Dalam beberapa tahun terakhir, kita begitu karib dengan istilah penistaan, yang lebih sering disandingkan dengan kata /agama/. Ya, penistaan agama belakangan ini memang menjadi sebuah tajuk berita yang sangat ‘menjual’ di berbagai platform atau media massa mana pun.
Setelah melejitnya kasus bekas gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama karena silap kata saat berpidato dalam rangka kunjungan kerja di Kepualauan Seribu, 27 September 2016 lalu, kali ini tersiar kembali kabar serupa yang diakibatkan oleh sebait puisi dari seorang budayawati, Sukmawati Soekarnoputri (29/3).
Puisi berjudul Ibu Indonesia yang dibacakan Sukmawati itu dinilai menistakan agama (Islam) karena pada dua larik puisi tersebut terdapat pernyataan bahwa sari konde itu lebih cantik daripada cadar dan suara kidung Ibu Indonesia sangatlah elok, lebih merdu dari suara azan. Berangkat dari larik puisi inilah, beberapa pihak merasa kecewa dengan perbuatan Sukmawati.
Sebuah kabar yang tentu mengejutkan, mengingat Sukmawati merupakan salah satu putri dari proklamator Indonesia, Soekarno. Walhasil, banyak pihak yang menyayangkan dan lantas melaporkan Sukmawati atas dugaan penistaan agama setelah pembacaan puisinya dalam acara 29 Tahun Anne Avantie Berkarya di Indonesia Fashion Week itu viral di media sosial.
Begini puisi Sukmawati yang termaktub dalam kumpulan puisi Ibu Indonesia (2006):
Ibu Indonesia
Aku tak tahu Syariat Islam
Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah
Lebih cantik dari cadar dirimu
Gerai tekukan rambutnya suci
Sesuci kain pembungkus ujudmu
Rasa ciptanya sangatlah beraneka
Menyatu dengan kodrat alam sekitar
Jari jemarinya berbau getah hutan
Peluh tersentuh angin laut
Lihatlah ibu Indonesia
Saat penglihatanmu semakin asing
Supaya kau dapat mengingat
Kecantikan asli dari bangsamu
Jika kau ingin menjadi cantik, sehat, berbudi, dan kreatif
Selamat datang di duniaku, bumi Ibu Indonesia
Aku tak tahu syariat Islam
Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok
Lebih merdu dari alunan azan mu
Gemulai gerak tarinya adalah ibadah
Semurni irama puja kepada Illahi
Nafas doanya berpadu cipta
Helai demi helai benang tertenun
Lelehan demi lelehan damar mengalun
Canting menggores ayat ayat alam surgawi
Pandanglah Ibu Indonesia
Saat pandanganmu semakin pudar
Supaya kau dapat mengetahui kemolekan sejati dari bangsamu
Sudah sejak dahulu kala riwayat bangsa beradab ini cinta dan hormat kepada ibu Indonesia dan kaumnya.
ADVERTISEMENTS
Selain dua nama tokoh di atas, dulu pernah ada sosok yang dinilai menistakan agama dan mendekam di bui selama lima tahun, Arswendo Atmowiloto
Tabloid Monitor edisi Oktober 1990, berhasil membuat heboh publik gara-gara angket yang dimuat dalam rubrik Kagum. Pasalnya, di sana termuat hasil jakpat (jajak pendapat) deretan orang yang dikagumi masyarakat. Dari puluhan ribu kartu pos yang diterima, nama Nabi Muhammad Saw berada di urutan ke-11. Sementara Arswendo selaku pimpinan redaksi mengisi posisi ke-10. Dengan kata lain, Nabi Muhammad Saw kalah populer dari Soeharto, BJ. Habibie, Soekarno, Iwan Fals, hingga Arswendo sendiri.
Kendati Monitor telah menyampaikan permohonan maaf, orang-orang tetap merasa kesal dengan perbuatan yang katanya ‘nggak sengaja’ itu. Seperti dinukil dari Tirto, meski Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa wibawa Nabi Muhammad nggak akan menurun karena kasus Monitor, Amien Rais dan tokoh Islam lainnya tetap merasa bahwa ini hinaan untuk umat Islam. Alhasil, Arswendo harus mendekam di bui selama lima tahun.
ADVERTISEMENTS
Masih seputar karya sastra, kembali ke tahun 1968, cerpen kontroversi Langit Makin Mendung juga mendapat atensi keras dari masyarakat
Cerpen yang dirilis sekitar bulan Agustus tahun 1968 ini sukses mencuri perhatian publik. Dunia sastra pun terguncang akibat maraknya pembahasan akan cerpen yang diduga karangan Paus Sastra Indonesia HB Jassin tersebut—padahal ia hanya selaku editor dari majalah Sastra. Meski HB Jassin saat itu enggan menyebut nama pengarang aslinya, akhirnya ialah yang harus berurusan dengan hukum atas geramnya massa akibat sikap bungkamnya.
Cerpen karangan Ki Pandjikusmin (yang kemudian diketahui bernama asli Sudihartono) ini dinilai menistakan agama sebab menceritakan tentang Nabi Muhammad yang turun ke bumi bersama malaikat Jibril. Anak sastra pasti udah pernah baca cerpen ini.
ADVERTISEMENTS
Daripada ngomongin soal penistaan agama yang saat ini menjadi hal yang paling dibenci masyarakat Indonesia, mending simak puisi tandingan dari Hipwee Puitis ini
Nah, kembali lagi ke puisi kontroversi sang budayawati Sukmawati, nggak ada salahnya kalau kamu lebih tertarik untuk menyimak puisi atas kontroversi yang kerap terjadi di jalan raya ini saja. Sebab, inilah yang sampai sekarang masih dirasakan oleh hampir sebagian besar anak muda Indonesia. Barangkali kamu pun tengah merasakannya saat membaca artikel ini ….
Ibu(-Ibu Bermotor Matic) Indonesia
Kami tak tahu jalan pikiranmu
Yang kami tahu cuma pertigaan dan perempatan jalan itu
Lebih mudah dilalui dari mana saja, asal ada lampu lalu lintasnya
Gerai konter pulsa memajang nomor cantik
Sesuci dan secantik nama konternya, Suci Cantik Cell
Rasa-rasanya kami pengen mampir sejenak
Menyatu dengan bapak-bapak yang ngotot beli sinyal, dan
Jari jemarinya terlalu susah untuk mengetik
Peluh menetes dari tubuhnya karena tak bisa menelepon istrinya itu
Janganlah menoleh, ibu-ibu bermotor matic! Bahaya …
Saat penglihatanmu tak fokus di jalanan
Supaya kau dapat melihat pemandangan sekitar
Jika kamu pengen menjadi pembalap, pengendara yang hebat, dan pengemudi yang taat
Selamat datang di jalanan, Emak-emak Matic Indonesia!
Kami tak tahu harus bagaimana
Yang kami tahu, kami harus menjaga jarak
Lebih baik berhenti dulu
Gemulai ngawur gerak lajumu di jalan raya
Semurni suara motor maticmu yang jarang diservis
Napas jadi tersengal melihat tingkahmu, kami langsung khawatir
Lelehan minyak dari tuas rem yang kelamaan kau cengkram itu, oh, kumohon
Pandanglah lurus ke depan, Emak-emak!
Banyak rambu lalu lintas yang harus kita patuhi
Sudah sejak ada motor matic, kami jadi panik
Karena tak tahu, kau mau belok ke kanan atau ke kiri
Atau
tak jadi belok sama sekali
Mudah-mudahan, puisi ini nggak dituntut oleh emak-emak bermotor matic yang kerap membuat degdegan di jalan raya, ya.