Nyuwun Pesugihan chapter 5 by Ari Keling via www.hipwee.com
Dari kediaman Mbah Murwo, aku langsung menyetop angkot dan turun di terminal. Setelah itu, aku menaiki bus antar provinsi menuju arah Jawa Barat, Jawa Tengah, atau Jawa Timur, entahlah. Aku tak tahu. Semua kulakukan tanpa rencana, seolah hanya mengikuti kata hati. Dalam perjalanan, aku juga sama sekali tidak tidur. Merasa mengantuk pun tidak.
Aku teringat pada Risa dan Rini yang menungguku di rumah. Aku tersenyum tipis membayangkan mereka sedang tidur nyenyak setelah makan dengan kenyang. Kebutuhan mereka pasti terpenuhi dengan sembako dan uang pemberian Anwar. Aku tenang sekali mengingat itu. Memang, kalau punya uang hidup jadi lebih senang. Itulah yang sejak lama aku pikirkan, dan tentu saja yang Risa idam-idamkan. Aku seolah-olah melihat Risa dengan ekspresi wajah tanpa kejengkelan dan kesedihan. Aku juga terngiang-ngiang tawa renyah Rini yang bisa makan enak dengan gizi tercukupi.
Beberapa waktu kemudian, setelah melewati jalan tol yang begitu panjang, akhirnya bus memasuki jalan berkelok-kelok dan naik turun. Aku tidak tahu sudah berada di mana, tetapi aku juga tidak peduli. Aku juga enggan bertanya pada kondektur yang sedang mengobrol dengan sopir. Sementara itu, hampir seluruh penumpang terlelap. Lampu kabin bus yang dipadamkan semakin membuat penumpang pulas. Aku melihat ke jendela, di mana hutan diselimuti kegelapan.
Tiba-tiba saja ada desakan dalam diriku yang mengatakan aku harus turun di sini. Aku yang duduk di bangku paling depan langsung berdiri dan menghampiri kondektur. “Mas, saya mau turun di sini,” kataku kemudian.
“Di sini, Mas?” Kondektur itu bingung.
“Memangnya Mas mau ke mana?” tanya sang sopir yang sejenak menoleh ke arahku.
“Saya mau turun di sini!” kataku tegas.
Sopir melambatkan laju bus seraya menepi. “Tapi, di sini nggak ada apa-apa, Mas,” katanya lagi yang menatapku penuh keheranan.
“Tujuan saya memang di sini.” Aku mendekat ke pintu.
Kondektur membukakan pintu dengan air muka yang masih bertanya-tanya. “Tas sampean mana, Mas? Jangan sampai tertinggal.”
“Saya nggak bawa tas,” jawabku sambil turun dari bus.
Kondektur menutup pintu dengan pandangan terus tertuju padaku. Sampai kemudian sang sopir kembali melanjutkan perjalanan.
Doni turun dari bus di tengah hutan | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Aku menoleh ke kiri dan kanan. Jalan begitu sepi. Aku hanya mendapati lampu-lampu mobil di kejauhan. Kupandang ke depan, di mana hutan dengan pepohonan pinus yang tinggi menjulang seakan-akan tengah menjaga kegelapan malam. Aku melangkah menyeberang dan memasuki hutan yang tampak suram itu. Meski suhu udara terasa rendah, aku sama sekali tidak terganggu. Aku bahkan merasa nyaman dan tidak ada indikasi bahwa tubuhku akan menggigil. Semakin berjalan menembus hutan yang tanahnya agak basah, suhu panas tubuhku seolah-olah menghangatkanku.
Dalam langkah yang perlahan dan pasti, aku sama sekali tidak mendapati jalur setapak. Pastilah hutan ini tidak banyak dijamah orang. Aku sempat mendongak. Bulan yang terang menjadi penerang jalanku. Satelit alami yang mengitari bumi itu kini membuntutiku.
Aku menapaki rerumputan basah, dan tak jarang menginjak ranting-ranting kering yang lantas patah. Selain udara yang terbilang sejuk dan menyegarkan, bau tanah akibat tersiram hujan entah siang atau sore tadi menguar membuat nyaman penciuman. Di dalam kepalaku terbayang-bayang tumpukan uang, senyum Risa yang menawan sedang memamerkan gelang, cincin, dan kalung emas, serta Rini yang tertawa girang karena apa saja yang dia minta dengan mudah aku sediakan.
Dalam langkah dengan bayangan-bayangan kebahagiaan itu aku sesekali terkekeh. Aku jadi gembira sendiri. Membayangkannya saja membuatku ingin terbang dan menari-nari, bagaimana jika itu sungguhan sudah terjadi? Ahh … bisa-bisa nanti aku ingin punya istri lagi. Pikiran yang muncul seketika itu membuatku tertawa makin keras.
