Labirin 8 chapter 9 by Eva Sri Rahayu | iilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Langkah Anggara terhenti begitu melihat pemandangan mengejutkan di depannya: sebuah kota mati. Namun, ternyata bukan hanya kota mati yang menunggu di sana melainkan bahaya lain yang besar. Apakah kali ini mereka masih bisa yakin nyawa bisa bertahan di badan?
***
Anggara merasakan kegelapan menyelimuti pria di depannya. Hasrat ingin membunuh terpancar dari setiap gerak pria itu. Tak ada keraguan di matanya. Pria itu jelas berbahaya! Dia tak gentar pada palu di tangan Tungga. Namun, dalam pertempuran ini, posisi mereka tidak sepadan karena dorongan yang berbeda. Dia tidak menginginkan pertumpahan darah, sedang Tungga menghendaki adanya kematian. Sehingga keberadaan senjata menjadi penentu.
Matanya awas tak lepas menatap Tungga, berusaha mengintimidasi si koboi. Sebisa mungkin tak menghiraukan palu yang diayun-ayunkan seolah-olah benda itu adalah pendulum, meski bahkan bunyi pergerakan udara yang ditimbulkannya menjelma imajinasi mengerikan. Dia memasang kuda-kuda. Selama beberapa saat keduanya hanya saling mengamati.
Tungga mendengkus. “Kenapa diam saja? Takut?” Dia tertawa penuh kemenangan. “Kalian manusia-manusia tolol! Naif! Kalian pikir, tanpa uang, kita bisa mengembalikan kejayaan leluhur? Itu cuman ilusi konyol! Pada akhirnya, kita hanya akan terjebak dalam romantisisme masa silam. Hanya uang, yang bisa mengembalikan eksistensi leluhur!” pekiknya.
Dari getar suaranya, Anggara melihat celah dalam diri Tungga. Pria itu terlalu bernafsu, sehingga mengurangi kewaspadaannya. Tetapi, emosinya pun terganggu oleh perkataan si koboi. Kepala Anggara kemudian dipenuhi fraktal kemungkinan-kemungkinan penyerangan seperti apa saja yang akan dilancarkan lawannya. Dia harus membaca dengan tepat, atau palu itu bersarang di tubuhnya. Dia mempertimbangkan, apakah lebih baik menyerang duluan atau menangkis saja. Apa pun itu, dia hanya perlu memisahkan palu dari tuannya. Pria itu meletakkan keberanian dan kepercayaan dirinya pada senjata, bukan pada dirinya sendiri. Kesulitannya terletak pada strategi yang mesti dipilihnya, dia harus berhati-hati agar benda itu tak merusak relief atau mengenai seseorang.
Tungga terkekeh. “Berani juga kamu! Kamu ingin masuk ke arena pertempuran?”“Uang memang bisa membuat kita berkuasa. Tapi… kamu lupa, kita hidup di tempat yang sangat kaya. Kalau takarannya hanya soal kekayaan, dari dulu, semestinya kita tak terkalahkan. Nyatanya, kita kalah bukan!” tukas Maya, membuat Anggara dan Tungga menatapnya. “Kita kalah bukan karena kekurangan harta, justru karena perang saudara. Kita jadi begitu mudah diadu domba!” Dia menghela napas berat.
“Jangan bawa-bawa dia!” ujar Anggara tegas.
Mimik muka Tungga menampakkan rasa jijik. “Halah bacot! Pengecut yang berlagak sok pahlawan! Dari tadi kamu cuma bisa diam, kan!” ejek Tungga. Pria itu bergerak cepat, palunya diarahkan ke kepala Anggara.
Ketika jarak palu hampir mengenai kepalanya, kaki Anggara dengan cekatan bergeser hingga tubuhnya menyamping. Palu itu memukul ruang kosong. Hampir saja kepalanya remuk. Detik berikutnya, Tungga kembali menerjang. Palu itu menyerempet sedikit tubuhnya, sebelum membentur lantai sehingga menimbulkan retakan. Ketika posisi si koboi tengah membungkuk, Anggara menemukan kesempatan. Dia menendang punggung Tungga sekuat tenaga sampai pria itu tersungkur. Pria itu berteriak ketika kepalanya menabrak dinding.
Anggara menghindari serangan Tungga | Ilustrasi oleh Hipwee
Anggara cepat-cepat merebut palu dari tangan Tungga. Sebelah tangannya kemudian menjambak ramput pria itu hingga kepalanya terangkat. Dia lalu menempelkan palu ke pipi pria itu. “Benda ini bisa meremukanmu. Tapi apa untungnya? Kita enggak butuh korban lagi.” Dia menarik benda itu dan melepaskan cengkeramannya. “Kita harus keluar dari sini hidup-hidup, dan satu-satunya cara hanya dengan bekerja sama,” pungkasnya.
Dia mendekati Suacheng, memeriksa luka pria itu. Kemudian membuka kaosnya untuk dipakai membebat luka Suacheng. Timbul respek besar dalam hati Anggara saat melihat pria itu hanya merintih pelan menahan sakit meski wajahnya telah pias karena terlalu banyak kehilangan darah. Dia memberikan obat penahan sakit yang ditemukannya dalam ransel pria itu. Hanya itu satu-satunya obat yang ada.
“Ayo, Le, Nduk, kita keluar dari sini,” ajak Rakai.
“Sebentar lagi kamu akan demam,” ucap Anggara, yang diamini Suacheng lewat anggukan. “Kita jalan pelan-pelan.”
