?
Semburan api kembali menuju ke arahku. Dengan cepat aku menutup mukaku, sehingga kedua tanganku terbakar. Aku lantas menepuk-nepukkan tangan ke tanah agar api yang membakar tanganku segera padam. Sementara perih akibat terbakar membuat air mataku keluar. Hingga akhirnya, aku melihat area yang asing. Sebuah area yang menanjak. Aku yakin inilah ujung tebing miring yang tadi aku turuni. Wajah Risa dan Rini kembali terbayang dan kali ini mereka tersenyum. Aku bangkit berdiri. Dengan langkah melamban dan agak gontai, aku menapaki tanjakan dengan mengerahkan seluruh tenaga.
“Ngok! Ngok! Ngok!”
Kupercepat langkah meski tulang-tulang kakiku ngilu. Betisku pegal seperti hendak meledak. Kepalaku pening. Kedalaman dada makin terasa nyeri. Aku mengusap-usap dadaku meski cara itu tidak bisa meredakan sakit tersebut. Api dari mulut Setan Celeng Ireng menyambar rambutku. Aku terus menanjak sambil berupaya memadamkan api di kepalaku. Sialnya, semburan api itu berhasil menjilat punggungku. Untung saja pakaianku tidak terbakar hebat, dan api di punggungku bisa kupadamkan dengan cepat.
“NGOK! NGOK! NGOK!”
Suara setan itu makin dekat. Aku tidak mau menoleh ke belakang. Aku terus bergerak agar dapat menemukan jalan raya, dan kiranya bisa menumpang pada kendaraan apa pun yang melintas. Aku ingin segera terbebas dari hutan kelam ini.
Setibanya di area yang landai, ada secercah harapan kebebasan dalam batinku. Bahkan, aku terbayang wajah Risa dan Rini yang tengah tersenyum. Kini, aku sudah berhasil keluar dari lembah. Aku terus berlari meski rasanya oksigen susah aku dapati. Dadaku makin nyeri dan sesak. Sampai kemudian langkahku mendadak berhenti. Aku mendapati dua ekor babi sebesar kambing dewasa yang mengadang beberapa meter di depanku. Keduanya pastilah bukan babi hutan, melainkan babi siluman. Mata mereka merah seperti nyala api.
Aku berlari ke arah kiri, salah satu babi itu mengejarku dengan kecepatan tinggi.
“Awaasss …!”
Aku berhenti mendadak karena kaget mendengar teriakan seseorang, sehingga terjangan babi siluman itu meleset. Bola mataku bergerak liar untuk memperhatikan kiranya siapa yang berseru seperti itu. Namun, pandanganku tidak mendapati siapa pun.
“Awas, Don!”
Aku mendengar teriakan lagi. Aku bergerak ke arah lain untuk kembali menghindar, tapi sialnya babi yang lain sudah melesat ke arahku. Terlambat bagiku untuk menyingkir, babi siluman itu menyeruduk perutku.
Sekitar tiga meter aku terpental ke belakang. Aku begitu syok dengan perut sakit dan mual. Dalam posisi telentang, bayang-bayang Risa dan Rini berkelebat lagi dalam pejam mataku. Wajah bini dan anakku itu menyadarkan bahwa aku harus selamat. Ya, mereka menungguku di rumah. Maka, aku bangkit berdiri dengan susah payah.
Dengan napas terengah-engah dan kesakitan luar biasa di sekujur tubuh, aku bergerak mundur. Aku mencermati ke manakah arah yang paling aman untuk menjauh. Sementara itu, dua babi siluman itu mendekati Setan Celeng Ireng. Keduanya seperti mengawal setan itu dan siap diperintah.
Aku terus mundur perlahan. Sedangkan mereka maju pelan-pelan. Aku terus mundur dengan degup jantung berdebar-debar. Namun kemudian, aku tidak mengerti kenapa ketiganya berhenti. Aku kembali mundur dengan sikap siaga dan tatapan waspada. Aku bersiap kalau-kalau mereka mendadak menyerang. Namun, ketiganya tetap diam.
Sungguh, aku tidak mengerti kenapa mereka seperti tidak berselera lagi menyerangku. Aku memperhatikan area sekitar dan lantas teringat bahwa tempat mereka berpijak adalah area di mana Setan Celeng Ireng yang masih berwujud lelaki tua menungguku dan Yandi. Lantaran itu aku jadi menduga bahwa area itu adalah batas yang tak bisa mereka lewati. Sambil memperbaiki pernapasan agar kembali normal, aku menjauh dan bersyukur tiada henti. Ternyata, dalam hutan ini ada teritorial yang tidak bisa mereka masuki. Mungkin juga dua babi siluman itu adalah penjaga batas wilayah kekuasaan mereka.
