Labirin 8 chapter 7 by Eva Sri Rahayu | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Bekal makanan sudah habis, persediaan air pun kian menipis. Upaya yang dilakukan Anggara dan Suacheng tidak mengeluarkan hasil—hanya membuat mereka semakin kehabisan energi. Di saat seperti itu, Mbah Rakai si kuncen gadungan mengusulkan sebuah cara yang tak terpikirkan sebelumnya. Berhasilkah?
***
Rakai memperhatikan Suacheng mengeluarkan berbagai perkakasnya dari ransel. Palu, obeng, tang, berbagai kunci, dan lainnya. Diam-diam dia kagum pada pria kerempeng itu. Bagaimana anak muda itu membawa barang begitu banyak di dalam ranselnya tanpa terlihat kepayahan. Matanya kemudian tertuju pada arah ditancapkannya bagian palu yang melengkung. Jari-jari kurus Suacheng sekuat tenaga menarik palunya. Namun, batu itu tak bergerak sama sekali. Dia meringis saat Anggara ikut menarik palu, waswas jika benda itu terlepas dari batu andesit yang menahannya, sehingga berbalik melukai kedua pemuda itu. Dia menghela napas panjang, menyesal tak bisa membantu pekerjaan kasar yang mereka lakukan. Tenaganya tak seperti dulu lagi. Apalagi di saat kekurangan asupan seperti ini, tubuhnya sangat lemas. Perutnya terus berontak meski telah disumpal sepotong roti.
Suacheng dan Anggara berhenti sejenak. Tubuh keduanya dibanjiri keringat, napas mereka memburu seolah sedang berkejaran dengan predator.
“Kayaknya ini bukan cara yang tepat.” Maya memberikan botol minuman yang tinggal berisi sepertiganya pada Suacheng. “Batuan candi ini memakai kuncian unik. Bentuk kunciannya enggak ada yang sama persis. Kurasa, mencongkelnya mungkin bisa merusak kuncian itu. Bukannya terbuka malah patah,” ucap Maya dengan wajah khawatir.
“Tapi kita belum menemukan cara lain,” ujar Anggara keras kepala. Setelah kerongkongannya dibasahi air, dia kembali berusaha mencongkel batu.
Anak muda memang harus pantang menyerah, batin Rakai. Pemandangan di depannya kemudian makin kabur. Kelopak matanya terasa begitu berat, dalam hitungan detik dia tenggelam ke alam mimpi.
Rakai melihat guru spiritual yang banyak diceritakan itu sedang duduk bersila di atas batu. Wajahnya seketika semringah. Dia merasa beruntung, setelah berkali-kali datang tanpa hasil, kali ini dia dapat menemui orang yang dituju.
“Koe ki neng opo to, Le, ko pengin sinau karo aku?—Kamu ini kenapa ingin berguru padaku?”
Rakai berpikir sejenak, mempertimbangkan apakah dia mesti berbasa-basi dulu atau langsung ke pokok permasalahan. Akhirnya dia memutuskan berterus terang. Pikirnya, guru tersebut bukan orang biasa, tentu niatannya sejak dari awal sudah terbaca. “Kepengin sugih, Mbah, kepengin dadi sakti—Aku ingin kaya, Mbah, ingin sakti.”
“Spiritual itu perihal mental. Eling lan waspada—Sadar dan waspada. Kadugalan, kesaktenan, bandha, kabeh kae yo sakjane mung kembang-kembang tho—Kadugalan, kesaktian, kekayaan itu hanya kembang-kembang. Guru sejatimu ya awakmu dhewe—Guru sejatimu ya dirimu sendiri,” ujar sang guru dengan nada setenang air dalam.
Jawaban si guru mengaduk emosinya, dia tak menyangka akan mendapat kata-kata seperti itu. “Nganu… gimana caranya bisa menemui guru sejati itu, Mbah? Supaya saya bisa mendapatkan kembang-kembangnya.”
Mbah Rakai bertemu gurunya dalam mimpi | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Manunggaling kawula lan Gusti. Manusia itu punya cita, cipta, rasa, karsa, karya, yo dinggo. Urip iku jalaran soko sebab lan akibat—Hidup itu hasil sebab akibat. Opo sing nimpo awakmu yo kabeh akibat soko perbuatan awakmu dhewe—Apa yang terjadi padamu, semua akibat perbuatanmu,” pungkas sang guru.
Sekali lagi Rakai merasa ditempeleng. Waktu itu dia sakit hati, berpikir semua nasihat itu merupakan sebuah penolakan halus. Namun, dia tak gentar. Setelah itu dia berkali-kali datang lagi dan selalu mendapati wejangan-wejangan tentang kehidupan dan kesemestaan yang sulit dicernanya. Bukannya meresapi dan menjalankan semua ajaran gurunya, dia malah mengambil jalan pintas dengan menipu orang-orang sebagai kuncen palsu. Baginya, yang penting menjual hal mistis yang bahkan tak dipahaminya, orang-orang berdatangan membawa uang. Tanpa menyadari tindakannya mengukuhkan stigma negatif terhadap para leluhur.
