Aku baru saja selesai salat duha dan masih duduk bersila di atas sajadah. Aku berdoa, kiranya segera bisa keluar dari kesulitan hidup yang tengah mendera. Sementara itu, dalam kekhusyukan, aku mendengar hujan belum juga berhenti sejak turun subuh tadi.
“Mas, bukannya lekas jualan, malah berdoa terus.”
Aku terkejut dengan ucapan Risa. Dia yang tadi sedang menggoreng telur, rupanya kini sudah berada di kamar.
“Salat wajibmu rajin, ditambah salat sunah pula, tapi hidup kita malah makin susah,” cetus Risa dengan nada yang jengkel sekaligus sedih.
Aku mengembuskan napas panjang melalui mulut. Meski aku juga pernah berpikir seperti itu, kali ini aku jadi kesal. “Doa ‘kan bersanding dengan usaha, Ris. Kalau kita sudah berdoa, tapi belum juga berhasil, mungkin ada yang kurang dalam usaha kita. Atau, bisa jadi sebaliknya,” kataku akhirnya mencoba memberi pengertian agar dia bisa lebih bersabar.
“Justru itu, Mas, kamu lekas sarapan, lalu jualan.” Risa duduk di tepi ranjang dengan air muka yang jengkel.
“Saya mau libur jualan dulu hari ini, Ris,” timpalku sambil melepaskan peci dan melipat sajadah. Aku duduk di sebelah Risa. “Kamu tahu sendiri sudah beberapa hari ini saya merugi. Sekarang saja sedang hujan. Jualan es cendol jarang banget yang beli,” sambungku yang beberapa detik kemudian membuatku menyesal telah mengeluh di depan Risa.
“Katanya hujan berkah, tapi kok malah jadi musibah?” Risa mengusap wajahnya yang tampak lelah.
“Istigfar, Ris. Kamu nggak boleh ngomong begitu.”
Risa malah mencerocos, “Semenjak di-PHK bareng kamu, si Anwar buka kedai kopi di pinggir jalan dekat kelurahan. Kedai kopinya sering ramai kalau malam. Dia terbilang sukses, tuh. Nggak cuma bisa beli rumah, tapi juga punya mobil.”
Perdebatan Doni dan Risa | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Aku tersinggung dan langsung menimpali, “Kenapa kamu malah membanding-bandingkan saya sama si Anwar?”
“Bukan begitu, Mas,” balas Risa dengan cepat. “Kalian ‘kan pernah berkawan baik. Cobalah kamu minta diajak kerja sama dia, atau kamu minta diajari caranya berbisnis. Dia pasti mau membantumu,” lanjutnya menerangkan hal yang sebenarnya pernah aku pikirkan.
Aku yang tadinya disesaki amarah, kini jadi sedih melihat Risa berbicara seperti itu. Aku tahu bahwa aku adalah harapan satu-satunya yang bisa mengubah keadaan menjadi lebih baik. Sebagai kepala rumah tangga, sudah seharusnya aku berpikir lebih jernih untuk menemukan jalan lain menuju kesuksesan. Ya, meski itu diawali dengan meminta pekerjaan atau diajari bagaimana memulai usaha dengan baik.
Risa kembali bicara, tapi kali ini dengan nada yang lembut, “Lebih baik kamu temui si Anwar, Mas. Dengan begitu, libur jualanmu nggak sia-sia.” Risa berhenti sejenak. Dia menatapku lebih lekat. Matanya penuh kesedihan dan harapan. “Kontrakan sudah tiga bulan belum kita bayar. Kemarin Pak Rusdi sudah menagih. Rini juga baru masuk SD dan butuh biaya ini-itu, Mas. Kalau memang kamu malu minta kerjaan sama si Anwar, biarlah saya yang menemuinya. Kalau seandainya Anwar memberi saya kerjaan, kamu harus mengizinkan saya bekerja. Kamu—”
“Jangan,” kataku menyela ucapan Risa. Aku tidak mau Risa bekerja. Dia harus menjaga dan mengurus Rini. “Nanti sehabis makan saya akan ke kedai kopi si Anwar. Kamu urus saja Rini di rumah. Biar saya yang cari uang di luar.”