Entah berapa lama aku sudah berjalan memasuki hutan. Sampai kemudian aku melihat api di kejauhan. Batinku mendesak untuk segera menghampiri cahaya itu.
Rupanya api itu berasal dari kepala lelaki tua yang berdiri dengan seringai yang mengerikan di wajahnya. Anehnya, mendapatinya tersenyum menakutkan seperti itu tidak membuatku ingin kabur. Aku justru seperti disambut dengan keramahan yang tidak aku mengerti.
Aku yang berdiri di depan lelaki itu memperhatikan api yang membakar kepalanya. Kobaran api itu begitu tenang, seakan-akan telah menjadi rambutnya. Mukanya hitam penuh kerutan. Kedua matanya merah seperti batu delima. Dia mengenakan pakaian serbahitam dan bertelanjang kaki.
Lelaki berambut api | Ilustrasi: hipwee
Tak lama setelah itu muncul lelaki bertubuh gemuk dari arah kiri. Dia berhenti di sebelahku. Kami sempat bersitatap sejenak. Aku bukan hanya menduga, tapi juga meyakini, bahwa lelaki di sampingku itu memiliki tujuan yang sama denganku. Dia pula pastilah mengerti kenapa aku bisa berdiri di tempat ini.
“Selamat datang, bocah-bocah Mbah Celeng Ireng,” kata lelaki tua di depanku. Dia memutar tubuhnya, lalu melangkah.
Aku dan si lelaki gemuk mengekori lelaki tua itu. Cahaya penerangan kini bukan hanya dari terang bulan, tapi juga dari kobaran api di kepala lelaki tua tersebut. Kami menuruni ngarai yang agak licin. Aku sempat memandang ke kiri dan kanan, tampaknya kami berada di antara dua tebing yang agak curam. Aku juga mendengar aliran air yang kuterka adalah sungai. Mungkin kami tengah menuruni jurang miring akibat erosi pada sisi batuan yang mudah gugur.
Ketika sampai di tanah datar, lelaki tua itu berhenti di depan sebuah gua. Aku dan si lelaki gemuk di sebelahku tidak saling melihat dan menyapa. Aku memperhatikan mulut gua yang menganga, di mana kegelapan seolah-olah hendak menelanku bulat-bulat.
“Mari.” Lelaki tua itu memasuki gua.
Aku dan si lelaki gemuk ikut masuk ke gua itu. Hawa dingin langsung terasa, seakan-akan menyedotku lebih cepat ke dalam lorong liang besar tersebut. Aku menghidu wewangian yang begitu menentramkan. Belum pernah aku mencium aroma seperti itu sebelumnya. Entah berasal dari bebungaan, entah pula itu harum pertanda kekayaan yang memabukkan. Aku tidak sepenuhnya paham.
Sampai di ujung gua, ada sebuah meja persegi dan kursi yang terbuat dari batu hitam. Api menyala dengan tenang di beberapa titik di dinding gua. Tempat ini mengingatkanku pada tempat aku melakukan ritual di rumah Mbah Murwo. Hanya saja, di sini gua sungguhan yang sangat harum dan menentramkan jiwaku.
“Duduklah.” Lelaki tua itu kemudian melangkah ke lorong yang lain.
Aku dan si lelaki gemuk duduk berhadapan. Aku tidak tahu apakah dia telah melakukan ritual Nyuwun Pesugihan Celeng Kresek dengan Mbah Murwo atau dukun lain. Aku enggan bertanya, dan rasanya memang tak perlu menanyakan hal itu padanya. Ada senjang senyap di antara kami selama beberapa detik. Sampai kemudian dia menatapku lurus-lurus dan bertanya, “Nama sampean siapa?”
“Doni, Mas,” jawabku singkat.
“Saya Yandi.” Dia tersenyum tipis.
Lelaki tua itu kembali sambil membawa dua piring yang dia letakkan di meja. Didekatkannya dua piring berisi makanan itu ke depan aku dan Yandi. “Makanlah sajian ini sampai habis,” katanya. “Kalian pasti sudah lapar.” Dia bertepuk tangan satu kali, dan tiba-tiba saja perutku keroncongan.
