Labirin 8 Chapter 5 by Eva Sri Rahayu | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Satu petunjuk muncul, mereka harus bekerja sama untuk memecahkannya. Perdebatan dan pertengkaran tak akan membantu, tetapi di tempat seperti itu dan diburu-buru oleh waktu, watak dan ego manusia memang tidak bisa ditebak.
***
Wiratma dapat membaca kepanikan perempuan yang hilir mudik di depannya. Tindak-tanduk dan ekspresi Kartika yang awalnya menyiratkan penuh kepercayaan diri berubah bingung.
“Bodoh sekali, harusnya aku menyadari lebih cepat. Padahal aku sempat memperhatikan relief-relief ini. Seharusnya aku tahu ini asing,” ujar Kartika, lalu menggigit bibir. “Atau … atau aku lupa. Siapa yang bisa percaya pada ingatan, ‘kan?” tanyanya pada Wiratma, meminta persetujuan. “Sialan! Catatanku hilang. Aku enggak bisa mencocokan gambar apa pun.”
“Mungkin kita tidak memulai dari posisi yang tepat. Dinding-dinding ini berubah letak, sehingga kamu tidak bisa membacanya,” ucap Wiratma sungguh-sungguh. “Kita pindah ke sebelah sana.” Dia menunjuk posisi lain, kemudian berjalan ke sana.
Wiratma mengawasi Kartika yang tampak ragu melewati mayat Meta. Perempuan itu sempat melirik gelisah, tampak takut mayat itu bergerak mengikutinya. Wiratma sempat khawatir Kartika menghentikan penyelidikannya, padahal mereka belum mendapat petunjuk lagi. Dia baru bernapas lega saat perempuan itu kembali meneliti relief dengan tatapan lesu. Dia mengarahkan cahaya ponsel ke atas, ke daerah yang tak dapat dijangkau cahaya dari pelita. Beberapa saat kemudian, Kartika menggeleng padanya.
“Aku tetap nggak paham. Mungkin… mungkin semuanya cuma relief dekoratif. Hanya hiasan, enggak punya makna apa pun. Biasanya setiap panel punya cerita utuh atau tersambung ke panel terdekat, tapi ini terputus. Panel-panel di kiri kanannya seperti pola yang berbeda. Atau … kamu mungkin benar. Relief-relief ini menjadi acak seperti kepingan puzzle karena perubahan pola letak dinding. Sementara untuk membacanya kita harus mengikuti alur pradaksina, searah jarum jam.” Kartika berpikir sebentar. “Atau… justru ini harus dibaca secara prasawya, berkebalikan arah jam,” katanya memberi kesimpulan. “Entahlah … aku benar-benar bingung.”
Wiratma menangkap gemetar frustrasi dalam suara Kartika. Seolah mengajaknya untuk menyerah. Dia tidak suka berada dalam situasi itu, dikendalikan keadaan. Bagaimanapun dia harus membalikkan situasi. Frasa ‘kepingan puzzle’ menarik minat Wiratma. Dia menutup mata, membayangkan bila dirinya menjadi arsitek sekaligus desainer interior tempat misterius ini. Pola interior seperti apa yang ingin ditampakkan. Dia membuka mata, lalu mundur beberapa langkah. “Suacheng, Anggara, terangi tembok-tembok sebisa kalian,” pintanya.
Anggara mengambil ponsel Wiratma, lalu bergabung dengan Suacheng.
Tangan Wiratma dengan cekatan menggambar pola-pola relief di depannya. “Geser ke tembok sana!” perintahnya, membuat Anggara dan Suacheng berpindah posisi. Namun, ketika gambarnya baru setengah jadi, ponselnya mati.
Anggara lekas mengambil pelita dari tangan Maya, lalu kembali menerangi tembok bagiannya. Sayangnya, meski dia sudah mengangkat tangan tinggi-tinggi, tubuh pendeknya tak berhasil membuat cahaya dari pelita menerangi bagian atas.
Wiratma dan Kartika mendiskusikan pola relief | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Tungga, terangi tembok bagian kiri,” ujar Wiratma.
Tungga mendengkus tak senang. “Enak saja nyuruh-nyuruh! Kamu sudah tidak ingat aku ini siapa?” protesnya.
Wiratma melirik Tungga tajam. “Saya minta tolong dengan hormat, Tuan Tungga,” ujarnya sinis. “Kita semua di sini ingin keluar, bukan?” tanyanya dengan menekankan kata per kata.
Tungga menaikan alis, tidak senang mendengar ucapan bawahannya. Harga dirinya terluka. “Kerjaan sepele begitu, masa aku harus turun tangan? Kalian ini tidak becus!” ucapnya angkuh.
Urat-urat di leher Wiratma menegang. “Saya hanya minta tolong hal sepele, Tuan tidak mau bantu. Sungguh berguna,” sindirnya.
“Berengsek! Tutup mulut kotormu! Selama ini aku sudah banyak menolongmu. Kalau bukan karena kebaikanku, anak istrimu sudah mati kelaparan!” Tungga membanting botol minumannya hingga tutupnya terlepas dan air menciprat ke kertas yang dipegang Wiratma, sebelum akhirnya membasahi ubin batu.
Spontan Maya mengambil botol minuman itu, berusaha menyelamatkan air yang tersisa.