Jarang sekali dia bermimpi sejelas itu, seakan kejadian itu tidak terjadi di waktu lampu, tetapi baru saja berlangsung. Mimpi itu mendatangkan kegaduhan dalam kepalanya. Beragam ajaran gurunya bermunculan ke permukaan, seperti binatang yang terusik dari sarangnya.
Rakai terbangun dengan tenggorokan sekering ladang yang telah semusim tak diguyur hujan. Kakinya yang terkilir masih berdenyut-denyut. Kepalanya nyeri. Sepi. Dia lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruang. Rupanya semua tertidur. Kartika dan Tungga tampak gelisah dalam tidurnya. Sedang wajah Suacheng—yang masih memegang palu—dan Anggara menyiratkan kelelahan. Maya yang berada paling jauh darinya, tertidur sambil memeluk kertas-kertas.
Tenggorokan Rakai yang kerontang terasa gatal, dia terbatuk-batuk hingga membangunkan semua orang. Dia menepuk-nepuk dada untuk meredakan batuknya, tapi malah makin menjadi.
Tangan Rakai spontan menerima botol yang disodorkan Maya. Air di kerongkongannya mengalirkan ketenangan. Batuknya seketika berhenti. Dia mengaturkan terima kasih pada Maya dan air. Setelah mengatur napas sambil memejamkan mata, sakit kepalanya berkurang.
Anggara mengembuskan napas berat. “Ternyata benar, kita harus putar otak mencari cara lain.”
“Aku pikir, enggak mungkin membuka jalan dengan cara merusak, karena puncak peradaban merupakan keselarasan. Misalnya, rumah zaman dulu dibangun dari bambu, itu bukan karena leluhur kita primitif. Tetapi justru karena sangat memahami alamnya,” kata Maya sembari menggambar motif di balik batu. “Dan aku tetap yakin, pahatan di batu itu petunjuk penting.”
“Untuk memahami leluhur, harus masuk melalui cara pandang dan kesadaran leluhur. Getaran yang halus,” ucap Rakai, membuat Suacheng, Anggara, dan Maya menatapnya dengan terheran-heran. “Nganu… itu yo… kata guru Mbah,” tambahnya, kikuk.
“Mengakses kesadaran… berarti mengakses pengetahuan,” tukas Anggara. Dia menatap Rakai, lalu berkata dengan nada sungguh-sungguh, “Bagaimana caranya, Mbah?”
“Iya, bagaimana, Mbah?” timpal Tungga yang rupanya sudah terbangun.
Pertanyaan itu membuat Rakai gelagapan. “Kalian ini … percaya sama Mbah? Mbah ini kan penipu.”
“Percaya, Mbah,” ucap Anggara tanpa keraguan. “Seburuk-buruknya orang, pasti ada hal baik dalam dirinya,” tambahnya, meyakinkan.
“Baiklah…. Caranya dengan semadi.”
“Ah, iya. Semadi, meditasi ‘kan tujuannya buat meningkatkan kesadaran, konsentrasi, ketenangan, sama wawasan,” ujar Anggara semangat.
“Ikuti, Mbah.”
Rakai mengajari mereka teknik semadi sederhana. Mereka duduk melingkar. Hanya Kartika yang tak tergerak, tetap bergeming sambil memperhatikan yang lain.
Mbah Rakai mengajak mereka bersemadi | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Bau tubuh yang membusuk menyengat hidung Rakai, membuatnya sulit berkonsentrasi. Bagaimanapun tubuh manusia tanpa ‘Gusti’ akan kembali pada alam kesejatiannya, tak sepatutnya dia merasa terganggu oleh proses alamiah itu. Setelah berpikir demikian dan menghaturkan penghormatan pada Meta, Rakai merasakan ketenangan menjalar di seluruh tubuhnya. Bau itu tak lagi mengganggunya. Dia menemukan keheningan. Dirinya sebagai jagad alit dan Semesta sebagai jagad ageng berselaras. Seolah tak ada ruang, tak ada waktu. Ketika kelopak matanya membuka, ketiga lainnya seperti tergerak oleh komandonya, sehingga melakukan hal sama. Letak duduknya yang menghadap ke arah relief tersembunyi, membuat fokus matanya langsung ke pahatan itu. Bentuk itu seperti pernah dilihatnya. Dia lalu bangkit, kemudian berjalan terpincang-pincang menghampiri batu itu.
“Kenapa, Mbah?” tanya Anggara.
“Tolong dekatkan pelitanya, Mbah kepengin lihat lebih jelas,” pinta Rakai. Setelah cahaya dari pelita yang dipegang Maya menerangi seluruh bagian relief dalam, pria tua itu menelisik lebih jauh. Benar, pikirnya, dia tidak salah ingat, dia pernah melihat bentuk itu di entah kitab atau primbon gurunya. “Itu … itu adalah salah satu simbol dari air, api, tanah, atau udara,” katanya.