Sadar bahwa ini adalah kesempatan bagus untuk melarikan diri, aku lantas berlari lagi. Aku tidak peduli jika dadaku kembali nyeri. Aku ingin pulang. Aku mau bertemu dengan Risa dan Rini lagi. Aku tidak sudi mati hari ini.
Akhirnya aku berhasil keluar hutan. Meski bukan pada titik saat aku memasukinya, yang terpenting kini aku berada di sisi jalan raya yang sepi dan gelap. Aku menengok ke kanan kiri, kiranya ada mobil yang bisa aku tumpangi. Beberapa meter di tepi jalan itu, aku mendapati sebuah mobil bak yang ditutupi terpal. Aku juga melihat seorang lelaki tengah kencing di bawah pohon. Dia pasti sopir mobil bak itu.
Setelah menuntaskan hajat kecilnya, dia kembali mendekati mobil. Aku langsung mendekatinya dan meminta tolong. Dia kaget akan kehadiranku. Dia melihatku dari ujung kaki sampai ujung kepala dengan wajah takut dan waspada. Aku menjelaskan bahwa aku butuh tumpangan. Dia menampilkan wajah yang ragu saat menyebut nama kota tempat tinggalku untuk mengirim sayuran. Aku bernapas lega karena merasa ini adalah kebetulan yang sangat menggembirakan, terlebih dia sendirian. Aku mengiba sambil terburu-buru menjelaskan kalau aku baru saja tersesat di hutan. Aku teringat uang pemberian Anwar, lalu menyerahkan sejumlah uang kepada sopir itu. Benar saja, uang memang bisa menyelesaikan seluruh masalah. Lantaran uang itu dia langsung mengajakku masuk ke kabin mobil.
Dalam perjalanan, kami tak banyak bicara karena aku tertidur cukup pulas. Sampai pagi menjelang, akhirnya aku diturunkan di dekat gang pemukiman. Aku berucap terima kasih berulang kali kepada sopir itu. Aku pun bergegas ke rumah kontrakan.
Dengan tak sabar aku membuka pintu yang ternyata tidak dikunci. Aku masuk dan mendapati Rini sedang terlelap di ranjang, sementara Risa duduk di tepinya sambil menunduk dengan wajah sedih.
“Mas, saya sudah mencarimu ke mana-mana. Saya sudah bertanya ke banyak orang. Bahkan, ke Anwar pun sudah.” Risa terdiam dan mulai terisak. “Anwar bilang, kamu nggak pernah menemuinya. Kamu pergi ke mana dan sama siapa, Mas? Kenapa kamu membohongi saya? Apa yang sebenarnya terjadi?” Dia sesekali menyeka air matanya.
“Risa, apa yang kamu bicarakan?” tanyaku dengan kebingungan yang makin menjadi. “Saya menemui Anwar. Saya nggak bohong. Anwar yang membohongimu, Ris,” lanjutku menjelaskan.
“Bahkan, seminggu lalu saya minta ditemani Anwar ke kepolisian untuk melaporkanmu yang hilang, tapi sampai seminggu kemudian kamu belum juga ditemukan. Sekarang juga belum ada kabar terbaru.” Risa terus saja terisak.
Aku tercenung. Batinku menerka-nerka.
“Saya sudah pulang! Ini saya, Risa!” seruku kemudian.
Kuulurkan kedua tanganku untuk untuk memegang kedua bahu Risa, lalu ingin kuguncang-guncangkan tubuhnya agar dia sadar, bahwa aku sudah berada di depannya. Namun, aku tidak bisa menyentuh Risa. Kedua tanganku menembus tubuhnya begitu saja. Aku menjadi tak kasatmata untuk dirinya.
Doni tak bisa menyentuh Risa | ilustrasi: hipwee via www.hipwee.com
“Seluruh keluargamu nggak ada yang tahu keberadaanmu, Mas. Kamu di mana?” Risa mengusap-usap wajahnya dengan air muka yang putus asa. Dia akhirnya tak tahan. Dia menangis sejadi-jadinya sampai tubuhnya berguncang-guncang. Dia benar-benar sedu sedan.
Aku gemetar. Hatiku begitu gentar. Bahkan, aku pergi belum genap seminggu. Kenapa Risa bilang aku belum pulang selama dua minggu? Dalam keadaan yang membingungkan itu, tiba-tiba saja tubuhku menjadi ringan. Jasadku hilang. Kini, aku seolah-olah hanya memiliki pandangan. Aku melesat dengan cepat kembali menembus waktu sebelumnya, di mana aku berada di dalam hutan dan dalam dekapan kegelapan malam.