Wiratma meremas-remas gambar di tangannya, lalu membanting kertas dan pulpen dengan emosi meluap-luap. Dia kemudian menarik kerah Tungga hingga pria itu membungkuk. “Dengar anak manja! Semua yang kamu beri itu tidak gratis. Aku sudah menukar banyak hal untuk itu. Kalau mau, aku bisa membunuhmu sekarang juga! Semua kekayaanmu itu tidak berguna di sini! Pakai otakmu! Sikap egoismu itu bisa mencelakakan kita!” ancamnya dengan mata mengilatkan kemuakan.
Tungga menyentak tangan Wiratma. Mukanya merah padam, tangannya mengepal. “Kurang ajar! Kupecat kamu!” Dia melayangkan pukulan ke wajah Wiratma, hingga pria itu tersungkur dan menabrak mayat Meta.
Mayat itu bergeser ke kanan, hingga berhadapan dengan Tungga. Dalam beberapa detik Tungga merasa tatapan si mayat tengah menghakiminya.
Melihat Tungga lengah, Wiratma bangkit. Dia menerjang balik, tangannya menonjok perut Tungga hingga bosnya itu muntah. Dia lalu menangkap kedua tangan Tungga, kemudian menguncinya ke belakang. “Keparat!”
Lutut Tungga gemetar menahan tubuhnya. Dia memekik kesakitan. Gaung suaranya terdengar seperti dengking binatang sekarat.
“Lah ko piye ‘to, ko malah do kelai?—Kenapa jadi pada berkelahi?” ucap Mbah Rakai sedih.
“Hentikan! Kalian mau kita membusuk di sini?” lerai Anggara.
Wiratma melepaskan kunciannya, membiarkan Tungga beringsut sambil terengah-engah. Dia menatap jijik pada bosnya itu. Sudah lama dia menyimpan rasa tak suka pada si bocah tengik yang terlahir kaya dan sok berlaga pahlawan. Tungga berbeda dengan dirinya. Sepulang sekolah dia harus bekerja, tak peduli panas atau badai. Begitu terus, hingga berlanjut ke masa kuliah. Apa yang didapatnya bukan hasil cuma-cuma. Seandainya dia tuan tanah, dia juga bisa berlaku seperti bosnya itu. Membagi-bagikan uang ke mana-mana atas nama kemanusiaan, padahal demi menyumpal ego saja.
Wiratma memalingkan muka dari Tungga yang tengah memegang perut. Pandangannya kemudian tertuju pada Maya yang berusaha mengeringkan kertas gambarnya.
Merasa diperhatikan, Maya balik menatap Wiratma. “Maaf … kertasnya sobek,” ujarnya penuh rasa bersalah.
Wiratma tak merespons, perhatiannya tertuju pada kertas sobek itu. Diambilnya benda itu. Dia kemudian malah memotong-motong kertas itu dengan hati-hati. “Kartika, coba perhatikan. Anggap ini puzzle, lalu kita ubah-ubah letaknya…,” tangannya sibuk mengotak-atik sobekan kertas, “maka akan muncul gambar—”
“Mandala Borobudur,” potong Kartika bersemangat, sambil meletakan kepingan terakhir. “Jam raksasa, kompas, petunjuk arah. Kenapa tadi aku enggak kepikiran bahwa relief-relief ini bentuk mandala acak, ya?” Kartika mengekeh getir. “Kayaknya aku terlalu panik.”
“Empat pintu menandakan empat penjuru mata angin!” ujar Wiratma.
“Jika kita masuk dari timur, maka pintu kemungkinan beralih ke barat. Berarti, pintu keluar ada di sini.” Kartika menunjuk salah satu ujung bagian gambar.
“Berarti batu yang menunjukan pintu keluar ada di dinding relief itu. Tinggal kita cocokan.” Wiratma cepat-cepat mencari panel yang dia maksud dengan diterangi pelita di tangan Kartika yang mengekorinya. Dia berhenti di depan mayat Meta. Pria itu tertawa pahit. “Ternyata tombol pintunya ada di sini. Mencolok mata sekali. Bangsat!”
Mayat Meta seolah mengawasi mereka | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Wiratma meraba-raba batu andesit di depannya. Tiga jengkalan di atas kepala Meta. Dia mendorong batu itu sekuat tenaga hingga selempengan batu bergeser sedikit. Beberapa saat tidak ada yang terjadi. Namun kemudian, tembok mulai bergerak. Menimbulkan bunyi gesekan yang menyakitkan telinga. “Lihat! Kalian lihat, pintunya terbuka! Ternyata semudah ini!” Dia menatap sengit pada Tungga. “Ingat-ingat, aku yang menyelamatkanmu!”
Dinding batu atas dan bawah terus bergerak, hingga terbuka sempurna, memperlihatkan ruangan sempit. Mulut Wiratma menganga. “Apa? Apa ini?” Wiratma buru-buru masuk ke dalam. “Pasti ada tombol lainnya di dalam sini,” tukasnya kesal. Dia berusaha mendorong tembok batu di ruangan itu. “Kartika, cepat masuk. Aku butuh penerangan!” perintahnya.
Namun, sebelum kaki Kartika melangkah, pintu batu kembali bergerak. Bersamaan dengan itu, batu yang dipijak Wiratma turun, membuat pria itu hilang keseimbangan.
Eva Sri Rahayu aktif menulis sejak tahun 2006. Karya-karyanya lebih banyak mengangkat tema kehidupan remaja dengan tujuan memberi edukasi kepada generasi muda lewat literasi. Kini tengah terlibat produksi serial animasi mengenai kearifan lokal sebagai penulis skenario.