“Salah satu?” Kening Anggara mengerut. “Kalau ini salah satunya, berarti ada tiga simbol lainnya di sini.”
“Mungkinkah tiga simbol lagi ada di relief pintu-pintu lain?” tanya Maya. “Empat pintu, empat penjuru mata angin, empat simbol. Empat elemen menjadi satu!”
“Kita periksa saja langsung!” usul Suacheng.
Suacheng langsung mendekati relief pintu lain, diikuti Anggara dan Tungga yang mengambil posisi masing-masing di pintu berbeda. Ketiganya menekan batu di tiap relief pintu sekuat tenaga hingga batu itu bergeser.
Ketika melihat tembok batu terbuka, Kartika menjerit histeris. Dia menutup muka dengan kedua tangan. Pelukan Maya tak mampu membuat perempuan itu tenang. Pekikannya yang memilukan baru berhenti saat ketiga pintu batu kembali tertutup.
Tiba-tiba empat batu bergeser kembali ke posisi semula. Mereka saling bertatapan. Berharap sesuatu terjadi dengan penuh kecemasan dan pertanyaan: Bagaimana kalau kali ini upaya mereka gagal lagi?
Beberapa saat kemudian sesuatu terjadi.
Bunyi gesekan bebatuan yang membuat ngilu tulang-tulang muncul dari bawah lantai. Rakai bertanya-tanya, adakah lempengan tanah bergeser lagi? Lantai merambatkan getaran ke kakinya. Getaran itu semakin kencang sehingga Rakai mengira gempa susulan benar-benar terjadi. Batuan yang diinjaknya bergerak, refleks dia menepi hingga tubuhnya menyentuh tembok. Lantai itu terus berderak, membentuk putaran ke kiri. Mata Rakai membelalak saat menyadari munculnya lubang seiring pola putaran kosmik: pintu telah terbuka. Sebuah pintu yang tak terbayangkan sebelumnya, pintu ke ruangan yang lebih dalam. Belum reda keterkejutannya, dinding yang dipakainya sebagai sandaran pun bergerak. Posisi labirin berubah. Dinding-dinding di ruangan itu bergeser diganti dinding lain dari dari bagian labirin sebelahnya, sehingga gambar relief yang terpampang kini menampakan pola lain.
“Konstelasi-konstelasi perbintangan. Semesta,” ucap Kartika. Dia berlari ke satu bentuk pahatan, “Cassiopeia* …,” ujarnya takjub.
Lutut Rakai masih gemetar, hampir saja dia terkencing-kencing tadi. Berbeda dengan lainnya yang sibuk memperhatikan gambar-gambar relief, dia membeku di tempat, hampir tak sanggup berdiri. Setelah jeda beberapa saat, dia mengikuti Anggara berjalan ke rongga pintu. Gelap! Ruangan di balik pintu itu pun tampak tak menjanjikan tepi.
“Kita masuk?” tanya Suacheng, yang dijawab anggukan Anggara.
“Jangan!” cegah Kartika. “Bagaimana kalau tangga itu amblas? Kita akan mati seperti Wiratma.”
“Harus kita coba. Diam di sini pun akhirnya kita akan mati kelaparan. Kita berjudi! Seenggaknya, pintu itu masih menawarkan sebuah harapan,” tukas Anggara. Dia kemudian menuruni undakan sambil membawa pelita. Dia berhenti di undakan keempat. “Aman!” teriaknya. Namun, detik berikutnya batuan kembali bergerak, membentuk pola berkebalikan. “Cepat masuk! Pintunya akan tertutup,” pekiknya, lalu membantu Maya turun.
Jantung Rakai berdebar hebat, dia takut waktunya tak akan cukup. Pintu itu menghilang sebelum dia menuruni tangga. Batu itu berputar makin cepat. Seusai Tungga dan Suacheng masuk, tubuhnya bersusah payah menyelinap di antara batuan.
“Cepat! Cepat!” Tangan Anggara menjulur ke arah Kartika, satu-satunya yang tersisa di atas. Tapi, perempuan itu malah menggeleng.
Mereka memasuki labirin selanjutnya | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Kartika, ayo masuk!” ucap Maya lebih terdengar memohon.
“Ayo, Nduk!” pinta Rakai.
“Kalian akan mati … kalian akan mati …,” ucap Kartika berulang-ulang sembari terus menggeleng. Dia berjalan mundur dengan mata menyorotkan kengerian. Tangannya memegang erat pelita, seakan takut benda itu akan direnggut darinya. “Cassiopeia… aku hidup bersama Cassiopeia.”
“Kartika!” lolong Maya sebelum pintu batu itu kembali rata menjadi lantai.
Bersambung
*Cassiopeia–rasi bintang di belahan utara yang melambangkan ratu legenda.
Eva Sri Rahayu aktif menulis sejak tahun 2006. Karya-karyanya lebih banyak mengangkat tema kehidupan remaja dengan tujuan memberi edukasi kepada generasi muda lewat literasi. Kini tengah terlibat produksi serial animasi mengenai kearifan lokal sebagai penulis skenario.