***
Siang menjelang sore ini hujan mulai mereda menyisakan genangan air di beberapa titik di jalan pemukiman yang berlubang. Aku melangkah perlahan menuju kedai kopi milik Anwar yang berada di seberang kelurahan. Dua tahun lalu, aku dan Anwar bekerja di perusahaan kecil yang memproduksi makanan ringan kemasan. Biasanya, jajanan itu dijual di warung-warung pinggir jalan. Gajiku memang di bawah upah minimum, tapi itu menjadi satu-satunya pengharapanku agar bisa bertahan hidup. Selama bekerja di sana, aku bisa menghidupi Risa dan Rini. Tentu saja aku memberi pengertian kepada Risa agar lebih mendahulukan kebutuhan daripada keinginan. Cara itu cukup berhasil menekan pengeluaran, bahkan sedikit demi sedikit aku bisa menyisihkan simpanan uang—yang akhirnya kubelikan gerobak untuk menjual es cendol.
Suatu hari, perusahaan tempatku bekerja itu mengalami kebakaran. Seluruh gedung habis dilahap si jago merah. Pihak perusahaan tidak bisa berbuat apa-apa selain menutup seluruh kegiatan produksi. Itu artinya semua karyawan terkena pemutusan hubungan kerja tanpa pesangon. Kabar dari mulut ke mulut tersebar, bahwa pihak perusahaan lebih memilih menjalankan produksi di cabang di dua kota lain. Sejak saat itu, aku dan Anwar jarang berkomunikasi, tapi sesekali aku dan Anwar bertegur sapa jika berpapasan.
Aku mendapati Anwar yang baru saja keluar dari mobil sedan hitamnya. Dia terlihat begitu rapi dan percaya diri saat melihatku. “Assalamu’alaikum,” sapaku.
“Hai, Don. Apa kabar?” Anwar tersenyum dan kami berjabat tangan tanpa menjawab salamku.
“Alhamdulillah baik.” Aku membalas senyumnya. “Kalau kamu ada waktu, mungkin kita bisa mengobrol,” kataku kemudian.
“Oh, tentu saja, Don. Mari.” Anwar mengajakku masuk ke kedai kopinya dan kami duduk di bagian pojok ruangan.
“Hebat kamu, War, sudah punya usaha yang sukses.” Aku memperhatikan seisi kedai, di mana ada beberapa pengunjung remaja. Kedai ini memang sangat menarik untuk anak muda sebagai tempat nongki.
Anwar terkekeh senang. “Ini cuma usaha kecil-kecilan, Don,” sahutnya kemudian. “Oh ya, kamu mau minum apa?”
“Apa saja lah.”
Anwar lantas memanggil salah satu pekerja dan minta dibuatkan kopi hitam jenis robusta.
“Saya kira kamu sudah nggak mau mengobrol sama saya, Don. Habisnya kamu nggak pernah lagi nge-WA saya,” terka Anwar menyambung percakapan.
“Hape saya hilang, War,” timpalku agar Anwar lekas mengerti keadaanku. “Setelah kita di-PHK, saya mengojek. Kamu tahu sendiri, nggak mungkin seusia kita yang sudah lebih dari tiga puluh empat tahun bisa dapat kerjaan di perusahaan. Singkatnya, saya jadi ojek online. Suatu hari, saya sedang menunggu penumpang di sisi jalan raya dekat rumah sakit umum. Saya sedang chat-an sama penumpang itu. Tiba-tiba saja hape saya dicopet sama pengendara motor lain. Saya sudah mengejarnya, tapi pencopet itu lebih cepat daripada saya,” sambungku menuturkan kejadian busuk itu.
Seorang pelayan membawakan kami dua cangkir kopi. Setelah meletakkan pesanan itu ke meja, dia lantas berlalu melanjutkan pekerjaannya.
“Keapesan saya nggak berhenti sampai di situ. Keesokan harinya, saat saya membeli obat di apotek, nggak ada lima menit saya tinggal, motor saya raib dicuri orang. Saya sempat melihat rekaman CCTV-nya, tapi ya tetap saja motor itu nggak bisa saya miliki lagi.” Saya menghentikan cerita. Saya meraih cangkir kopi. “Bismillah.” Saya menyeruput minuman itu dengan nikmat.