Aku mendapati diriku yang diadang dua babi jadi-jadian sebesar kambing dewasa. Aku melihat diriku yang sungguh kelelahan dan dikejar monster babi dengan tubuh kekar serta kepala dan mulut berapi. Aku ingin bergerak menuju diriku untuk menolong, tapi tidak tahu harus bagaimana agar bisa mendekati diriku itu. Seluruh tubuhku tidak ada. Aku hanya memiliki pandangan saja. Ah, tidak! Kali ini aku merasa cuma memiliki kepala. Aku bisa melihat, mendengar, dan bersuara. Ini mirip dengan mimpiku kapan itu, di mana aku seperti tengah menonton film yang dibintangi oleh diriku sendiri.
Kini aku menyaksikan diriku yang kembali berlari. Aku begitu kaget dan waswas saat salah satu babi jadi-jadian mengejar diriku itu. Babi tersebut hendak menghantam diriku sekeras mungkin.
“Awaasss …!” seruku tanpa sadar.
Di sana, Diriku berhenti mendadak dengan wajah kaget, sementara terjangan babi jadi-jadian itu meleset. Diriku melihat ke sana kemari, dengan raut muka kebingungan. Aku juga ikut terkejut dan bingung. Apakah Diriku mendengar suara yang kuteriakkan tadi?
Sebelum berhasil memahami, kulihat babi yang lain bergerak buas hendak menyeruduk diriku, aku pun kembali berseru, “Awas, Don!”
Nahas! Diriku rupanya tidak sigap dengan teriakanku. Mungkin Diriku itu sudah teramat lelah, sehingga Diriku tidak cepat mengelak. Babi setan itu menghantamkan kepalanya dengan keras ke perut diriku.
Aku tidak dapat berbuat apa-apa ketika diriku terpental ke belakang. Aku hanya melihat tanpa bisa menolong diriku yang pasti sangat syok dengan perut sakit dan mual. Rasa khawatir merayapi hatiku saat melihat Diriku yang telentang tak bergerak. Entah apa yang tengah diriku pikirkan, tetapi aku bisa menyimpulkan satu hal. Teriakan-teriakan yang kudengar tadi memang berasal dari diriku sendiri. Akhirnya diriku kembali bergerak. Aku tak tega melihat diriku kembali berdiri dengan susah payah dan napas terengah-engah. Diriku berdiri dengan kedua kaki goyah dan tubuh gemetar. Aku ingin kembali berteriak, tapi suaraku hilang entah ke mana, mungkin telah lenyap dilumat ketakutan.
Aku hanya bisa menyaksikan dengan pasrah ketika dua babi jadi-jadian itu menyeruduk diriku dengan buas secara bergantian. Diriku bangkit berkali-kali dan coba melawan, tapi rupanya kedua babi setan itu sangat kuat. Lalu, setan Celeng Ireng mendekati diriku yang sudah terkapar tak berdaya.
Setan Celeng Ireng berdiri di dekat diriku yang telentang dengan wajah penuh luka dan berdarah. Api semakin berkobar di kepalanya. Kedua matanya pun kian menyala merah. Dia benar-benar terlihat murka. “Bocah laknat!” katanya yang melihat diriku. Sementara itu, dia dikawal dua babi jadi-jadian tadi yang kini berada di sisi kiri dan kanannya.
Aku tidak bisa menutup mata. Aku seperti dipaksa oleh kekuatan magis untuk menyaksikan kematian diriku itu. Aku benci keadaan ini. Aku makin benci pada diriku sendiri. Aku benar-benar akan mati di hutan ini.
“Berani-beraninya kau mengkhianati perjanjian yang telah kau minta sendiri!” lanjut setan Celeng Ireng. “Jiwamu hitam! Dirimu hitam! Segalamu hitam! Perjanjian ini hitam! Dan kau harus mati dengan keadaan hitam!” katanya lagi. Dia membuka mulutnya lebar-lebar dan menyemburkan api yang diarahkan ke sekujur tubuh diriku yang terkapar itu.
Seketika diriku terbakar. Diriku menggelepar-gelepar dan kelojotan dilahap api penyiksa. Tidak dapat melawan. Kematian sudah nampak di depan mata.
Tubuh Doni terbakar | Ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Saat ini aku mengerti. Keberhasilan diriku keluar dari rimba ini sampai menemui Risa adalah apa yang aku lihat saat sekarat. Mungkin juga itu bagian dari imajinasi karena diriku yang tak lama lagi akan mati.
Seharusnya, aku tidak pernah mendengarkan perkataan Risa yang membanding-bandingkan kehidupanku dengan Anwar. Sepatutnya, aku tidak pernah menemui Anwar. Semestinya, aku tetap menjalani hidup tanpa berpikir menjadi kaya seperti temanku itu, sehingga jiwa dan ragaku tersesat begini.
Sekarang, aku sepenuhnya telah paham, bahwa aku tidak pernah menjelma menjadi Tuhan. Sekarang, aku bagian dari setan yang terkurung di dalam hutan.