Piring itu seperti terbuat dari anyaman rotan hitam, di mana di atasnya diberi tatakan atau alas makanan berupa daun hitam. Aku menelan ludah melihat makanan yang dihidangkan lelaki tua itu, sementara Yandi langsung melahapnya tanpa berkata apa-apa lagi. Rasa lapar semakin menjadi-jadi, dan aku semakin tak sabar untuk menikmatinya. Sebelumnya, aku tidak pernah melihat makanan itu. Tampak seperti bubur nasi, tapi diberi campuran berwarna-warni entah apa. Mungkin kelopak bebungaan. Meski begitu, makanan tersebut sangat menggiurkan.
Lantaran makanan yang aku anggap lezat itu, aku jadi teringat Risa dan Rini. Aku jadi bertanya-tanya, apakah istri dan anakku sudah makan atau belum? Padahal, aku yakin keduanya sudah tidur dengan perut kenyang.
“Makanlah,” ucap lelaki tua itu memerintah.
Aku mengangguk seraya mengambil sendok bambu hitam di pinggiran piring. “Bismillah,” tandasku.
Tiba-tiba saja dinding gua bergetar bak gempa. Semua api yang tadinya tenang, sekarang berkobar menjilat-jilat seperti hendak melahap apa saja yang ada. Batinku tersentak, kenapa bisa-bisanya aku membaca basmalah? Padahal aku sudah diwanti-wanti untuk tidak melakukan itu. Aku sungguh tidak tahu, apakah bacaan itu tengah menolongku atau justru membunuhku, tetapi semua di sekelilingku tidak lagi sama. Sepertinya, tirai hitam tak kasatmata yang melingkupiku, kini tercabut entah ke mana, sehingga aku bisa melihat apa yang tidak kulihat sebelumnya.
Tempat ini mendadak berbau busuk yang begitu menusuk penciuman, sampai-sampai aku mual dan hendak muntah. Seketika pula aku melihat hidangan di piringku yang tadinya membangkitkan selera makan, kini tampak begitu menjijikkan. Makanan yang tadinya seperti bubur nasi putih, sekarang berubah hitam. Bau yang menyengat dari piring hitam itu membuatku paham bahwa itu bukanlah bubur, tapi tahi babi.
Makanan berubah menjadi kotoran babi | ilustrasi: hipwee via www.hipwee.com
“Hentikan, Yan, makanan yang kamu makan itu tahi babi!” teriakku yang melihat Yandi masih saja memakan hidangan menjijikkan itu dengan lahap.
“Dasar bocah terkutuk!” seru lelaki tua dengan wajah memancarkan kemurkaan. Api di kepalanya makin berkobar membesar berupaya menjilat-jilat mukaku.
Aku spontan berdiri dan mundur dua langkah. Sementara itu, Yandi tetap saja menikmati kotoran babi tanpa peduli apa yang sebenarnya tengah terjadi.
“Mati kau bocah laknat!” seru lelaki tua itu dengan wajah yang berubah menjadi wajah babi hitam. Mulutnya menganga menyemburkan kobaran api yang mendekatiku dengan cepat.
Aku refleks berbalik seraya berlari ke lorong menuju mulut gua. “Astagfirullah … astagfirullah …,” ucapku berulang-ulang, merasakan seluruh tubuhku merinding.
Aku berupaya bergerak secepat mungkin. Sementara dari dinding gua kulihat siluet lelaki tua yang mengejarku. Kupercepat langkah sembari terus beristigfar dalam hati.. Setibanya di mulut gua, api yang disemburkan oleh lelaki tua itu sudah menyentuh rambutku.
Rambutku terbakar saat berhasil keluar dari gua itu. Aku sempat tersandung batu, sehingga tersungkur dengan muka menghantam tanah. Aku berdiri sambil memadamkan api di kepalaku. Bau gosong yang berasal dari rambutku menyengat penciuman, tapi aku lebih dapat menghidu bau kematian.
Lelaki tua yang kini sudah berubah seperti monster babi hitam itu berdiri di depan gua. Seluruh tubuhnya berbulu hitam kasar dengan tangan dan kaki yang begitu kekar. Perutnya yang buncit seolah-olah menegaskan bahwa aku bisa saja dicerna di dalam sana. Gigi taringnya yang menyembul dari sela bibirnya terlihat makin mengancam. Matanya yang merah menatap tajam. Lubang di moncong hidungnya mengembuskan uap panas. Sementara api tetap berkobar di kepalanya.
Tanpa pikir panjang, aku kembali berlari entah ke mana. Yang jelas, aku ingin menjauhi Setan Celeng Ireng yang terus mengejarku. Segalanya memang mendadak berbeda. Sekarang aku merasa kedinginan. Aku baru bisa merasakan kedua kakiku sakit, betisku pegal, badanku ngilu, serta lapar dan haus yang seakan-akan hendak membunuhku juga. Aku terus berlari. Aku belum mau mati.