“Terus kerjaanmu sekarang ngapain? Masih jualan es cendol?”
“Masih, tapi rugi terus. Jarang yang beli, apalagi musim hujan seperti sekarang ini,” jelasku sambil meletakkan cangkir kopi ke tempat semula. “Anak saya baru masuk SD, kontrakan menunggak tiga bulan, belum lagi untuk makan sehari-hari, saya benar-benar sedang kesulitan, War. Sebenarnya, saya malu ngomong begini sama kamu, tapi saya nggak tahu harus ngobrol sama siapa lagi.”
Anwar tidak langsung menimpali. Dia meminum kopinya terlebih dahulu. “Nggak apa-apa, Don. Santai saja.” Dia menaruh cangkir kembali ke meja. “Jadi, apa yang bisa saya bantu?”
Doni pun menemui Anwar | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Kalau bisa, beri saya kerjaan, War. Jadi pelayan di sini juga nggak apa-apa, yang penting saya punya pemasukan,” jawabku yang sebenarnya merasa rendah diri.
Anwar mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Dia terlihat sedang berpikir dan menimbang-nimbang sesuatu. “Kalau kasih kamu kerjaan di sini saya nggak bisa. Sudah ada tiga orang yang bekerja di sini,” jelasnya kemudian. “Tapi, kalau kamu mau, ada sesuatu yang perlu saya jelaskan lebih lanjut.”
“Apa itu, War? Kerja apa pun saya mau.” Aku menatap Anwar bersungguh-sungguh.
“Ayo, ikut saya,” ajak Anwar sembari berdiri.
“Ke mana?” Aku bingung.
“Ikut saja.” Anwar tersenyum tipis.
Aku menurut.
***
Aku duduk dengan nyaman meski bingung Anwar hendak mengajakku ke mana. Aku yang terus terdiam membuat Anwar akhirnya bicara. Dia mengatakan dengan nada dan mimik yang serius sambil berkonsentrasi mengemudikan mobil. Dia bertutur bahwa sebenarnya dia melakukan pekerjaan selain usaha kedai kopi. Pekerjaan itu menghasil banyak uang dan membuatnya kaya seperti sekarang, atau setidaknya tak pernah kekurangan dalam memenuhi segala kebutuhan sehari-hari. Tentu saja aku bersemangat dan bertanya dia bekerja apa. Aku terkejut ketika Anwar menjelaskan bahwa pekerjaan itu bertaruh nyawa. Namun, aku terlampai penasaran.
Tak hanya itu, Anwar juga mewanti-wanti, kalau dia sudah memberi tahu soal pekerjaan itu dan aku membocorkannya kepada seseorang, aku pasti akan mati. Aku sempat berpikir kalau Anwar mau menjadikan aku sebagai kurir narkoba. Kutelan ludah dengan gelisah. Namun, karena sudah kepalang tanggung dan terbayang-bayang kesusahan di rumah serta kemarahan Risa, akhirnya aku menegaskan pada Anwar bahwa aku pasti setia menjaga rahasia.
Anwar memarkirkan mobilnya di parkiran di taman kota. Alih-alih menuju area taman, dari sana aku diajak duduk di bangku trotoar. Di tengah-tengah kota ini, aku bisa melihat gedung-gedung pencakar langit dan mal besar yang bahkan belum pernah aku masuki. Aku juga memperhatikan kesibukan orang-orang kantoran yang pulang bekerja, serta masyarakat yang bagiku terbilang kaya.
“Ini rokok kemenyan yang sudah dimantrai. Kalau memang kamu mau tahu apa yang saya kerjakan, kamu harus mengisap rokok ini dulu biar kamu bisa melihat buktinya.” Anwar diam sejenak. Dia menatapku lebih saksama. “Tapi ingat, saat kamu mengisapnya, itu artinya kamu sudah diikat secara gaib.”
“Diikat secara gaib?” Aku mengerutkan dahi.
