Labirin 8 chapter 8 by Eva Sri Rahayu | iilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Di bawah tanah, segalanya bisa terjadi. Termasuk dinding bersepuh emas yang membangkitkan hasrat serta memicu pertikaian yang hanya merugikan. Bisakah mereka melalui konflik yang ini dulu sebelum mencari jalan keluar dari jebakan?
***
Undakan itu tampak tak ada habisnya. Kegelapan membuat dasarnya tak terlihat. Setiap melewati belasan tangga—entah berapa jumlahnya, karena Tungga tak mau repot-repot menghitungnya—mereka menemukan ruang persegi kosong yang dindingnya dipenuhi relief.
Ketika rentetan tangga pertama berakhir di ruang yang lebih luas, mereka sempat berhenti untuk menyusurinya. Berharap ruang itu menyediakan pintu keluar. Namun, dinding buntu menutup kemungkinan itu. Sehingga tak ada pilihan selain menuruni satu per satu anak tangga selanjutnya. Untungnya perhentian itu membuahkan sedikit hasil, Anggara menemukan pelita lain sebagai sumber pencahayaan yang mereka butuhkan. Gerak Anggara yang cekatan menarik perhatiannya Tungga. Dia berpikir, bila mereka keluar nanti, merepa bisa berkawan. Atau bahkan mengangkat pria itu menjadi pegawai.
“Sepertinya memang tempat ini dulunya sekolahan. Ruang-ruang ini seperti pembagian kelas. Kalau dilihat dari besar kecilnya ruang, tampaknya ruang atas dipakai untuk tingkatan keilmuan tinggi. Makin ke bawah, ruangnya makin besar karena dipakai untuk menampung banyak murid. Katanya dulu ada 337 disiplin ilmu yang dipelajari di Nusantara,” ujar Anggara memecah keheningan. “Sebenarnya aku penasaran pada detail-detail relief ini.”
Tungga mengutuk dalam diam. Seandainya mereka mesti berhenti di tiap ruang hanya untuk mempelajari relief, dia memutuskan untuk mengamuk. Dia sudah tak tahan berada di tempat misterius ini. Tubuhnya mulai demam lantaran dehidrasi. Dalam keadaan tersudut seperti ini, siapa peduli pada ajaran yang dipahat! Itu hanya batu-batu, benda mati. Saat ini, nyawa mereka, nyawanya, jauh lebih penting.
“Bentuk bangunan ini punden berundak, khas kebudayaan kita,” simpul Maya.
“Hmm, kalau begitu, jumlahnya kemungkinan ganjil. Kita bisa menebak di mana ruang akhirnya,” tambah Anggara. “Sudah berapa tingkatan yang kita lewati?” tanyanya.
“Lima,” jawab Suacheng singkat. “Semoga sebentar lagi kita bisa melihat ujungnya.”
Dada Tungga terasa sesak. Beberapa kali dia hampir terpeleset karena kehilangan keseimbangan. Penglihatannya mulai kabur. Dia butuh air. Walaupun suara-suara terdengar menjauh, dia masih bisa menangkap kata-kata terakhir Suacheng. Tahan… tahan…sebentar lagi sampai, ulangnya dalam hati. Dia malu kalau harus menjadi orang pertama yang meminta istirahat.
Tempat itu seperti punden berundak | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Mbah sudah ndak kuat, Le…,” ucap Rakai kepayahan.
“Kita istirahat dulu. Kasihan Mbah Rakai, dia sudah tua,” putus Tungga dengan nada bijak.
Tungga mengembuskan napas lega. Jantungnya seakan siap pecah kapan saja, seandainya sinyal tubuhnya yang meminta rehat tak dituruti. Dia menyandar ke undakan untuk menopang punggungnya yang tak mampu lagi tegak. Dalam keheningan, mendadak telinganya awas akibat mendengar bunyi sesuatu. Bunyi itu sangat halus, sehingga hampir saja dia merasa itu hanya ilusi. Bunyi itu hilang beberapa saat, kemudian muncul lagi.
“Titik air?” tanya Anggara heran. Dia menatap Maya, lalu pada lainnya. “Kalian mendengarnya juga? Sepertinya ada air di bawah sana.”
“Iya, aku juga dengar,” jawab Maya bersemangat.