Hanya ada satu lorong panjang yang Anggara asumsikan sebagai pintu keluar. Setelah mengisi botol-botol dengan air, mereka menyusurinya. Lorong itu memiliki struktur berbeda. Dinding-dindingnya bukan lagi batu andesit yang sengaja dibangun sedemikian rupa. Tetapi, gua ini tampak terbangun secara alami. Tak ada lagi pahatan relief, bau yang menguar di udara pun bukan bau gas atau belerang.
Anggara yakin, mereka telah berhasil keluar dari candi.
Meski rutenya tidak berputar-putar dan melandai, tapi menempuh perjalanan panjang dengan medan berbatu-batu dalam keadaan kelelahan, sakit, dan mental yang semakin anjlok sungguh terasa berat. Rakai yang berjalan tertatih-tatih, Tungga dalam kemurungannya lebih mirip mayat hidup, dan Suacheng yang dipapah Anggara. Panas tubuh pria itu bahkan membuat Anggara merasa seolah sedang memegang arang. Maya berusaha terus tampak kuat walaupun gurat-gurat keletihan terpampang terlalu jelas di wajahnya, perempuan itu berjalan memimpin di depan. Di waktu-waktu istirahat, Maya memberi mereka minuman. Tak ada percakapan. Energi mereka hanya ditumpukkan pada kaki. Sekelompok pesakitan itu hanya bergerak dalam senyap.
Anggara mulai merasakan perubahan aliran udara, anehnya itu justru mencuatkan kecemasan dalam dirinya. Firasatnya mengatakan mereka sudah semakin dekat dengan jalan keluar. Semestinya hal itu menenangkan hatinya, tetapi nuraninya justru memberikan sinyal sebaliknya. Benar saja, hanya dalam bilangan menit, mereka sampai di ujung gua.
Hal pertama yang dilihatnya adalah sebuah rumah kayu. Rumah itu masih berdiri ajeg meski kayu-kayunya telah lapuk. Secara naluriah, dia langsung menyusuri rumah itu untuk mencari alat penerangan. Debu-debu beterbangan membuatnya sesaat terbatuk-batuk. Matanya menyipit untuk melihat lebih jelas situasi di dalam ruangan. Segala benda di sana seakan bercerita mengenai apa yang terjadi di masa lampau, hal itu menyengatkan perasaan campur aduk yang sulit dia terjemahkan. Ketika, menemukan dua buah obor yang langsung disulutnya, buru-buru dia keluar. Cahaya dari obor menyibak apa yang tersembunyi di kegelapan. Langkah Anggara terhenti begitu melihat pemandangan mengejutkan di depannya: sebuah kota mati.
Kota mati di | Ilustrasi oleh Hipwee
Tungga mendekati Anggara. “Gila! Ini gila!” ujarnya yang mendadak mendapatkan kembali semangatnya.
Anggara tak habis pikir, bagaimana kompleks permukiman kuno bisa tetap berdiri utuh, Apakah ini semacam bunker, tempat persembunyian, atau memang didesain berada di bawah tanah? Penemuan situs permukiman warga bukan hal baru yang ditemukan warga dan diteliti arkeolog. Namun, keadaan kota ini luar biasa. Begitu luas dan meski terkubur keadaannya tetap lestari.
“Ini seperti Candi Liyangan. Sebelah utara dari Candi Borobudur. Konon, di sanalah tempat para pembangun candi bermukim,” jelas Maya. “Pada saat terjadi letusan, semua penduduk berpindah. Sistem mitigasi mereka tampaknya sangat canggih, sehingga enggak ditemukan korban jiwa. Euh… itu yang kubaca.”
“Kalau begitu, di sini pasti banyak harta yang ditinggalkan.” Tungga mengambil satu obor dari tangan Anggara. Dia memelesat memasuki sebuah rumah.
Naluri Anggara sebagai kamerawan bangkit. Dia memberikan obornya pada Maya, kemudian mengeluarkan kamera dan mendokumentasikan pemandangan luar biasa di sekelilingnya.
Tak lama Tungga keluar dari salah satu rumah dengan wajah semringah. “Lihat apa yang kutemukan? Barang-barang dari emas! Enggak banyak, tapi kalau di rumah lain juga ada, aku bisa sangat kaya.”
Tiba-tiba dari arah kejauhan terdengar bunyi geraman yang membuat bulu kuduk berdiri. Ada makhluk lain di sana. Dan makhluk itu terdengar buas dan marah.
Anggara dan rombongan ketakutan saat mendengar suara binatang | ilustrasi oleh Hipwee
“Apa itu?” tanya Tungga panik.
Tak butuh waktu lama bagi mereka mendapat jawaban. Makhluk itu telah menampakkan diri. Makhluk itu berada jauh di belakang Tungga. Mengendap-endap. Awalnya hanya mata bersinar si makhluk saja yang terlihat. Lewat lensa kamera saja, dia dapat menangkap tatapan haus darah, seakan siap mencabik siapa pun yang memasuki daerah kekuasaannya.
Kawanan makhluk itu berjumlah empat, mengelilingi mereka dengan kecepatan yang tak terbayangkan. Anggara terhenyak, dia belum pernah melihat wujud makhluk seperti itu. Makhluk-makhluk itu tampak seperti datang dari kisah-kisah mitologi. Purba.
Tubuh Anggara beku, keringatnya becucuran. Pertama kali dalam hidupnya, dia merasakan dicekam ketakutan akan kematian.
Eva Sri Rahayu aktif menulis sejak tahun 2006. Karya-karyanya lebih banyak mengangkat tema kehidupan remaja dengan tujuan memberi edukasi kepada generasi muda lewat literasi. Kini tengah terlibat produksi serial animasi mengenai kearifan lokal sebagai penulis skenario.