Anwar mengangguk. “Kamu akan melihat perbedaan selama beberapa detik. Kamu harus merahasiakan apa yang kamu lihat dan apa yang akan saya sampaikan. Kalau kamu ingkar atau bercerita sama orang lain, kamu bisa mati,” katanya menjelaskan dengan serius. “Kamu pasti mati,” tandasnya kemudian dengan penuh penegasan.
Aku menelan ludah karena ketidakmengertian. Aku semakin gugup.
“Jangan takut, Don.” Anwar tersenyum tipis. “Kamu mau kaya, nggak?” Dia terkekeh. “Kalau kamu bisa hidup seperti saya, pastilah Risa nggak akan mengomel.” Dia tertawa lebih keras.
“Baik.” Aku mengangguk meski perasaanku tidak enak.
Aku meraih rokok kemenyan yang disodorkan Anwar.
“Jangan baca doa, Don.”
Aku semakin bingung dan tiba-tiba disergap rasa takut. Meski seperti itu, aku tetap saja mengikuti perkataan Anwar. Aku tidak mengerti kenapa perkataan Anwar seperti memiliki kekuatan magis, dan aku seolah-olah terhipnotis.
Setelah Anwar menyerahkan korek api, aku lantas membakar rokok kemenyan itu. Aku mengisap rokok tersebut yang rasanya sungguh tak enak. Anwar lantas meraih rokok yang terselip di jariku. Ketika asap rokok itu aku embuskan, aku tidak mendapati perubahan apa-apa. Aku melihat gedung-gedung yang tetap berdiri tegak dan gagah. Aku tetap mendapati mal yang masih terlihat mewah. Namun, ketika aku melihat ke arah orang-orang yang berlalu-lalang di trotoar, barulah aku paham perbedaan yang dimaksud Anwar.
Aku mendapati beberapa orang yang mengenakan pakaian bagus dan penampilan mentereng mengalami perubahan di kepala mereka. Ada yang menjadi kepala babi, monyet, harimau, buaya, ular, dan kelelawar. Aku sungguh terkejut dan mendadak takut. Aku bingung kenapa ada orang-orang yang kepalanya berubah menjadi kepala hewan. Spontan aku menoleh ke arah Anwar karena ingin bertanya, tapi aku malah semakin kaget. Pasalnya, kepala Anwar berubah menjadi kepala babi berwarna hitam. Jantungku diserang nyeri yang dalam, sampai-sampai aku terjatuh dari bangku. Aku menutup muka dengan tubuh gemetar.
penampilan orang-orang di mata Doni | Ilusrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Jangan takut, Don.” Anwar menyentuhku. Dia menarikku untuk kembali duduk di bangku.
“Buka matamu. Mungkin keadaan sudah kembali normal.”
Aku menurunkan kedua lengan dengan lunglai seraya membuka mata perlahan. Aku mendapati kepala Anwar sudah kembali seperti sedia kala.
“Yang kamu lihat barusan adalah orang-orang kaya karena pesugihan,” kata Anwar menjelaskan. “Ada yang menjalani pesugihan harimau, monyet, buaya, ular, kelelawar, babi ngepet, dan macam-macam.”
Aku mengusap wajah dengan gelisah. “Ka-kamu … kamu tadi berubah jadi babi,” kataku kemudian.
“Saya menjalani pesugihan babi ngepet,” cetus Anwar disudahi dengan tersenyum tipis. “Penghasilan terbesar saya karena menjalani itu, Don. Kedai kopi cuma semacam kedok saja supaya orang-orang nggak curiga sama saya. Awalnya, kedai kopi terus merugi, tapi bisa ditutupi oleh hasil ngepet, lalu lama-kelamaan kedai itu mulai menguntungkan juga.” Dia terkekeh dengan wajah puas.
Aku mengangguk-angguk pelan.
“Ingat pesan saya tadi, kamu harus jaga rahasia kalau enggak mau mati.” Anwar menatapku dengan sorot mata yang serius dan mengancam.
Aku mengangguk lagi. Bingung. Bimbang. Takut dan cemas membaur menjadi satu dalam batinku.