Bara dalam diri Tungga kembali berkobar. “Ayo kita jalan,” komandonya. Tubuhnya tiba-tiba terasa lebih segar, seakan telah benar-benar mencecap air. Langkahnya mulai kembali tegap. Tiap undakan dilewatinya dengan tidak sabar. Apalagi bunyi itu makin jelas.
Ketika akhirnya dia sampai ke ruang terbawah, matanya langsung menyisir ruang, mencari sumber air. Rupanya air itu jatuh dari pahatan naga, setetes demi setetes. Sesaat, dia mengusap mata, memastikan bahwa apa yang dilihatnya bukan fatamorgana. Setelah yakin, dia lari tunggang langgang menuju sumber air. Dia menjulurkan lidah, membiarkan indra pencecapnya terkena tetesan air. Tungga merasa seolah aliran energi melaju ke seluruh tubuhnya.
Tungga minum air bagai kesetanan | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Setelah puas, dia duduk berselonjor. Pemandangan di depannya membuat Tungga tertohok. Anggara yang mengumpulkan air ke dalam botol plastik, memberikannya pada Maya. Pipi perempuan itu memerah. Siapa pun yang melihat adegan itu pasti menangkap gejala romantisme di antara keduanya. Hal itu membuatnya muak. Kalau dia ingin, Maya pasti jatuh cinta padanya.
Tidak ada seorang perempuan pun yang tak takluk pada pesonanya. Persoalannya, dia tak berminat mengincar Maya yang membosankan. Namun, rasa ingin diperhatikan datang seperti penyusup ulung. Tanpa bisa dicegah, wajah-wajah perempuan yang pernah singgah di hidupnya datang bergantian. Kegagalannya dalam semua hubungan menyelipkan kesepian. Matanya berair. Dia meratapi nasib seorang Tungga Dewa, anak tuan tanah, yang seumur hidupnya tak pernah membayangkan akan sampai ke titik nadir. Kondisi yang membuatnya tak bisa berlari ke mana-mana, meski telah menyerah. Dan tanpa seorang pun yang memedulikannya.
Pada awalnya, dia datang ke Candi Borobudur untuk melihat sendiri konstruksi bangunannya. Dia berniat membuat miniatur candi itu di tanah warisan orangtuanya. Sebagai raja kecil di kampung halamannya, dia ingin memiliki situs peninggalan sendiri. Kelak dia akan tersohor sebagai orang yang melestarikan kebudayaan leluhurnya. Namanya pasti tercatat dalam sejarah. Namun, di tengah perjalanan, dia terbuai mitos harta karun yang terpendam jauh di bawah Borobudur. Pikirnya, bila peninggalan itu benar-benar ada, mestilah jatuh ke tangan yang benar. Dan, dia merupakan orang yang tepat. Dia akan menggunakannya untuk menolong banyak orang, bukan dipakai semata untuk memperkaya diri.
Di kampungnya, tak ada barang sehari pun rumahnya sepi didatangi tetangga maupun pelancong. Mereka datang dengan muka memelas dan cerita duka. Sebagai orang yang memiliki empati tinggi, dia akan menggelontorkan uang pada siapa pun yang datang. Tetapi, kebaikannya selama ini selalu dibalas tuba. Dia tak pernah merasa dihargai dan disayangi dengan tulus. Apa yang salah darinya? Dia sudah begitu dermawan. Sekarang, hidup mempermainkannya lagi. Membawanya pada keadaan carut marut tanpa ampun. Sungguh tidak adil! Raja kecil ini dilumpuhkan ketidakberdayaan.
“Relief-relief ini sangat detail menggambarkan kesakralan persenggamaan. Betapa hebatnya tubuh manusia,” kata Maya penuh kekaguman. “Seandainya suatu hari aku menulis lagi, aku kepengin menceritakan kesakralan itu, bukan sekadar tulisan yang memancing berahi.”
“Dinding ini menceritakan hal lain lagi. Gambaran berbagai entitas yang bahkan beberapa bentuknya baru pertama kali kulihat,” timpal Anggara.
Tungga yang terbangun dari lamunan, sontak memalingkan kepala ke arah Anggara. Tetapi, perhatiannya kemudian tertuju pada satu dinding relief yang membuatnya terhenyak. Dinding satu itu berbeda, makhluk-makhluk di reliefnya memakai aksesoris yang dilapisi emas asli. Refleks dia berdiri, kemudian berjalan ke dinding itu. Tangannya meraba-raba, merasakan tekstur relief. Benar, itu pasti emas. Ini bukanlah harta karun yang dibayangkan semua orang, tetapi sama berharganya. Dadanya bergolak, dipenuhi hasrat memiliki. Tungga terkekeh parau. Tak ada hal kebetulan di dunia ini, berarti keberadaannya di tempat ini pastilah ditakdirkan sebagai orang terpilih.
“Suacheng, mana palumu?” tanya Tungga sambil menatap Suacheng tajam.
Suacheng menggeleng, pria itu sudah dapat membaca maksud bosnya.
Tungga mendekati Suacheng, kemudian merampas ransel pria itu. Wajahnya tampak kelam ketika mengeluarkan semua barang dari tas. Matanya mengilat saat menemukan benda yang dicarinya. Palu itu digenggamnya erat. Sebentar lagi semua harta itu menjadi miliknya. Sebentar lagi dia akan terlahir menjadi sang penyelamat kaum akar rumput. Dia berlari ke satu muka dinding, mengangkat tangan tinggi-tinggi untuk memecahkan relief. Tetapi, sebelum mengayun, tangannya ditahan seseorang.
“Jangan!” cegah Anggara tegas. “Jangan mengambilnya. Emas-emas itu pasti bukan sekadar aksesoris, ia diletakan di situ punya maksud tersendiri.”
Tungga mendengkus, “Sok bijak, kamu pasti ingin bagian, ‘kan?”
Anggara menggeleng keras. “Kita enggak boleh merusaknya. Apa yang ada di sini harus tetap di sini. Kita wariskan segalanya untuk generasi selanjutnya.”
“Kita biarkan pun, nanti akan ada yang mengambilnya. Justru kita harus mencegah agar nggak jatuh ke tangan yang salah!” Tungga menurunkan tangannya. “Coba pikir, bagaimana kalau jatuh ke tangan asing? Mereka menambangnya, dan kita selamanya jadi kacung di negeri sendiri. Aku ingin mengambilnya untuk dibagikan pada orang-orang miskin.”
Anggara tampak gamang sesaat.
“Gusti … Le…, eling, Le. Kalau diambil nanti bisa kualat!” ucap Rakai.
Tungga menatap tajam Rakai, kemudian beralih pada Anggara. “Apa kalian ingin kita dirampok? Kita pewaris resmi peninggalan leluhur, jangan sampai kita cuma gigit jari.”
“Justru karena kita pewarisnya, kita yang mesti menjaganya,” ujar Suacheng penuh penekanan.
“Pengkhianat!” ucap Tungga menusuk. “Kamu dan Wiratma sama saja! Kalian hanya peduli pada uangku. Enggak ada yang benar-benar memedulikanku! Bangsat!” Riak wajah Tungga dipenuhi kekecewaan.
Gigi Tungga gemeletuk oleh kemarahan. Setelah apa yang sudah dilewatinya? Dia harus meninggalkan begitu saja kesempatan emas ini? Menuruti kata-kata si pengkhianat! “Kalian komplotan pecundang!” ujarnya gemetar. Tangannya memegang erat palu, siap mengayunkannya pada siapa pun yang menghalangi. Satu per satu harus dibinasakan! Dimulai dari si pengkhianat.
Tungga memberi serangan mendadak, dia menghantamkan palu pada Suacheng. Palu itu mengenai bahu Suacheng. Bunyi tulang retak disertai teriak kesakitan menggaung di udara. Tungga merasakan kemenangan saat anak buahnya itu tersungkur. Detik berikutnya, Anggara menerjangnya, tetapi dia berhasil berkelit.
Sekarang dia berhadapan satu lawan satu dengan Anggara. Tungga tersenyum sinis melihat lawannya. Dia mengayun-ayunkan palu, siap menghancurkan batok kepala Anggara.
Tungga bertengkar dengan Anggara | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Eva Sri Rahayu aktif menulis sejak tahun 2006. Karya-karyanya lebih banyak mengangkat tema kehidupan remaja dengan tujuan memberi edukasi kepada generasi muda lewat literasi. Kini tengah terlibat produksi serial animasi mengenai kearifan lokal sebagai penulis skenario.